Pergulatan Batin Seorang Dokter, Pengarang, dan Orang Tua dalam Lakon Bius di ISBI Bandung
Lakon teater berjudul Bius menggambarkan pertarungan mental yang mendalam di rumah sakit. Penokohan disusun berdasarkan teori psikoanalisis.
Penulis Linda Lestari1 Agustus 2024
BandungBergerak.id - Tepukan meriah hadirin menyambut tirai yang terbuka. Hymne yang dinyanyikan para aktor baru saja usai. Hening sebentar, piano berdenting. Di bawah cahaya biru menampilkan Tuna Sumantri (Tuna S) dengan pakaian loreng hitam putih dan rambut kribo merah jambu. Teriakannya mendominasi keheningan bersamaan beberapa pemeran lain yang mengenakan pakaian alat pelindung diri (APD) yang sibuk menyemprotkan cairan desinfektan di atas panggung.
Suasana di atas panggung menggambarkan situasi kritis. Cahaya biru, kuning, hijau, dan merah muncul bergantian secara cepat. Suara mesin rumah sakit dan alarm darurat telah menggantikan denting piano, membawa penonton dalam suasana ketegangan ruangan Gedung Kesenian Sunan Ambu, ISBI Bandung, 31 Juli 2024. Tuna S mengalungkan stetoskopnya. Ia seorang dokter.
Adegan kritis ini diakhiri oleh seorang pemain yang mengenakan APD membuang tumpukan sampah medis ke bawah panggung. Suasana hening kembali sebelum terdengar suara Orang Tua terbatuk-batuk. Orang Tua itu muncul dari sebelah kiri panggung yang dengan bakiaknya berjalan terpapah sambil terbatuk-batuk. Di bagian depan panggung seorang perempuan mengenakan pakaian merah dengan luaran hitam dan rambut dikepang sedang menikmati rokoknya. Asap mengepul di bawah bingkai properti panggung.
Terdapat 3 properti bingkai terbuat dari besi dalam pementasan ini. Masing-masing berbeda bentuk dan ukuran. Dua bingkai sedikit lebih tinggi dari para aktor sehingga leluasa untuk dilalui, salah satunya berbentuk miring seperti jajar genjang. Sementara satu lainnya berbentuk persegi setinggi lutut. Ketiganya merupakan simbol dari id, ego, dan superego sehingga para aktor bergantian berbicara di bawah bingkai tersebut berdasarkan ketiga hal ini.
“Suster! Suster!” teriak Tuna S. Ia menghampiri wanita tadi, Amin, seorang pengarang, datang ke sini untuk berobat karena tangannya tidak bisa bergerak dan pandangan matanya yang mulai kabur. Tuna S memeriksa Amin dan menemukan bahwa kondisi fisiknya semakin parah.
Tuna S selalu dihantui oleh kenangan tentang Noni, saudara perempuannya yang membuatnya hilang kendali. Sama seperti Amin, Noni juga seorang pengarang.
Tuna S sendiri memiliki trauma masa kecil yang membuatnya tumbuh menjadi individu yang kejam dan tega membunuh pasien-pasiennya. Traumanya menyebabkan konflik emosional yang mendalam dan berakhir pada tindakan kekerasan.
Pemaknaan tentang Kehidupan
Amin memaksa Tuna S untuk mengakui bahwa dia telah menyia-nyiakan kehidupan dan pekerjaannya sebagai dokter. Keduanya berdebat akan arti kehidupan itu sendiri.
“Bagi seorang pengarang, hidup memang bisa menjadi segala-galanya. Itu kata-kata Noni, saudaraku. Tapi lain bagi seorang dokter, seperti aku. Bagiku hidup adalah perpanjangan dari kesakitan-kesakitan, Amin. Setiap kali aku merasa sakit, setiap kali itu pula aku bisa merasakan kehidupan. Kau tahu apa rasanya sakit?” kata Tuna S.
Amin memiliki pandangan lain, baginya pekerjaan dokter bukanlah kebiasaan. Pekerjaan dokter adalah bagian dari usaha manusia yang hidup.
“Kau seharusnya bagian dari kehidupan, bukan bagian dari kematian. Kau mengunci dirimu sendiri. Kau menata kamar ini persis seperti caramu memahami kehidupan. Di sini segalanya berbau kematian. Peti mati. Kepala kerbau itu. Alat-alat yang serba tajam. Tengkorak. Foto-foto yang banyak ini. Semuanya mengurungmu. Siapa mereka, Tuna?” kata Amin.
Bagi Amin, penyakit dan kematian adalah hal berharga dalam hidup. Datangnya penyakit dan kematian membuat hidup menjadi istimewa. Sambil terus membela kehidupan, ia berharap semua orang tegak melawan penyakit dan kematian. Meskipun akhirnya mereka kalah, tidak berarti membatalkan usahanya dalam melawan. Melalui tulisan-tulisannya ia berharap dapat memberikan nafsu berperang kepada para pembaca. Berperang membela kehidupan dan berperang melawan hati yang mati. Seperti digambarkan pada adegan ketika Amin membuka peti mati dan membawa kerangka manusia, simbol dari hati Tuna S yang telah mati.
Puncak dari pementasan ini adalah ketika Tuna S menuduh Amin sebagai pembohong yang berpura-pura sakit untuk menyelidiki dirinya. Ketegangan semakin meningkat ketika Tuna S mengancam Amin dengan gunting. Mereka dihentikan oleh Orang Tua yang selalu ikut campur.
Pada akhirnya Tuna S berhasil melumpuhkan Amin dan memasukkannya ke dalam peti mati. Peti mati itu ditutup mengisyaratkan kematian dan ketidakmampuan untuk melarikan diri dari kenyataan hidup yang kejam.
Pertarungan antara hidup dan mati, konflik batin yang mendalam pada setiap tokoh, serta latar rumah sakit suram sebagai metafora dari pikiran yang rusak digambarkan dalam teater absurdisme ini.
Baca Juga: Mahasiswa ISBI Bandung Menyuarakan Isu-isu Sosial dan Kritis di Hari Teater Seni Sedunia 2024
Candu Teknologi dalam Pertunjukan Teater Drastis
Merenungkan Pancasila dalam Sebuah Teater Musikal
Pentas Teater dari Sudut Pandang Psikoanalisis
Benny Yohanes, penulis naskah lakon Bius sekaligus dosen pembimbing dalam pementasan ini mengatakan, lakon ini mengajak peserta tugas akhir untuk membaca naskah dari sudut pandang psikoanalisis. Ia menyebut tokoh dokter Tuna mewakilkan ego, Pengarang superego, dan Orang Tua sebagai id.
“Kami mengeksplorasi bagaimana mekanisme ini saling berpengaruh, menjadikannya model tafsir terhadap problematika dalam naskah,” kata Benny Yohanes, dalam Bius Medical Book yang dibagikan kepada penonton.
Sementara aktor pemeran dokter Tuna S, Aziz Marup menyebut, pendekatan psikoanalisis Sigmund Freud dilakukan oleh setiap tokoh untuk mengeksplorasi trauma dan gangguan psikologis dalam kehidupan individu. Menurutnya isu kesehatan mental kerap tidak dihiraukan. Setiap orang mempunyai trauma yang disebabkan oleh lingkungan terdekatnya.
Melalui pertunjukan “Bius” ini terdapat satu refleksi kesehatan mental dengan melihat bagaimana psikoanalisa bekerja dalam jiwa seseorang. Simbol ketiga psikoanalisa berada pada tokoh dan simbol artistik berbentuk tiga bingkai yang berbeda.
Karakter Orang Tua yang diperankan oleh Faisal Khadafi sebagai simbol id digambarkan dengan penggunaan kostum tujuh lapis serta tujuh sifat atau karakter dalam satu tokoh. Tujuh karakter ini menggambarkan dunia id yang tidak dapat ditebak esensi atau wajah identitasnya.
Karakter yang tak kalah pentingnya, Amin diperankan oleh Monika Rusmarlina sebagai simbol superego. Amin digambarkan selalu menggunakan hati dan nuraninya untuk berpikir dan bertindak. Selain itu, karakter Amin juga kerap melontarkan dialog berupa kritik terhadap sistem rumah sakit dan diskriminasi terhadap perempuan.
*Kawan-kawan dapat membaca tulisan-tulisan lain Linda Lestari, atau artikel-artikel lain tentang Pertunjukan Teater di Bandung