• Kampus
  • Mendiskusikan Proses Kreatif Mahasiswa ISBI dalam Pementasan Lakon Bius

Mendiskusikan Proses Kreatif Mahasiswa ISBI dalam Pementasan Lakon Bius

Sisi-sisi tersembunyi dari lakon teater dimungkinkan terbuka melalui proses diskusi pascapertunjukan di atas panggung. Pemaknaan lakon ditimba lebih dalam.

Pertunjukan teater lakon Bius di Gedung Kesenian Sunan Ambu, ISBI Bandung, 31 Juli 2024. (Foto: Sri Destriani/BandungBergerak)

Penulis Reihan Adilfhi Tafta Aunillah 3 Agustus 2024


BandungBergerak.idSebuah pertunjukan teater memiliki sisi-sisi tersembunyi yang tak diketahui khalayak banyak atau penonton. Semua itu hanya bisa dibedah melalui diskusi pascapertunjukan yang sayangnya sering kali dilewatkan. Melalui diskusi ini, penonton sebenarnya bisa menimba banyak hal, seperti bagaimana proses kreatif di balik panggung sebuah pementasan lakon teater. 

“Di Bandung, geliat diskusi (masih) lemah,” ujar Tony Supartono atau akrab disapa Tony Broer, memberi pengantar pada kegiatan Diskusi Pascapertunjukan Teater Bius & Panggung Bebas di Pendopo Munding Laya Institut Seni Budaya Indonesia (ISBI) Bandung, Kamis, 1 Agustus 2024.

Tony Broer selaku salah satu dosen pembimbing tak sendirian. Ia menjadi pembicara ditemani partner prosesnya, Wail Irsyad. Ada juga Aziz Ma’rup, Monica Rusmarlina, dan Faisal Khadafi sebagai Aktor. Hadir juga Rahmat Syarif sebagai Penata Artistik dan Gilang sebagai Stage Manager.

Diskusi yang dipandu Nabila ini dibawakan LPM Daun Jati serta Tim Bius. Acara ini merupakan rangkaian dari tugas akhir ujian minat pemeranan dan ujian minat artistik dari empat mahasiswa, yaitu Aziz Ma’rup, Monica Rusmarlina, Faisal Khadafi, dan Rahmat Syarif.

Aziz selaku pemeran Tuna Sumantri dalam lakon teater Bius mengungkapkan, relevansi isu yang terkandung dalam simbol-simbol dan naskah teater berkaitan dengan realitas hari ini. Misalnya, isu kesehatan mental yang bisa dilihat dari pewatakan tokoh Tuna Sumantri. Ada juga isu ekologi yang tampak dalam adegan pembuangan limbah medis. Lalu, isu gender yang dapat direnungkan dalam perlawanan Amin terhadap Tuna Sumantri.

Sederet isu tersebut menjadi alasan Aziz dan kawan-kawannya memilih naskah lakon yang ditulis Benny Yohannes. “Alasan ngambil naskah Bius adalah karena ada satu kedekatan dengan realitas hari ini. Misalnya isu tentang kesehatan mental, isu ekologi, politik, medis, dan sebagainya,” ujar Aziz.

Benny Yohannes yang juga dosen pembimbing bercerita, tokoh-tokoh yang ada dalam naskah lakon Bius merupakan mekanisme dari struktur kepribadian menurut Sigmund Freud, yaitu id, ego, dan superego.

“Kami menemukan bahwa Dokter Tuna mawakili ego, Amin mewakili superego, dan Orang Tua mewakili id. Kami mengeksplorasi bagaimana mekanisme ini saling berpengaruh, menjadikannya model tafsir terhadap problematika dalam naskah,” tutur Benny.

Baca Juga: Pergulatan Batin Seorang Dokter, Pengarang, dan Orang Tua dalam Lakon Bius di ISBI Bandung
Praktik Kotor Calon Kepala Daerah dalam Lakon Teater Awal Bandung
PROFIL KOMUNITAS CELAH CELAH LANGIT: Menyuarakan Kritik lewat Teater

Diskusi Pascapertunjukan Teater Bius & Panggung Bebas di Pendopo Munding Laya Institut Seni Budaya Indonesia (ISBI) Bandung, Kamis, 1 Agustus 2024. (Foto: Reihan Adilfhi Tafta Aunillah/BandungBergerak)
Diskusi Pascapertunjukan Teater Bius & Panggung Bebas di Pendopo Munding Laya Institut Seni Budaya Indonesia (ISBI) Bandung, Kamis, 1 Agustus 2024. (Foto: Reihan Adilfhi Tafta Aunillah/BandungBergerak)

Sebuah Langkah Memasuki Dunia Bius

Mendiskusikan teks naskah teater selalu dilakukan berulang oleh Aziz dan kawan-kawannya dalam usaha memasuki dunia lakon Benny. Mereka berusaha memahami setiap kata yang ada di dalam naskah.

“Memahami setiap peran seperti apa, mencoba membahas naskah melalui psikoanalisis id, ego, superego,” ujar Aziz.

Selain Aziz, Monica, dan Faisal, Rahmat Syarif sebagai Penata Artistik juga mencoba melangkah memasuki dunia dalam naskah tersebut melalui penggambaran layout serta visual di atas panggung.

“Mencoba menggambar secara set di atas panggung setelah berdiskusi tentang id, ego, dan superego. Mendapat bentuk-bentuk baru dalam pentas seperti pintu miring yang menggambarkan kehancuran moralitas,” ujar Rahmat.

Aziz dan kawan-kawan menemukan satu esensi yang lahir dari pengulangan diskusi naskah tersebut, yaitu ‘rahasia’. Setiap manusia memiliki rahasia dalam hidupnya. Di setiap jiwa manusia ada persona atau sebuah peran sosial yang ditampilkan kepada dunia luar.  

Sebuah Proses yang Semoga Tak Pernah Selesai

“Pertanyannya adalah, apakah kalian akan tetap melakoni dunia teater?” ungkap Tonu Broer bertanya kepada para pelaku pementasan teater Bius, sekaligus menekankan bahwa profesi sebagai seniman yang bergiat di dunia teater harus dilanjutkan.

Selain itu, Wail Irsyad juga menambahkan bahwa sebuah proses kreatif adalah proses yang tidak pernah selasai. Setelah pemaparan mengenai proses kreatif di balik pementasan lakon Bius, Nabila selaku moderator memberi kesempatan kepada para pembicara untuk menyampaikan beberapa kata yang ingin disampaikan sebelum menutup kegiatan.

Monica, pemeran tokoh Amin, menyampaikan rasa terima kasihnya kepada semua pihak yang telah membantu, penonton yang hadir, serta kepada kegiatan diskusi tersebut karena jarang adanya sebuah diskusi setelah pementasan. “Semoga ekosistem diskusi di ISBI tetap terjalin dan tetap ada karena ini sangat bermanfaat,” tuturnya.

*Kawan-kawan dapat membaca tulisan-tulisan lain Reihan Adilfhi Tafta Aunillah, atau artikel-artikel lain tentang Pertunjukan Teater di Bandung

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//