PLTU di Jawa Barat sebagai Penyumbang Polusi Udara Lintas Batas
Sebuah penelitian merilis data polusi udara yang ditimbulkan PLTU batubara berdampak buruk secara jangka panjang pada kesehatan manusia dan lingkungan hidup.
Penulis Iman Herdiana3 Agustus 2024
BandungBergerak.id - Di Jawa Barat sedikitnya terdapat tujuh Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) batu bara yang merupakan Proyek Strategis Nasional. Menurut Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Jawa Barat, dari sisi sebaran PLTU di Jawa Barat lebih banyak berlokasi di bagian utara, yaitu tiga unit. Selebihnya berada di wilayah tengah dan selatan, yaitu di Kabupaten Bekasi, Karawang, Purwakarta, Indramayu, Cirebon, dan Sukabumi.
Pembangunan PLTU batubara sejak awal menuai kontroversi dari sisi lingkungan hidup. Penyebabnya, pembangkit listrik ini digerakkan oleh energi kotor batubara yang menghasilkan polusi udara. Tak hanya itu, polusi udara tersebut akan memicu pemanasan global yang menyebabkan krisis iklim seperti yang sudah terjadi sekarang ini.
Bahkan dampak tingginya polusi udara sudah dirasakan warga Jakarta. Sampai sekarang warga Ibu Kota masih dihantui ancaman serius kesehatan udara yang mereka hirup sehari-hari. Di tengah pertumbuhan industri dan urbanisasi yang pesat, tingkat polusi udara yang terus meningkat, memberikan dampak yang signifikan bagi kesehatan dan kesejahteraan masyarakat.
“Setiap napas yang dihirup oleh penduduk kota menjadi semakin berisiko, dengan partikel-partikel berbahaya dan gas beracun yang menyusup ke dalam sistem pernapasan. Dalam keseharian, polusi udara menyebabkan peningkatan kasus penyakit pernapasan seperti infeksi saluran pernafasan akut (ISPA),” demikian pernyataan resmi Walhi, diakses Sabtu, 3 Agustus 2024.
Berdasarkan laporan dari World Air Quality Report (2023), Indonesia menempati peringkat pertama yang memiliki kualitas udara terburuk di Asia Tenggara pada tahun 2023. Hal ini menunjukkan bahwa masalah polusi udara merupakan tantangan serius yang perlu segera ditangani di Indonesia. Salah satu yang menjadi sumber polutan udara di Indonesia adalah PLTU batubara, yang telah memberikan dampak signifikan yang merusak kualitas udara, menyebabkan dampak negatif bagi kesehatan dan lingkungan secara keseluruhan.
Walhi menyatakan, asap bakar yang berasal dari PLTU batubara di Banten dan Jawa Barat telah menjadi salah satu penyebab utama penurunan kualitas udara di Jakarta dan sekitarnya. Menurut perhitungan Walhi, kontribusi PLTU terhadap polusi udara di Jakarta mencapai 20-30 persensementara transportasi memberikan kontribusi sebesar 30-40 persen.
Demikian pula, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Siti Nurbaya Bakar menyatakan, sebagian besar polusi sumber polusi atau penurunan kualitas udara di wilayah Jabodetabek berasal dari 44 persen kendaraan, 34 persen dari PLTU, dan sisa dari berbagai sumber lainnya, termasuk rumah tangga, pembakaran, dan lain lain.
Centre for Research on Energy and Clean Air (CREA) pada tahun 2023 merilis, polusi PLTU menyebabkan 1.470 kematian setiap tahun dan menimbulkan kerugian kesehatan hingga 14,2 triliun rupiah.
“Seriusnya dampak kesehatan ini menegaskan pentingnya penanganan segera terhadap polusi udara yang dihasilkan oleh PLTU. Sampai kapan masyarakat terpaksa menghadapi polusi udara setiap hari, tanpa jaminan akan udara bersih dan harus menghadapi resiko kesehatan yang lebih tinggi, terutama bagi kelompok rentan seperti anak-anak, lansia, dan individu dengan kondisi kesehatan yang sudah melemah,” ungkap Walhi.
Walhi merekomendasikan, perlu adanya kerjasama antara pemerintah, industri, dan masyarakat untuk mengurangi emisi polutan dan meningkatkan kualitas udara di Jakarta. Pemerintah harus menghentikan penggunaan batubara dan secara sungguh-sungguh beralih ke sumber energi terbarukan. Salah satu solusi yang tepat untuk mengatasi masalah mendesak ini adalah transisi ke sumber energi seperti tenaga surya. Energi tenaga surya menawarkan alternatif yang lebih bersih dan ramah lingkungan.
“Dengan memanfaatkan energi terbarukan, kita dapat mengurangi ketergantungan kita pada batubara secara bertahap dan signifikan, memitigasi dampak negatif pemakaian bahan bakar fosil,” kata Walhi.
Pemerintah juga harus bisa merumuskan kebijakan yang mendukung penggunaan energi bersih dan mengurangi ketergantungan pada bahan bakar fosil. Selain itu, perlu memperkuat pengawasan terhadap industri yang berpotensi mencemari udara, dengan diberlakukannya standar emisi yang ketat dan melakukan inspeksi secara rutin dan membuka data emisi kegiatan industri termasuk PLTU kepada publik.
Baca Juga: Catatan YLBHI: Proyek Strategis Nasional Mengorbankan Wong Cilik dan Petani
Menanti Sosialisasi Pensiun Dini PLTU Cirebon 1
Catatan Kritis PLTU Sukabumi, Menuai Petaka dari Batubara
Pencemaran Udara Lintas
Pencemaran udara karena polusi PLTU batubara bersifat lintas batas, melampaui wilayah administrasi. Riset yang dilakukan Centre for Research on Energy and Clean Air (CREA) mengungkap bagaimana PLTU-PLTU di wilayah Jawa Barat dan Banten mencemari udara Jakarta. Bahkan dalam jangka panjang, pencemaran udara menjadi penyebab kematian dan penyakit terkait dengan sistem kekebalan, pernapasan, dan kardiovaskular.
“Biaya tahunan akibat pencemaran lintas batas dari PLTU Batubara diperkirakan mencapai 5,1 triliun rupiah per tahun di Jabodetabek atau 180.000 rupiah per orang per tahun,” demikian hasil riset CREA, organisasi penelitian independen yang mempelajari tren, penyebab, solusi, dan dampak kesehatan dari polusi udara, dalam laporan berjudul “Pencemaran Udara Lintas Batas di provinsi Jakarta, Banten, dan Jawa Barat”, diakses Sabtu, 3 Agustus 2024.
Laporan yang disusun Lauri Myllyvirta (Analis Utama), Isabella Suarez (Analis), Erika Uusivuori (Peneliti), dan Hubert Thieriot (Kepala Data) (Agustus 2020) itu membeberkan selama dekade terakhir, tingkat NO2 meningkat di Banten, Jawa Barat, dan Lampung bagian selatan. Peningkatan besar NO2 juga terjadi di Jepara karena ekspansi PLTU Batubara.
“Ini menunjukkan tren peningkatan penggunaan bahan bakar fosil dan emisi di luar Jakarta, yang juga berarti adanya peningkatan dampak lintas batas pada kualitas udara di Jakarta. Tingkat NO2 adalah indikator peningkatan emisi bahan bakar fosil baik NOx maupun PM2.5, karena sumber emisi yang sama menghasilkan kedua jenis emisi,” terang para penulis CREA.
Para peneliti menyatakan, Indonesia memiliki target energi terbarukan yang ambisius, namun Indonesia secara bersamaan meningkatkan penggunaan bahan bakar fosilnya. Saat ini, Indonesia memiliki pembangkit listrik tenaga uap berbahan bakar batubara (PLTU Batubara) terbanyak di Asia Tenggara, yaitu sebanyak 74 pembangkit.
Sejak 2010, listrik yang dihasilkan dari pembangkit tersebut meningkat lebih dari dua kali lipat. Indonesia juga memiliki rencana untuk menambah 31.200 MW kapasitas pembangkit listrik tenaga batubara, 20 persen di antaranya akan berlokasi dalam radius 100 km dari Jakarta, dan dampaknya terhadap kualitas udara setara dengan menambah 10 juta mobil ke Jakarta (Lowy Institute 2019).
“Kualitas udara bisa menjadi jauh lebih buruk jika tidak ada pengamanan yang memadai. Sebuah kajian oleh Harvard University menemukan bahwa rencana pembangkit listrik tenaga batubara akan menyebabkan tambahan 2.600 orang meninggal sebelum waktunya setiap tahun (Koplitz dkk. 2017),” beber para peneliti.
*Kawan-kawan yang baik, silakan membaca tulisan-tulisan lain tentang Proyek Strategis Nasional dalam tautan tersebut