Memetik Nilai Keberagaman Pangan Nusantara di Balik Upacara Saka Sunda Kampung Cireundeu
Masyarakat kampung adat Cireundeu sudah lama menyadari pentingnya keberagaman pangan. Mereka tidak tergantung pada padi atau beras.
Penulis Sifa Aini Alfiyya5 Agustus 2024
BandungBergerak.id – Sejak pukul 10.00 pagi, anak-anak laki-laki dan perempuan Kampung Adat Cireundeu mulai memenuhi area Prosesi Upacara Adat Tutup Taun 1957 Ngemban Taun 1958 Saka Sunda. Mengenakan pakaian adat pangsi hitam (laki-laki) dan kebaya putih (perempuan), mereka memainkan angklung dalam hajat tahunan kampung adat yang berlokasi di Kota Cimahi.
Lebih dari 10 jenis hidangan salametan dibawa ke dalam area prosesi. Beberapa jenis kuliner di dalam hidangan itu tak asing bagi warga kota yang berbatasan dengan Kota Bandung tersebut, di antaranya combro, kukuluban, dan peuyeum ketan hitam yang disajikan dalam piring anyaman bambu.
Ada pula hidangan salametan hasil panen berupa buah-buahan dan sayuran segar. Panganan ini terbagi menjadi dua bentuk, yaitu gugunungan yang diusung ke dalam keranjang panjang yang dibawa dengan cara dipikul.
Setelah menyelesaikan Prosesi Upacara Adat Tutup Taun 1957 Saka Sunda, warga penghayat kepercayaan leluhur berbondong-bondong menuju bale untuk melangsungkan prosesi doa bersama. Ritual ini mereka lakukan sebagai bentuk rasa syukur dan terima kasih kepada Tuhan untuk nikmat yang diberikan oleh-Nya kepada manusia di bumi.
Prosesi ini tidak hanya dilakukan oleh masyarakat adat Kampung Adat Cireundeu namun juga dihadiri perwakilan umat dari lima agama yang turut menyambut acara tutup taun Saka Sunda ini. Melalui ritual ini warga penghayat berharap tahun berikutnya yang diawali bulan Sura diberkahi rezeki yang jauh berlimpah.
Sudarajat, warga penghayat Sunda Wiwitan yang juga panitia prosesi mengatakan, selama bulan satu Sura masyarakat bersama tokoh adat akan mengadakan salametan yang terdiri dari berdoa, rajah, sungkem, dan mengunjungi makam para leluhur.
Tanggal satu dan dua Sura warga akan menggelar salametan di rumah masing-masing. Pada puncak perayaan akan dilakukan acara Sakar Sunda yang digelar selama tiga hari. Hari pertama berupa Rajah Damar Sewu, ritual untuk mengingatkan kesadaran mengenai budaya sendiri. Setelah itu ada Tari Ngayun yang menceritakan perjalanan masyarakat adat Cireundeu yang dulu memakan nasi beras dan beralih ke beras singkong (rasi).
Selanjutnya, giliran para seniman-seniman yang menampilkan empat tarian yang terdiri dari dua tarian sakral dan dua tarian tontonan. Perayaan tersebut ditutup dengan kesenian tradisional Tarawangsa, sebuah seni buhun terkait kultur agraris. Kesenian lain yang dipentaskan antara lain seni pencak silat, jaipongan, karinding, calung, rampak kendang, dan rampak tembangan ibu-ibu. Puncak acara tutup taun ditutup dengan Wayang Golek.
“Rasa syukur kami itu tidak bisa diucapkan dengan kata-kata tapi dengan kreatifnya seni dan keterampilan,” kata Sudrajat, Sabtu, 6 Agustus 2024 di Kampung Cireundeu.
Sudrajat menyinggung prosesi doa bersama lintasagama. Menurutnya, masyarakat Cireundeu memiliki keyakinan bahwa tanah Sunda merupakan tempat tumbuhnya budaya yang perlu didukung oleh berbagai pihak dari berbagai latar belakang. Maka, toleransi terhadap keberagaman budaya dan agama bagian dari prinsip yang dinjunjung masyarakat adat Cireundeu.
Rangkaian acara tutup taun sendiri berupa rangkaian panjang yang memakan waktu tiga bulan, dimulai dari diskusi ringan yang berisi evaluasi, masuk bulan kedua berupa pembentukan kepengurusan untuk laporan kepada keamanan dan pengelolaan acara di bidang masing-masing.
Memasuki bulan perayaan, panitia mulai mendata kebutuhan seperti kelapa, janur, pisang, termasuk umbi-umbian. Empat hari sebelumnya, seksi konsumsi akan mendata makanan yang disajikan untuk perayaan salametan. Sudarajat mengakui bahwa pada hari keempat ini mulai berat untuk fisik serta pikiran.
Upacara adat tutup taun bukan semata-mata hajat internal kampung adat. Alasan mempertontonkan upacara adat menjadi bagian dari edukasi kepada masyarakat agar tidak ada stigma negatif lagi kepada para penganut penghayat. Upacara sakral yang dikemas dengan kreativitas seniman diharapkan menjadi daya tarik bagi masyarakat umum. Dengan begitu, masyarakat mengetahui siapa sebenarnya masyarakat adat.
Tak hanya itu, masyarakat Cireundeu juga menginginkan budaya yang ada di tanah Sunda tidak hilang dan dilupakan. “Kita membuka diri, biar orang itu tahu, atau dulu kan kami dianggapnya animisme dan sebagainya. Tapi tiba-tiba diupacarakan semua tahu dan ternyata ada filosofi-filosofi yang memang bisa diterapkan dalam kehidupan bersosial dengan masyarakat,” jelas Sudrajat.
Baca Juga: Mengurai Kompleksitas Administrasi yang Dihadapi Masyarakat Kampung Adat Cireundeu
Nonton Film The Indigenous di Cireundeu, tentang Masyarakat Adat sebagai Korban Teori Ilmiah dan Dimarjinalkan Negara
Terancamnya Nasib Hak Ulayat Masyarakat Adat Indonesia
Membangun Kesadaran Menjaga Keanekaragaman Pangan
“Ken bae teu boga sawah asal boga pare, teu boga pare asal boga beas, teu boga beas asal bisa nyangu, teu bisa nyangu asal aya anu bisa dihuap,” ujar Sudarajat, mengenai filosofi Kampung Adat Cireundeu.
Nilai filosofi tersebut dilatarbelakangi tahun 1918. Bagi masyarakat adat Cireundeu, pare (padi) termasuk barang yang disakralkan dan sangat dihargai. Di sisi lain, filosofi tadi mengajarkan bahwa sumber kekuatan atau sumber karbohidrat tidak hanya ada di padi. Artinya tidak makan nasi pun manusia bisa kuat asal memakan sesuatu.
Filosofi Kampung Adat Cireundeu sangat bermakna karena lahan padi di Indonesia semakin berkurang dengan masifnya alih fungsi lahan. Kini bahkan beras sudah tidak dapat mencukupi seluruh masyarakat. Masyarakat Cireundeu percaya bahwa kekayaan alam dapat mencukupi manusia jika manusia melindunginya juga. Maka dari itu, upacara ini mengingatkan kepada manusia untuk menghargai apa yang telah dihasilkan dari pertanian dan alam.
“Bagi kami makanan merupakan sebuah sumber untuk menjadi manusia. Kenapa diupacarakan? Biar ketika dimakan tidak terlalu berpengaruh negatif terhadap ibu kita. Kan makanan yang kita konsumsi itu sari patinya diserap oleh tubuh dan ada yang menjadi mani. Ketika terikat hukum pernikahan, mani ibu sama mani bapak menyatu dan jadilah kita. Jadi kita harus benar-benar menghargai makanan, jangan sembarangan main buang,” tegas Sudarajat.
Sudarajat berharap, pengunjung yang datang ke Kampung Adat Cireundeu mendapatkan kesadaran dalam menjaga dan menyeimbangkan kenekaragamkan pangan. Masyarakat boleh menganggap orang-orang di Cireundeu unik karena memakan beras singkong. Tetapi, mereka juga memahami bahwa keanekaragaman merupakan sebuah kebutuhan manusia dalam bertahan hidup.
“Ketika terjadi krisis besar, misalkan berasnya sudah tidak ada dan sebagainya, ingat bahwa pernah belajar ke Cireundeu yang bisa hidup dengan singkong. Kalau tidak dengan singkong, jagung atau bahan pangan lain yang penting bagaimana menganekaragamkan pangan. Bukan setelah pulang ke Cireundeu hanya bercerita keunikan tapi nilai edukasi ini yang memang mereka harus bisa pakai di kemudian hari,” harap Sudrajat.
Masyarakat Indonesia Ketergantungan pada Padi
Masyarakat adat Cireundeu tidak tergantung pada beras atau padi. Praktik konsumsi yang dilakukan masyarakat adat Cireundeu amat penting dalam mengenalkan keberagaman pangan Indonesia yang selama ini cenderung tergantung pada beras.
Rizki Amalia Nurfitriani dalam artikel ilmiah berjudul “Menuju Diversifikasi Pangan Lokal Indonesia” (2023) mengatakan, pangan merupakan sektor penting yang menjadi salah satu prioritas pemerintah Indonesia. Hal ini dikarenakan kebutuhan konsumsi pangan, khususnya bahan pangan pokok beras, terus meningkat.
Pada tahun 2021, data tingkat partisipasi konsumsi beras masyarakat Indonesia mencapai 97,6 persen (Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian, 2022). Padahal, produksi beras di Indonesia masih terbatas sehingga memaksa pemerintah melakukan impor.
“Ketergantungan akan satu jenis bahan pangan pokok tersebut menjadikan diversifikasi pangan lokal dilihat sebagai salah satu upaya untuk menangani masalah tersebut. Apalagi, Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki variasi produk pangan lokal melimpah,” ungkap Rizki Amalia Nurfitriani, diakses Senin, 5 Agustus 2024.
Penulis dari Politeknik Negeri Jember ini memaparkan, terdapat sekitar 77 spesies tanaman pangan lokal Indonesia yang dapat dijadikan sebagai sumber pangan seperti kacang-kacangan, sayuran, buah-buahan, dan rempah-rempah. Namun, belum semua variasi pangan lokal tersebut telah dibudidayakan secara optimal.
*Kawan-kawan dapat menyimak karya-karya lain Sifa Aini Alfiyya, atau artikel-artikel lain tentang Kampung Adat