Mengurai Kompleksitas Administrasi yang Dihadapi Masyarakat Kampung Adat Cireundeu
Kampung Adat Cireundeu masih kesulitan saat menghadapi masalah-masalah administrasi dan birokrasi. Mereka berhak mendapatkan pelayanan publik yang setara.
Immamil Khoiri
Mahasiswa mata kuliah Jurnalisme Advokasi Unpad
5 Januari 2024
BandungBergerak.id - Perjalanan melintasi sejarah dan kehidupan masyarakat adat Sunda Wiwitan di Kampung Adat Cireundeu mengungkap sebuah narasi yang begitu kaya dan penuh warna. Tersembunyi di balik lebatnya hutan dan keindahan alam Kota Cimahi, terdapat peristiwa menarik serta kehidupan yang menggambarkan kebersamaan dan kearifan nenek moyang.
Namun, seperti koin yang memiliki dua sisi, di sela-sela kehidupan adat yang lestari, masyarakat adat Cireundeu berhadapan dengan tantangan serius, terutama dalam ranah administrasi yang kompleks dan kerap menghambat hak-hak mereka sebagai warga negara.
Sejarah panjang Cireundeu yang dimulai sejak abad ke-17 menunjukkan kekayaan tradisi dan makna kehidupan berkelompok. Nama "Cireundeu" yang mengandung arti air dan tumbuhan, pada akhirnya membentuk esensi kehidupan mereka: "sarendeg," sebuah nilai yang mencerminkan kebersamaan, gotong-royong, dan sauyunan. Namun, seiring berjalannya waktu, kehidupan masyarakat adat ini tak luput dari bayang-bayang penjajahan Belanda pada abad ke-18 dan krisis pangan di abad ke-19, yang merasuki dan membentuk perjalanan sejarah mereka.
Protes bersejarah masyarakat adat Cireundeu pada tahun 1918 terhadap penjajahan Belanda melibatkan penolakan menanam padi dan mengkonsumsi beras. Perlawanan ini membawa penemuan teknologi pengolahan singkong pada tahun 1924 oleh Oma Asnama, seorang tokoh perempuan yang diakui sebagai pahlawan pangan. Meski melalui tantangan yang cukup berat, tradisi pangan Cireundeu tetap kokoh, dengan nasi sebagai simbol kekayaan mereka.
Namun, di tengah kebanggaan akan warisan ini, masyarakat adat Cireundeu menghadapi kenyataan pahit terkait kendala administrasi yang membebani kehidupan sehari-hari mereka. Perlindungan lingkungan dan kepercayaan adat Sunda Wiwitan, meski mendapat dukungan pemerintah, masih terjerat dalam ketidakpastian regulasi. Pengisian formulir KTP, yang seharusnya menjadi langkah administratif sederhana, menjadi kompleks dan membingungkan bagi warga adat.
Salah satu persoalan mendasar yang dihadapi oleh masyarakat adat Cirende adalah kesulitan terkait identitas agama di KTP. Meskipun mayoritas memeluk agama Islam, ada yang memilih kepercayaan adat Sunda Wiwitan. Disonansi antara keyakinan dan pendekatan administratif pemerintah menciptakan hambatan yang signifikan, terutama dalam aspek pendidikan dan administrasi lainnya.
Advokasi pun muncul sebagai langkah proaktif untuk mengatasi kesulitan administratif yang dihadapi oleh masyarakat adat Cireundeu. Namun, meski sudah terjalin komunikasi dengan pemerintah, kebutuhan akan perubahan yang lebih jelas dalam regulasi administrasi, terutama terkait identitas, agama, dan kepercayaan, masih menjadi fokus utama. Kesulitan ini menjadi cermin ketidaksetaraan dalam sistem administrasi yang berimplikasi luas pada kehidupan sehari-hari masyarakat adat Sunda Wiwitan di Kampung Cireundeu.
Kehidupan dan sejarah masyarakat adat Sunda Wiwitan di Kampung Cirende ini sekaligus membuka mata kita terhadap kompleksitas tantangan administratif yang dihadapi mereka. Dalam narasi ini, kita akan menyelami dunia mereka, menggali hikmah dari tradisi yang lestari, dan bersama-sama merenungkan perubahan yang diperlukan agar hak-hak mereka dapat diakui dan dihargai sepenuhnya.
Sebagai masyarakat adat, mereka dihadapkan pada tugas monumental untuk mempertahankan dan melestarikan kearifan lokal mereka. Salah satu hambatan utama yang mereka hadapi adalah kompleksitas administratif yang terkait dengan pengakuan dan perlindungan hukum atas tanah adat mereka. Proses pengajuan dokumen administrasi yang memadai untuk mendapatkan hak atas tanah yang mereka tempati dan warisan budaya yang mereka anut sering kali menjadi ujian kesabaran.
Salah satu juru bicara masyarakat adat Sunda Wiwitan, Kang Yana. "Kami selalu menjunjung tinggi adat istiadat nenek moyang kami, tetapi dalam dunia yang semakin modern ini, kami dihadapkan pada birokrasi yang sangat rumit. Proses pengajuan administrasi kadang-kadang memakan waktu bertahun-tahun, dan ini membuat kami kehilangan fokus pada pelestarian warisan kami," cerita Kang Yana.
Masyarakat adat Cireundeu merasakan hambatan nyata dalam hal administrasi, terutama terkait identitas agama di KTP, yang berpengaruh pada kehidupan sehari-hari, termasuk pendidikan dan administrasi lainnya.
Baca Juga: Nonton Film The Indigenous di Cireundeu, tentang Masyarakat Adat sebagai Korban Teori Ilmiah dan Dimarjinalkan Negara
Upacara Seren Taun Kampung Adat Cireundeu, yang Berkhidmat Menjaga Tradisi
Gunung Puncaksalam Cimahi dan Kearifan Lokal Kampung Adat Cireundeu Melestarikan Alam
Advokasi untuk Masyarakat Adat Cireundeu
Bicara tentang advokasi untuk masyarakat adat Cireundeu tak hanya sekadar langkah proaktif, tetapi juga sebuah perjalanan berliku melalui labirin regulasi administrasi yang ambigu. Meskipun komunikasi telah terjalin dengan pemerintah, namun perubahan nyata dan dukungan penuh masih menjadi tantangan. Ini mencerminkan ketidaksetaraan dalam sistem administrasi yang berdampak nyata pada masyarakat adat Sunda Wiwitan.
Dari pengisian formulir KTP hingga pernikahan, masyarakat adat Cireundeu merasakan beban yang tak seharusnya menjadi rintangan. Pembicaraan internal pemerintah daerah mencerminkan sikap yang seolah terjebak dalam aturan yang berasal dari pusat, memunculkan dilema antara pelaksanaan dan keinginan perubahan.
Pertanyaan mendasar tentang peran negara dan pemahaman agama terus melatarbelakangi perjuangan masyarakat adat Cireundeu. Pengisian kolom agama di KTP menjadi sentral dalam pembicaraan, menggambarkan kontradiksi antara kebebasan beragama dan keharusan administratif. Dialog antara dua pembicara menciptakan pandangan menyeluruh tentang kebingungan dan kompleksitas yang dihadapi oleh masyarakat adat Sunda Wiwitan.
Salah satu tantangan utama yang dihadapi oleh masyarakat adat adalah kurangnya pemahaman dari pihak berwenang terkait dengan keunikan dan pentingnya tradisi mereka. Ketidakpahaman ini menyebabkan lambatnya tanggapan terhadap permohonan administratif yang diajukan oleh masyarakat adat Sunda Wiwitan. Sementara mereka dengan tekun menjalankan upacara-upacara adat, pemerintah setempat masih terkendala dalam memberikan pengakuan yang setimpal terhadap keberadaan dan peran mereka dalam mempertahankan keanekaragaman budaya Indonesia.
Keengganan untuk memberikan dukungan finansial dan sumber daya lainnya juga menjadi faktor penyulit bagi masyarakat adat. Sebagai kelompok yang tidak jarang hidup di daerah terpencil, mereka sering kali terabaikan dalam alokasi anggaran pemerintah. Hal ini berdampak pada keterbatasan akses mereka terhadap fasilitas kesehatan, pendidikan, dan infrastruktur dasar lainnya.
Meskipun menghadapi berbagai rintangan, masyarakat adat Sunda Wiwitan di Kampung Cireundeu tetap kuat dan teguh dalam tekad mereka untuk mempertahankan warisan nenek moyang. Mereka berupaya membangun jembatan komunikasi yang lebih baik dengan pemerintah setempat, meminta pendampingan dari LSM, dan menjalin kerja sama dengan pihak swasta yang peduli terhadap pelestarian budaya lokal.
Sebuah langkah proaktif yang telah diambil oleh beberapa anggota masyarakat adat adalah membentuk kelompok advokasi untuk menyuarakan hak-hak mereka. Kelompok ini terdiri dari tokoh-tokoh masyarakat yang memiliki pengetahuan dalam hukum dan administrasi, bersama-sama berjuang untuk meraih pengakuan yang layak bagi masyarakat adat Sunda Wiwitan. Melalui pendekatan ini, mereka berharap agar suara mereka didengar lebih jauh dan solusi konkret dapat ditemukan.
Upaya advokasi ini juga mendapatkan dukungan dari beberapa kalangan masyarakat yang peduli terhadap pelestarian budaya dan keanekaragaman Indonesia. Beberapa aktivis budaya dan kelompok advokasi hak asasi manusia turut serta dalam mendukung masyarakat adat Sunda Wiwitan untuk mengatasi tantangan administratif yang mereka hadapi.
Sejauh ini, upaya advokasi yang dilakukan oleh mereka masih belum mendapatkan perubahan signifikan. Pembatasan administratif yang bersumber dari perbedaan identitas keagamaan dan kepercayaan terus meruncing, mempersulit setiap langkah dalam kehidupan sehari-hari. Bagaimana pemerintah pusat akan menanggapi panggilan advokasi dari masyarakat adat Cireundeu, dan apakah perubahan substansial akan terjadi, masih menjadi tanda tanya besar.
Dalam lingkungan yang semakin kompleks, advokasi-advokasi yang telah dilakukan menunjukkan pentingnya hak asasi manusia dan keberagaman dalam sebuah negara yang menghargai setiap suaranya.
Sebagai penutup, mari kita renungkan perjalanan masyarakat adat Sunda Wiwitan di Kampung Cireundeu. Cerita ini telah membuka lembaran sejarah dan kehidupan yang kaya, menggambarkan kebersamaan dan kearifan nenek moyang. Namun, di tengah kehidupan adat yang lestari, kompleksitas administrasi menjadi tantangan serius.
Seiring kita melangkah menyusuri lorong waktu dan menyingkap kisah yang terpola, mari kita tidak hanya mengakhiri dengan satu kata singkat seperti "Semoga." Namun, mari kita melihatnya sebagai bagian dari evolusi, sebuah bukti bahwa setiap masa memiliki kekhasannya sendiri. Perubahan dalam pendekatan penutup mencerminkan pergeseran cara kita memandang dan menyampaikan cerita.
Dengan harapan bahwa setiap suara, termasuk suara masyarakat adat Sunda Wiwitan, akan terus didengar, dihormati, dan diberikan pengakuan yang layak. Demi sebuah masa depan di mana kompleksitas administrasi tidak lagi menjadi rintangan, melainkan peluang untuk merajut kisah keberagaman Indonesia yang semakin kaya. Bertahan. Berjuang. Merajut Kebudayaan.
*Kawan-kawan dapat membaca lebih lanjut artikel-artikel lain tentang kampung adat Cireundeu