Nonton Film The Indigenous di Cireundeu, tentang Masyarakat Adat sebagai Korban Teori Ilmiah dan Dimarjinalkan Negara
Film The Indigenous yang diputar di Kampung Adat Cireundeu membeberkan bagaimana masyarakat adat mengalami diskriminasi oleh ilmuwan dan negara.
Penulis Muhammad Akmal Firmansyah11 September 2023
BandungBergerak.id - Masyarakat adat bukanlah orang-orang penganut animisme atau sinkretisme. Film dokumenter The Indigenous membeberkan bahwa konsep animisme dan sinkretisme merupakan teori ilmiah yang bermasalah yang menyebabkan mereka mendapat stigma buruk dan diskriminasi.
Film The Indigenous diputar oleh Balad Kawit Seja, WatchDoc, dan Youth Interfaith Peacemaker Community (YIPC) di Bale Kampung Adat Cireundeu, Leuwigajah, Kota Cimahi, Sabtu, 9 September 2023. Dalam film ini, Samsul Maarif mengatakan selama ini banyak ilmuwan yang memahami ananisme sebagai kepercayaan atau penyembahan pada roh leluhur.
“Sampai hari ini banyak ilmuwan yang menggunakan untuk menuduh masyarakat adat yang melakukan ritual kepada leluhur. Disadari atau tidak tuduhan itu meligitimasi pemerintah, bahwa masyarakat adat sebagai tidak atau belum beragama,” kata Samsul Maarif.
Akibat kesalahkaprahan ilmiah yang diamini pemerintah itulah masyarakat adat mendapat diskriminasi dan termarginalkan. Untuk diakui kewarganegaraannya mereka harus memeluk agama yang diakui pemerintah. “Setelah mereka memeluk salah satu agama mereka dituduh sinkretisme, dan dituduh syirik dan sesat,” papar Samsul Maarif.
Padahal, masyarakat adat tidak menyembah leluhur. Masyarakat adat menghormati leluhur karena jasa-jasanya. Praktik ini layaknya seorang anak terus mendoakan ibu bapaknya yang meninggal. Lebih dari itu, penghormatan kepada leluhur untuk pelestarian tradisi, wilayah, dan kehidupan mereka.
Film The Indigenous berangkat dari penelitian Samsul Maarif yang ingin membuktikan bahwa stigma terhadap masyarakat adat merupakan bentuk kegagalan dalam memahami nilai masyarakat adat itu sendiri. Syamsul melakukan penelitian langsung ke masyarakat adat Luhur di Cilacap, Jawa Tengah yang berbahasa Sunda, dan Dayak Iban di Kapuas Hulu Kalimantan Barat.
Penyuluh Kepercayaan Budi Daya Cakra Arganata menuturkan, setiap wilayah tanah adat pasti memiliki kepercayaan yang membedakan dengan masyarakat lainnya. Kepercayaan itu bukan untuk mengajarkan kepada agama baru, namun untuk kembali menggali ke tanah asal. Inilah yang menjadi salah satu ciri keanekaragaman kepercayaan di Indonesia.
Cakra menjelaskan, orang-orang kepercayaan berpegangan pada tiga poin yang menjadi prinsip hidup mereka. Satu, asal kita dari mana dan setelah meninggal ke mana; dua, manunggaling kaula gusti, bahwaTuhan tidak jauh dari makhluknya, dzat Tuhan ada dalam diri manusia; tiga, manusia hidup dari yang bisa perbuat dari lingkungannya.
Cakra juga mengatakan bahwa agama membawa budaya dari tanah-tanahnya sendiri, bukan agama yang membawa budaya. “Kalau saya mah budaya dulu, agama membawa budaya dari tanah-tanahnya sendiri,” terang, dalam diskusi setelah nonton bareng film The Indigenous di Kampung Adat Cireundeu.
Penjajahan Identitas
Film The Indigenous menampilkan betapa masih berlansungnya penjajahan identitas di Indonesia. Perwakilan dari Balad Kawit Seja Respati mengatakan, penghilangan identitas secara paksa masih terjadi di Indonesia. Ini terlihat dalam kasus pencantumkan identitas agama pada kartu tanda penduduk (KTP) yang masih harus menempuh jalan panjang untuk terus diperjuangkan.
“Untuk membuat KTP saja mereka bayar. Padahal ada jalannya tapi jalannya sulit. Tetapi kita gak sadar ada penjajahan dan penindasan terhadap kita, rasisme pada satu identitas agama dan budaya tertentu secara sistematis akan menghapus identitas itu sendiri. Penjajahan itu terjadi dalam keseharian kita terjadi. Penghilangan orang secara kekerasan sudah jarang terjadi, tetapi penghilangan identitas sekarang sedang terjadi,” beber Respati.
Selain itu, permasalahan yang belum terpecahkan dan dibereskan oleh negara adalah hak-hak masyarakat adat adalah hak terhadap tanah adat itu sendiri. Hal ini diungkapkan oleh Ketua Umum Biro Hukum Gerakan Nasional Penegak Hak Asasi Manusia Asep Ridwan yang menurutnya, relugasi sudah ada akan tetapi negara abai untuk menjalankannya.
“Pengakuan negara dan pemerintah itu seutuhnya terhadap masyarakat adat. Namun ada hak tidak nyaman. Artinya ini stuck, relugasi sudah ada tapi tidak dijalankan,” jelas Asep Ridwan.
Perjuangan pengakuan masyarakat adat akan kewarganegaraan serta hak tanahnya kadang ditindak secara represif oleh negara. Oleh karenanya, kata Asep, perlindungan terhadap aktivis-aktivis pembela hak adat sendiri sangat perlukan.
Baca Juga: Mendekatkan Film dan Mengaktivasi Ruang Publik
Otonomi Masyarakat Adat sudah Ada Jauh sebelum Republik Indonesia Berdiri
Seberapa Penting, sih, Hak Masyarakat Adat di Mata Negara?
Alasan pemutaran dan diskusi film The Indigenous tidak hanya membuktikan stigma yang salah kaprah, namun juga menelaah suku adat melalui lanskap budaya populer yakni film dokumenter. Lewat penanyangan The Indigenous, film sebagai budaya populer bisa mempengaruhi kehidupan kita sehari-hari.
Menurut Tanu Rahadi sebagai pemandu acara nonton bareng dan diskusi The Indigenous di Kampung Adat Cireundeu, melalui film orang-orang luar memanfaatkannya sebagai ajang diplomasi antarnegara. Film pun berpeluang untuk mengenalkan budaya di Indonesia.
“Film ini sebagai budaya populer yang nyaman dan nikmat untuk diamalkan nilai-nilainya. Yang gampang sekali mempengaruhi kehidupan sehari-harinya. Baiknya, dari orang luar mereka memanfaatkan budaya sebagai ajang diplomasi negara. Nah, ini peluang juga bagi kita,” kata Tanu Rahadi.
Melihat Masyarakat Adat melalui Lanskap Budaya Populer
Budaya sebagai ajang diplomasi antarnegara terkait degan ruang rasa. Menurut Ketua Pusat Studi Pancasila Universitas Katolik Parahyangan (Unpar) Andreas Doweng, budaya berasal dari manusia. Bahkan, persoalan ruang rasa kadang membuat manusia saling bertengkar satu sama lain.
“Karena basis budaya itu ada pada manusia. Budaya itu ruang rasa, dan kadang-kadang manusia itu paling gampang dimainkan rasanya,” jelas Doweng.
Ruang rasa, kata Doweng, kemudian dicontohkan pendiri bangsa (founding fathers) Indonesia dalam merumuskan dasar-dasar negara seperti Pancasila yang berangkat dari nilai-nilai di masyarakat dan nilai luhur kebudayaan.
“Nilai-nilai Pancasila sudah hidup di masyarakat, persatuan sebagai nilai luhur kebudayaan,”sebut Andreas Doweng.
Budaya sebagai diplomasi negara, jelas Doweng, bertemu dari corak hidup manusia yang mempunyai arah pada persatuan. Manusia sebagai pemilik rasa dan persatuan bertemu pada dua kekuataan titik tersebut.
“Semua corak hidup sebagai manusia mempunyai arah ke persatuan, persatuan sebagai manusia dan nilai-nilai kemanusiaan. Manusia berada pada rasa dan memiliki pikiran, masyarakat adat juga sama, kekuataan kita di dua titik itu, dan itu yang mempersatukan kita pada perjumpaan,” jelas Doweng.
Berjalan pada arah persatuan tersebut kadang memiliki hambatan dan aral rintangan. Dan kondisi seperti itu terkadang dihadapi oleh para pemuda. Merespons akan konflik kebudayaan tersebut, aktivis Youth Interfaith Peacemaker Community (YIPC) Rama mengatakan bahwa para pemuda harus melenturkan diri dalam keberagaman dengan kegiatan intim yakni silaturahmi.
“Ketika saya mendengar bagaimana respons pemuda ketika dihadapkan dengan konflik kebudayaan. Intinya ngopi (silaturahmi),”ungkap Rama.