• HAM
  • Komnas Perempuan Menyerukan Pengesahan Undang-undang Masyarakat Hukum Adat

Komnas Perempuan Menyerukan Pengesahan Undang-undang Masyarakat Hukum Adat

Dalam forum PBB, Komnas Perempuan membahas perkembangan kondisi masyarakat adat di Indonesia terkait upaya penghapusan kekerasan terhadap perempuan.

Upacara adat di Kampung Adat Cireundeu, Kota Cimahi, Jawa Barat, Jumat (19/8/2022). (Foto: Virliya Putricantika/BandungBergerak.id)

Penulis Iman Herdiana28 Juli 2023


BandungBergerak.idKomnas Perempuan menyerukan agar DPR RI segera mengesahkan Rancangan Undang Undang (RUU) Masyarakat Hukum Adat sebagai payung hukum perlindungan, pemenuhan, dan pemulihan hak-hak masyarakat adat seturut amanat konstitusi. Keberadaan payung hukum ini dinilai sebagai bentuk perlindungan negara terhadap masyarakat adat.

“Pemerintah Indonesia perlu lebih proaktif dalam memastikan jaminan pelindungan masyarakat asli/adat, baik melalui legislasi dan implementasinya di dalam negeri maupun melalui pendekatan politik luar negeri,” tegas Ketua Komnas Perempuan Andy Yentriyani, dalam pernyataan resmi yang dikutip Jumat (28/7/2023).

Pernyataan tersebut disampaikan Andy Yentriyani setelah mengikuti Sesi ke-16 Expert Mechanism on the Right of Indigeneous Peoples (EMRIP) di Kantor Pusat Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) di Jenewa, 17 hingga 22 Juli 2023 lalu. Sidang ini menyimpulkan bahwa negara-negara perlu segera mengembangkan upaya pelindungan komprehensif pada masyarakat asli/adat dalam memastikan pembangunan berkelanjutan yang sejati.

Komnas Perempuan turut berpartisipasi dalam sidang atau forum PBB tersebut, diwakili Andy Yentriyani bersama Komisioner Dewi Kanti yang sekaligus sebagai perwakilan dari masyarakat adat dan penganut agama leluhur, serta Koordinator Perencanaan, Monitoring dan Evaluasi (PME), Yulianti Ratnaningsih.

Landasan prinsip dalam pelindungan masyarakat asli/adat mengacu pada Deklarasi Hak-Hak Masyarakat Asli (United Nations Declaration on the Rights of Indigenous Peoples/UNRIP) tahun 2007. Pemerintah Indonesia turut menandatangani deklarasi ini.

Masyarakat adat juga dinyatakan tidak boleh disebut pribumi. Penggunaan kata pribumi telah dilarang berdasarkan Instruksi Presiden No. 26 Tahun 1998 dan UU No. 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis, tafsir UNRIP lekat pada karakter dan tantangan yang dihadapi oleh komunitas masyarakat adat di nusantara.

Dalam sidang tersebut, Komnas Perempuan memberikan informasi mengenai perkembangan kondisi masyarakat asli/adat di Indonesia terkait upaya penghapusan segala bentuk kekerasan terhadap perempuan dan pemajuan hak-hak perempuan. Sidang mendiskusikan 14 agenda, dengan fokus utama pada persoalan militerisasi dan dampaknya pada masyarakat asli/adat dalam hal kekerasan, diskriminasi, peminggiran dan pencerabutan akses pada lahan, kehidupan dan identitas komunitas.

“Komnas Perempuan melaporkan bahwa salah satu perkembangan menggembirakan di Indonesia adalah pengaturan yang lebih ketat tentang larangan penyiksaan. Termasuk di dalamnya adalah pengaturan dalam UU TIndak Pidana Kekerasan Seksual yang melarang penyiksaan seksual, sebagai salah satu perhatian EMRIP,” jelas Andy.

Selain itu, Komnas Perempuan juga menyoroti dampak perampasan lahan pada diskriminasi berlapis perempuan adat penganut agama leluhur, pada isu partisipasi sejati perempuan asli/adat dalam pengambilan keputusan pada ruang-ruang pengambilan keputusan, dan dampak tidak proporsional berbasis gender pada perempuan.

Bahasa Ibu

Menurut Dewi Kanti, forum di PBB tersebut mendorong negara-negara anggota PBB memberi perhatian khusus pada persoalan masyarakat adat di wilayahnya masing-masing. “Termasuk memikirkan kebijakan yang serius untuk pengakuan, pelindungan dan hak-hak masyarakat adat sebagai elemen penting  dalam berbangsa dan bernegara, meneguhkan peradaban kemanusiaan dan kebangsaan dalam kebijakan pembangunan yang berkelanjutan,” jelas Dewi Kanti.

Misalnya saja, dalam diskusi tematik mengenai Bahasa Ibu/Asli, terungkap refleksi masyarakat adat yang tengah menghadapi kepunahan bahasa asli mereka sebagai ancaman pada keseluruhan identitasnya. Sebagian kondisi ini karena kebijakan kolonialisasi di masa lalu, pencerabutan masyarakat adat dari lokasi tinggalnya yang merupakan semesta pembentuk bahasa itu sendiri, maupun kehilangan penuturnya karena diskriminasi sistemik menyebabkan bahasa itu tidak dipergunakan dalam kehidupan sehari-hari, apalagi di pelajari sebagai bagian dari sistem pendidikan.

Baca Juga: SEREN TAUN SUNDA WIWITAN 2023: Belajar Menghargai Perbedaan dan Keberagamaan dari Pelestarian Manuskrip Kuno
Kisah Rahwana dan Parikesit Dibandingkan dengan Raja-raja Masa Kini
Merenungkan Pancasila dalam Sebuah Teater Musikal

Perlindungan Hukum Masyarakat Adat

Masyarakat adat yang sarat akan kearifan budaya menjadi bagian penting dari identitas bangsa Indonesia. Namun, pesatnya perubahan zaman dan perkembangan sosial menjadi tantangan bagi berbagai komunitas adat di Indonesia. Hal ini juga dirasakan oleh Masyarakat Adat Cigugur, Kuningan, yang identik dengan kepercayaan Sunda Wiwitan. Perlindungan dari negara kini menjadi kebutuhan yang patut dipenuhi dan dijamin secara legal.

Dosen Antropologi Universitas Padjadjaran (Unpad) Ira Indrawardana menjelaskan bagaimana komunitas adat Sunda Wiwitan berdinamika dalam adaptasinya menghadapi perubahan zaman. Sistem kepercayaan dan adat istiadat dalam suatu komunitas tradisi merupakan bagian penting dalam tatanan kehidupan yang mengatur hubungan dengan Ilahi, alam, dan sesama manusia.

“Konsep kepercayaan serupa Sunda Wiwitan perlu diakui dalam legalitas HAM sehingga sejajar dengan kepercayaan lainnya,” kata Ira, dikutip dari laman Unpar, terkait acara Seminar Online bertajuk “Status Hukum Atas Eksistensi Masyarakat Adat di Kabupaten Kuningan”, Selasa (29/9/2020).

Lebih lanjut, Ira mengatakan hukum adat dan masyarakat adat bersifat dinamis, maka pemerintah perlu mengatur kebijakan akan masyarakat adat secara kontekstual pula.

Guru Besar FH Unpar Catharina Dewi Wulansari mengatakan, masih banyak isu hukum yang perlu diselesaikan dalam menciptakan masyarakat hukum adat yang berorientasi pada kesejahteraan. Untuk itu, ia menawarkan beberapa solusi.

“Solusi tersebut antara lain memberi kejelasan terhadap politik hukum pedesaan khususnya di lingkungan masyarakat adat, serta regulasi dan pemanfaatan community-based nature resource management untuk mencapai kesejahteraan komunitas adat,” kata Catharina, pada acara yang sama.

Pakar hukum lainnya, Sandrayati Moniaga, menyoroti pentingnya perlindungan hak asasi masyarakat hukum adat. Paparan Komisioner Komnas HAM ini secara khusus melihat pada kasus kebebasan beragama dan berkeyakinan masyarakat AKUR Sunda Wiwitan.

Pada dasarnya, kepercayaan yang dianut oleh masyarakat adat termasuk agama adat di kawasan Cigugur Kuningan adalah hal mendasar yang harus diakui dan dilindungi oleh negara. Hal ini sejalan dengan prinsip kebebasan beragama dalam pemenuhan HAM secara universal. Oleh karenanya, Sandrayati mencatat pentingnya regulasi dalam melindungi, memenuhi, dan memajukan hak-hak masyarakat hukum adat.

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//