• HAM
  • Kemenangan Meila Nurul Fajriah Jadi Pendorong Mewujudkan Keadilan bagi Korban Kekerasan Seksual

Kemenangan Meila Nurul Fajriah Jadi Pendorong Mewujudkan Keadilan bagi Korban Kekerasan Seksual

Meila Nurul Fajriah merupakan aktivis LBH Yogyakarta yang mendampingi korban kekerasan seksual. Membela korban kekerasan seksual mesti terus disuarakan.

Ilustrasi. Stop kekerasan seksual. (Ilustrator: Alfonsus Ontrano/BandungBergerak)

Penulis Nabila Eva Hilfani 8 Agustus 2024


BandungBergerak.id – Status tersangka Meila Nurul Fajriah, pendamping hukum 30 korban kekerasan seksual, dicabut setelah Polda Yogyakarta menerbitkan Surat Ketetapan Penghentian Penyidikan (S3P). Surat ini diterima Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia-Lembaga Bantuan Hukum atau YLBHI-LBH Yogyakarta.

Dengan demikian, proses penyidikan terhadap aktivis hukum tersebut dihentikan. Sebelumnya, Meila yang merupakan advokat dan pendamping korban kekerasan seksual di LBH Yogyakarta ditetapkan sebagai tersangka atas tuduhan pencemaran nama baik, Rabu, 24 Juli 2024 berdasarkan laporan yang dilayangkan oleh inisial IM, alumnus Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta yang diduga melakukan kasus kekerasan seksual.

Pemberhentian penyidikan terhadap Meila bukan hanya hasil kerja keras solidaritas yang telah dilakukan sejak pertama kali ia ditetapkan sebagai tersangka. Namun, S3P ini juga bentuk kemerdekaan korban kekerasan seksual untuk memilih saluran pelaporan dan mekanisme pemulihan yang dijamin dalam UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS).

“SP3 ini sekaligus kemenangan korban KS. Di mana kemerdekaan korban untuk memilih saluran pelaporan dan jenis mekanisme pemulihan yang sesuai dengan kebutuhan dan kondisi korban sebagaimana dijamin dalam UU TPKS, akhirnya diamini oleh Polda Yogyakarta,” demikian siaran pers YLBHI-LBHI Yogyakarta, Rabu, 6 Agustus 2024.

Kemenangan ini juga ditegaskan oleh YLBHI-LBHI Yogyakarta dalam siaran persnya bahwa bukanlah akhir dari perjuangan. Selain praperadilan yang mungkin dilayangkan pelaku, kemanangan ini juga sebagai dorongan untuk keadilan bagi korban, penyintas, pendamping, dan pembela HAM lainnya.

“Lebih jauh dari itu, solidaritas dan perjuangan keadilan bagi korban dan penyintas lainnya masih harus kita dorong bersama. Hingga hari ini masih banyak pembela HAM yang berada dalam ancaman dan upaya kriminalisasi. Kita perlu menegaskan serangan dan kriminalisasi terhadap pendamping korban tidak terulang di kemudian hari,” kata YLBHI-LBHI Yogyakarta.

Baca Juga: Pencegahan KGBO dan Kekerasan Seksual mesti Terus Disuarakan
Dinamika Hukum dalam Penanganan Kasus Kekerasan Seksual
UPI Sudah Berani Membuka Data Kasus Kekerasan Seksual, Kampus-kampus Lain Kapan?

Meila dan Proses Kriminalisasi yang Dihadapinya

Penetapan Meila sebagai tersangka oleh Polda Yogyakarta terjadi setelah Meila mendampingi 30 korban kasus kekerasan seksual yang diduga kuat dilakukan oleh IM.

“Kriminalisasi ini bermula di saat LBH Yogyakarta pada tahun 2020 mendampingi 30 korban KS yang diduga kuat dilakukan terduga berinisial IM (alumni UII) yang mendapatkan penghargaan sebagai mahasiswa berprestasi UII,” terang LBH Yogyakarta dalam siaran persnya yang diunggah melalui Instagram 24 Juli 2024.

IM merupakan alumni mahasiswa berprestasi Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta tahun 2016. Namun, gelar mahasiswa berprestasi itu telah dicabut oleh rektor UII darinya setelah penemuan bukti-bukti atas tindakannya melakukan kekerasan seksual terhadap 4 korban.

IM diduga sebagai pelaku kekerasan seksual yang dilakukannya terhadap 30 orang dalam bentuk kekerasan seksual yang berbeda-beda. Seperti yang dijelaskan dalam unggahan Instagram milik Perempuan Hari Ini pada 28 Juli 2024, bahwa IM telah melakukan tindakan kekerasan seksual berupa modus pengiriman pesan singkat yang menjurus ke hubungan seksual, melakukan pemaksaan panggilan video, pemaksaan ciuman, hingga pada kekerasan fisik lainnya.

Berbagai pihak mengecam keputusan yang dilayangkan oleh Polda Yogyakarta atas penetapan Meila sebagai tersangka pencemaran nama baik. Salah satunya oleh LBH Banda Aceh yang menerangkan bahwa penetapan Meila sebagai tersangka oleh Polda Yogyakarta dengan pasal 27 ayat (3) UU ITE menjadi bentuk pengabaian bukti dan proses internalisasi UII yang membuktikan bahwa IM melakukan tindakan kasus kekerasan seksual.

LBH Banda Aceh dalam unggahan Instagramnya pada 24 Juli 2024 lalu juga menerangkan, penetapan ini juga bentuk pengabaian atas hak impunitas advokat dan pendamping korban yang diatur dalam undang-undang.

*Kawan-kawan dapat membaca karya-karya lain Nabila Eva Hilfani, atau artikel-artikel lain tentang Kekerasan Seksual 

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//