• Berita
  • Orang-orang Muda Mendeklarasikan Komitmen Transisi Energi Bersih Berkeadilan di Gedung Merdeka

Orang-orang Muda Mendeklarasikan Komitmen Transisi Energi Bersih Berkeadilan di Gedung Merdeka

Sumber energi kotor yang menjadi sorotan orang-orang muda adalah Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) batu bara. Mereka menyerukan pukul mundur krisis iklim.

Orang-orang muda perwakilan mahasiswa dari Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, dan Papua mendeklarasikan mengakhiri krisis iklim di Gedung Merdeka, Bandung, Rabu, 7 Agustus 2024. (Foto: Awla Rajul/BandungBergerak)

Penulis Awla Rajul8 Agustus 2024


BandungBergerak.idOrang-orang muda punya andil besar dalam perjuangan panjang sejarah kemerdekaan bangsa Indonesia. Begitu pula dengan orang-orang muda masa kini yang mesti berjuang menghadapi berbagai persoalan, salah satunya mewujudkan transisi energi bersih berkeadilan. Sebanyak 40 orang muda perwakilan mahasiswa dari Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, dan Papua menyatakan deklarasi untuk mengakhiri krisis iklim dan mempercepat transisi energi yang berkeadilan di Gedung Merdeka, Bandung, Rabu, 7 Agustus 2024.

Membawa spanduk, poster, beserta miniatur Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) dari sampah bekas, mereka juga menyampaikan aspirasi dan komitmen sebagai respons terhadap krisis iklim yang semakin parah, sekaligus menuntut keseriusan pemerintah untuk mempercepat transisi energi bersih yang berkeadilan sesuai komitmen yang telah dinyatakan pada konferensi dan perjanjian global.

Mahasiswa Psikologi Islam UIN Raden Mas Said Surakarta, Nala Aprilia, 20 tahun, berpendapat, orang-orang muda memiliki kemampuan untuk menggerakkan. Orang muda sedang berada pada masa ambisi dan tekad yang kuat untuk mendorong kebijakan yang lebih baik di Indonesia. Makanya, orang-orang muda perlu sadar akan isu krisis iklim dan mendorong pentingnya transisi energi bersih berkeadilan.

“Menurutku, anak muda perlu menyebarkan kesadaran lingkungan kepada masyarakat umum karena kalau bukan kita, siapa lagi,” kata Nala yang merupakan salah satu mahasiswa pembaca deklarasi.

Nala mengaku sudah tertarik pada isu lingkungan sejak sebelum kuliah. Meski berada jauh dari pembangkit listrik kotor dan tidak merasakan dampaknya secara langsung, dia mengenal baik dan menemui banyak orang-orang yang dirugikan olehpembangkitan listrik yang kotor, seperti PLTU.

Pembangkit listrik yang menggunakan tenaga kotor terbukti merusak lingkungan dan berdampak buruk untuk masyarakat sekitar. Mulai dari sumber daya air yang tercemari, banyaknya debu, kekurangan jumlah panen, hingga kampung-kampung penduduk yang menjadi tidak nyaman ditinggali. Nala menegaskan, semua orang memiliki hak untuk mendapatkan tempat tinggal yang layak dan hidup dengan adil.

“Ada rasa empati yang sangat meningkat di dalam diriku ketika melihat teman-temanku, dan (aku) ikut nangis karena sedih melihat mereka. Misal aku terpapar heatwave, aku merasakan panas aja udah gak kuat. Apalagi mereka yang memang sudah terdampak. Aku ingin membantu mereka agar mereka mendapatkan hidup yang layak,” ungkap Nala percaya diri.

Sementara itu, mahasiswa Teknologi Rekayasa Pembangkit Energi Universitas Negeri Malang, Farid Wahyu, 21 tahun, menyatakan bahwa penting bagi mahasiswa untuk segera menyoroti pesoalan transisi energi sebab mahasiswa merupakan agen perubahan dan agen pengontrol. Ia menegaskan, dampak krisis iklim itu nyata dan benar-benar dirasakan. Seperti cuaca yang sulit diprediksi dan emisi yang meningkat akibat efek gas rumah kaca.

“Mayoritas disebabkan oleh pembangkit konvensional. Makanya perlu segera transisi ke energi yang lebih berkeadilan seperti halnya panel surya supaya bisa mengurangi penyebab dan dampak dari emisi karbon itu sendiri,” ungkap Farid, usai membacakan deklarasi.

Pemuda asal Tuban, Jawa Timur ini merasakan sendiri dampak dari PLTU sebab tinggal di dekat pembangkit listrik batu bara. Ia menyebut, di daerahnya sedang ada pembangunan kilang minyak Pertamina yang belakangan terjadi kebakaran hutan di sekitar lokasi. Ia khawatir pembangun ini akan melebar dan berdampak terutama bagi nelayan. Mereka akan kesulitan menangkap hasil laut.

“Mengambil kata-kata Tan Malaka, bahwasanya keistimewaan terakhir yang dimiliki pemuda adalah idealisme. Jadi setiap pemuda, mahasiswa, itu punya api semangatnya masing-masing. Ada kalanya redup, ada kalanya membara. Intinya api itu jangan sampai hilang,” ungkapnya.

Adapun poin-poin isi deklarasi yang disampaikan ke-40 orang muda di depan Gedung Merdeka hari itu antara lain:

  1. Siap menjadi penggerak untuk mendorong dan mengawal upaya-upaya transisi energi bersih yang berkeadilan.
  2. Siap berkolaborasi aktif dan inklusif dalam mengimplementasikan strategi nyata dalam melawan krisis iklim serta mendorong transisi energi bersih yang berkeadilan.
  3. Siap meningkatkan kesadaran dan edukasi di masyarakat tentang krisis iklim dan juga transisi energi bersih yang berkeadilan.
  4. Siap mengimplementasikan gaya hidup yang berkelanjutan dan prolingkungan sebagai bentuk aksi nyata melawan krisis iklim dan mendorong transisi energi bersih.
  5. Siap membersamai warga terdampak dan berada di barisan terdepan membela masyarakat terdampak
Orang-orang muda perwakilan mahasiswa dari Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, dan Papua mendeklarasikan mengakhiri krisis iklim di Gedung Merdeka, Bandung, Rabu, 7 Agustus 2024. (Foto: Awla Rajul/BandungBergerak)
Orang-orang muda perwakilan mahasiswa dari Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, dan Papua mendeklarasikan mengakhiri krisis iklim di Gedung Merdeka, Bandung, Rabu, 7 Agustus 2024. (Foto: Awla Rajul/BandungBergerak)

Aksi Nyata

Sebanyak 40 mahasiswa yang menyatakan deklarasi di Bandung sebelumnya mengikuti National Student Conference (NSC) yang diselenggarakan ENTER Nusantara, organisasi orang-orang muda yang memiliki visi mempromosikan dan mendorong penggunaan energi baru terbarukan. Konferensi tersebut diselenggarakan selama dua hari pada 5-6 Agustus di Hotel Savoy Homann, Bandung.

Nala telah melakukan gerakan “Friday For Future” sebanyak 80 kali sejak 2021. Setiap hari Jumat, menggunakan sepeda maupun jalan kaki, dia melakukan aksi mogok iklim sambil membawa poster bertuliskan “Pukul mundur krisis iklim” atau “Mari rawat bumi”. Aktif di gerakan global bagi Nala merupakan cara untuk melakukan aksi nyata dan menyadarkan orang-orang muda agar peduli dan mau beraksi bagi lingkungan.

Nala juga mengkritik skema pendanaan untuk transisi energi yang menjadi salah satu resolusi dari konferensi internasional G20 di Bali. Dia menilai pendanaan itu akan sulit dilakukan di Indonesia jika masih ada praktik korupsi. Pendanaan untuk krisis iklim yang dikorupsi akan memperpanjang krisis iklim, sementara masyarakat akan terus merasakan dampaknya.

“Tetapi ketika tidak ada korupsi, krisis iklim bisa diatasi dan energi baru terbarukan bisa diimplementasikan,” tuturnya.

Farid memandang bahwa proses transisi energi yang sedang dijalankan di Indonesia memiliki persoalannya tersendiri. Sayangnya, persoalan ini tidak bisa hanya dilihat menggunakan satu perspektif. Pemerintah di lain pihak belum menunjukkan komitmen seriusnya. Meski sudah menyepakati untuk bertransisi, faktanya energi fosil masih digunakan.

“Ada pula persoalan regulasi yang dibuat pemerintah, seperti pembatasan pemasangan PLTS atap, sehingga mau menerapkan secara menyeluruh itu belum maksimal dan optimal,” ucapnya.

Baca Juga: Orang Muda Jawa Barat Berkontribusi dalam Menghasilkan Solusi Menghadapi Krisis Iklim
Walhi di Pulau Jawa Menyerukan Penyelamatan Lingkungan dari Pembangunan dan Krisis Iklim
Para Pakar Dunia Mendorong Pembumian Matematika, di antaranya untuk Menjawab Krisis Iklim

Orang-orang muda perwakilan mahasiswa dari Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, dan Papua mendeklarasikan mengakhiri krisis iklim di Gedung Merdeka, Bandung, Rabu, 7 Agustus 2024. (Foto: Awla Rajul/BandungBergerak)
Orang-orang muda perwakilan mahasiswa dari Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, dan Papua mendeklarasikan mengakhiri krisis iklim di Gedung Merdeka, Bandung, Rabu, 7 Agustus 2024. (Foto: Awla Rajul/BandungBergerak)

Transisi Energi ala Orang Muda

Perwakilan ENTER Nusantara Naba Hudani, 23 tahun, menyebutkan, National Student Conference (NSC) bertujuan membahas isu krisis iklim dan transisi energi dari sudut pandang pemuda. Konferensi orang-orang muda ini hendak mencari tau apa saja tantangan-tantangan yang dihadapi anak muda dalam berkontribusi aktif mendorong transisi energi secara langsung dan melawan krisis iklim.

“Setelah konferensi, mereka juga merancang strategi bersama untuk nantinya mereka implementasikan di daerah mereka masing-masing. Harapannya hasil konferensi ini, anak-anak muda bisa langsung berpartisipasi secara aktif mendorong transisi energi bersih yang berkeadilan di Indonesia,” tuturnya.

Deklarasi merupakan bagian lanjutan dari kegiatan konferensi yang diniatkan sebagai bukti bahwa orang-orang muda Indonesia berkomitmen untuk menjadi roda penggerak dan garda terdepan dalam mendorong adaptasi transisi energi bersih yang berkeadilan dan melawan krisis iklim. Deklarasi ini menuntut peran serius pemerintah dan mempercepat proses transisi energi yang berkeadilan.

“Kami anak muda menuntut pemerintah untuk menyediakan ruang dialog yang terbuka dan berkelanjutan bagi anak muda untuk memastikan masukan yang selama ini kami berikan itu didengar dan diimplementasikan,” lanjutnya.

Naba menerangkan, penekanan transisi energi bersih yang berkeadilan disebabkan proses transisi energi bersih saat ini merenggut ruang hidup masyarakat. Pemerintah menggusur masyarakat dan mengambil alih lahan dengan dalih mempercepat transisi energi bersih. Padahal, sejatinya transisi energi bersih yang berkeadilan itu tidak merenggut hak hidup.

Di samping itu, proses transisi energi bersih yang berkeadilan juga harus melibatkan partisipasi bermakna semua kalangan, terlebih masyarakat terdampak. Partisipasi bukan diartikan satu arah, seperti sosialisasi yang dilakukan pemerintah yang diklaim sebagai keterlibatan. Keterlibatan bermakna adalah proses dua arah. Suara masyarakat didengar, dipertimbangkan, dan diimplementasikan, serta benar-benar dilibatkan dalam proses pengambilan kebijakan.

Secara konsep menyeluruh, dijelaskan Naba, transisi energi bersih yang berkeadilan yang hendak didorong adalah transisi energi yang melibatkan komunitas. Atau dalam istilahnya disebut desentralisasi energi. Cita-cita ini sangat beralasan, lantaran proses pengadaan energi di Indonesia sangat terpusat oleh pemerintah tanpa melibatkan komunitas dengan potensi sumber daya alam yang dimiliki.

“Kita mendorong keterlibatan komunitas-komunitas di daerah. Misal,di Lombok punya potensi panel surya, kita dorong masyarakat di situ dalam pengembangan teknologi yang nantinya dapat menciptakan desentralisasi energi. Transisi energi yang berbasis komunitas, skala komunal, pembangunan dan pemanfaatannya juga berdasarkan kebutuhan komunal,” ucap Naba.

*Liputan ini merupakan bagian dari kerja sama BandungBergerak dengan ENTER Nusantara

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//