Walhi di Pulau Jawa Menyerukan Penyelamatan Lingkungan dari Pembangunan dan Krisis Iklim
Krisis iklim yang terjadi di Pulau Jawa diperparah dengan pembangunan yang tidak berpihak pada keberlanjutan kehidupan manusia dan alam.
Penulis Muhammad Akmal Firmansyah28 Februari 2024
BandungBergerak.id – Selain pulau berpenduduk paling padat, Jawa selalu menjadi percontohan dan rujukan kemajuan bagi pulau-pulau lain di Indonesia. Namun, dalam beberapa bulan terakhir Jawa dilanda krisis iklim yang menyebabkan sedikitnya 250 orang lebih meninggal, 5 ribu orang luka-luka, dan 8 ribu orang penduduk mengungsi. Berdasarkan data Badan Nasional Penangunggalan Bencana (BNPB), teradapat 5.365 bencana di sepanjang 2023-2024.
Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Indonesia di lima regional pulau Jawa mengatakan, dampak dari krisis iklim ini disebabkan oleh faktor multidemensi baik secara politik ataupun ekonomi yang lebih mendepankan hasrat pembangunan, tidak memikirkan daya tampung dan daya dukung pulau Jawa.
Direktur Eksekutif Daerah Walhi Jawa Barat Wahyudin menyebutkan, Priangan termasuk wilayah rawan bencana karena krisis iklim. Hal ini diperparah dengan kebijakan-kebijakan tidak mendukung dan berperspektif lingkungan, salah satunya dengan menggeluarkan izin-izin tambang. Eksploitasi dan ekspolarasi daerah tambang dilakukan dengan tidak mempertimbangkan hukum daya tampun dan dukung alam.
“Tercatat kurang lebih hampir 1.000 izin yang dikeluarkan Provinsi Jawa Barat. Artinya trendnya setiap tahunnya semakin meningkat,” kata Wahyudin yang akrab disapa Iwang, dalam konferensi pers lima regional Walhi di Pulau Jawa, di Bandung, Selasa, 27 Februari 2024.
Selain itu, persoalan privatitasi air dan pencemaran sungai menjadi bagian dari eksploitasi alam di Jawa Barat yang tidak berperspektif lingkungan. Masalah lainnya, kata Iwang, darurat bencana sampah Bandung Raya akibat kelebihan muatan (overload) Tempat Pembuangan Akhir Sampah (TPAS) Sarimukti, Kabupaten Bandung Barat.
“Sarimukti sudah mengalami overload, sudah tidak dapat lagi menampung sampah yang berada di 4 kabupaten dan kota yang berada di Bandung. Nah, itu salah satu bentuk ketidakbecusan pemerintah dalam mengatasi persoalan sampah,” ungkap Iwang.
Di saat yang sama, Jawa Barat menghadapi krisis ruang terbuka hijau (RTH). Kebijakan Pemerintah Provinsi Jawa Barat dinilai tidak mencerminkan kaidah dan prinsip lingkungan terkait RTH ini.
“Yang dituangkan pada suatu dokumen kebijakan yang semestinya dijalankan oleh pemerintah tapi faktanya ruang terbuka hijau semakin tahun semakin menyusut, semakin tahun semakin minim. Tidak diimplementasikan,” jelas Wahyudin.
Kebijakan-kebijakan yang seharusnya mendukung dan menjaga alam, pada praktiknya tidak mendukung keberlansungan hidup dan keselamatan manusia. Dampak dari kebijakan ini berupa bencana alam, seperti banjir yang terjadi setiap musim hujan.
“Ini salah satu akumulasi dari ketidakbecusan pemerintah dalam memanfaatkan tata kelola ruang yang sebesarnya mengedepankan kaidah-kaidah ekologi, kaidah-kaidah lingkungan serta keselamatan manusianya,” jelas Iwang.
Iwang memaparkan, selama masa rezim Presiden Jokowi lahir tiga regulasi terkait Jawa Barat, yaitu Perpres No.15 tahun 2018 Tentang Percepatan, Pengendalian, dan Pencemaran Kerusakan Daerah Aliran Sungai Citarum; Perpres Cekungan Bandung No.45 tentang Rencana dan Tata Ruang Kawasan Perkotaan Cekungan Bandung, dan Pepres 87 tahun 2021 tentang Percepatan Pembangunan Kawasan Rebana dan Pembangunan Kawasan Bagian Selatan. Semua regulasi ini dinilai tidak berpihak kepada rakyat.
“Narasi ini semuanya percepatan pertumbuhan ekonomi dan mengedepankan investasi, tidak mengedepankan kepentingan yang merepresentasifkan kepentingan rakyat baik itu terhadap keberlangsungan lingkungan maupun juga keselamatan manusianya,” papar Iwang.
Baca Juga: GEOWISATA BANDUNG RAYA: Geotrek Curug Jompong Zaman Kolonial Belanda
Menikmati Listrik dari Matahari Cirata, PLTS Berpotensial Dibangun di Laut
Masyarakat Adat Suku Awyu Dirugikan dengan Putusan PTUN Jayapura terkait Gugatan Lingkungan
Empat Regional Mengalami Permasalahan Akibat Pembangunan
Jawa Barat bukan satu-satunya di pulau Jawa yang ekosistem dan bentang alamnya hancur akibat pembangunan. Direktur Eksekutif Daerah DKI Jakarta Suci Fitriah Tanjung mengatakan, pembangunan yang tidak melihat kondisi ruang, mengakibatkan penurunan permukaan tanah yang mencapai 12 cm per tahun. Di samping itu, krisis air bersih, polusi udara, pencemaran laut, sampah, dan limbah yang tidak terkelola mengakibatkan wilayah-wilayah di pesisir laut tenggelam.
Suci juga menyinggung ketidakadilan lingkungan di Ibu Kota. Setengah penguasaan agraria di DKI Jakarta dikuasai oleh korporasi yang menghambat pemenuhan 30 persen RTH berdasarkan amanat UU Penataan Ruang. Pemerintah juga masih memfasilitasi reklamasi yang merusak ekosistem dan maladaptasi, alih-alih memperbaiki dampak perubahan iklim.
“Reklamasi-reklamasi yang dilakukan tanpa izin dan kemudian juga ada wilayah masyarakat-masyarakatnya itu tidak dibangun kapasitasnya untuk bisa menghadapi tantangan kita hari ini,” kata Suci.
Persoalan serupa terjadi juga di Jawa Tengah dan Yogyakarta yang dirusak pertambangan. Pesisir laut Jawa Tengah juga mengalami bencana ekologis.
Direktur Eksekutif Daerah (ED) Walhi Jawa Tengah Fahmi Bastian mengatakan, pesisir utara Jawa Tengah mengalami degradasi lingkungan akibat pembangunan selama dua tahun terakhir. “Lebih dominan di pesisir utara, Semarang, Pekalongan, dan Demak yang (pembangunannya) tidak mendukung daya tampung dan daya dukung, mengalami permukaan penurunan muka tanah,” jelas Fahmi.
*Kawan-kawan dapat membaca tulisan-tulisan lain Muhammad Akmal Firmansyah, atau membaca artikel-artikel tentang Proyek Strategis Nasional