• Berita
  • Menepis Pandangan Keliru Soal Agama Buddha Melalui Kelas Sekolah Damai Indonesia

Menepis Pandangan Keliru Soal Agama Buddha Melalui Kelas Sekolah Damai Indonesia

Kelas Sekolah Damai Indonesia (Sekodi) bertajuk Lebih Dekat dengan Agama Buddha bertujuan untuk memperkenalkan prinsip-prinsip toleransi.

Proses kelas sekolah agama-agama serial ke-2 Sekolah Damai Indonesia (Sekodi) pada Sabtu, 10 Agustus 2024 di Vihara Karuna Mukti. (Foto: Foto: Nabila Eva Hilfani/ BandungBergerak.id)

Penulis Nabila Eva Hilfani 13 Agustus 2024


BandungBergerak.id – Banyak pandangan-pandangan kurang tepat pada agama Buddha. Salah satunya, agama Buddha dianggap sebagai agama etnis Tionghoa. Padahal fakta sejarah memperlihatkan agama Buddha telah lama hadir di tengah masyarakat nusantara dan dianut oleh orang dari berbagai latar belakang ras dan suku. 

“Pandangan-pandangan umum di masyarakat mengenai agama Buddha itu dianggapnya agama orang Tionghoa. Sekarang terbukti, teman-teman semua bisa lihat saya, bahwasanya profilnya ini dari segi tampilan yang hitam manis seperti ini tentu bukan orang Tionghoa. Artinya agama Buddha itu dari suku apa pun, ada. Ini salah satu pembuktian bahwasanya agama Buddha itu universal, siapa saja, dan dari suku apa saja itu ada,” jelas Suyanto, Pandita Masdya sekaligus Wakil Pengurus Vihara Karuna Mukti, Sabtu, 10 Agustus 2024.

Suyanto berbicara dalam rangkaian kegiatan sekolah agama-agama serial ke-2 yang diselenggarakan oleh Sekolah Damai Indonesia (Sekodi). Sekolah agama-agama yang diselenggarakan Sekodi kali ini bertajuk Lebih Dekat dengan Agama Buddha.

Belum lagi, arca Buddha yang sering kali dianggap sebagai objek yang disembah. Padahal arca hanyalah bentuk simbol dari penghormatan kepada sang Buddha dan sarana peribadatan.

Buddha adalah agama tertua di Indonesia. Bahkan sempat dalam satu masa, Buddha menjadi agama yang paling banyak dianut oleh orang-orang yang ada di nusantara.

“Pada zaman kerajaan, kita ingat raja Hayam Wuruk dengan Mahapatih Gajah Mada, pada zaman itu kita (agama Buddha) sudah berkembang agama Buddha. Bahkan, zaman keemasan agama Buddha pada zaman kerajaan Majapahit, terutama masa raja Hayam Wuruk dan patihnya Gajah Mada,” terang Suyanto.

Agama yang lekat dengan warna kuning sebagai simbol kebijaksanaan itu memiliki dua aliran ajaran besar yaitu Theravada dan Mahayana. Theravada berarti ajaran murni sang Buddha tanpa adanya penambahan dan pengurangan. Sementara Mahayana merupakan aliran yang memberikan penambahan dan pengurangan terhadap ajaran sang Buddha.

“Theravada ini aliran sesepuh. Jadi, dari zaman sang Buddha sampai saat ini, apa yang diajarkan Buddha itu tetap utuh, tidak dikurangi maupun ditambahi,” ujar Suyanto.

Tripitaka sebagai Kitab Suci Agama Buddha

“Tripitaka itu, tri- tiga, -taka, wadah atau keranjang. Jadi, kitab suci agama Buddha itu ada tiga keranjang. Satu keranjang pertama disebutnya Vinaya, kemudian, keranjang kedua, Sutta Pitaka, dan keranjang ketiga, Abhidhamma Pitaka,” ujar Suyoto.

Kitab suci Tripitaka memiliki pembahasan berbeda di setiap keranjang atau bagiannya. Suyanto menjelaskan, Vinaya Pitaka berisikan aturan-aturan para Bhikkhu. Sementara Sutta Pitaka membahas soal ajaran Buddha atau dharma. Terakhir, Abhidhamma Pitaka, bagian keranjang ketiga yang mengulas soal dharma.

Berdasarkan Vinaya Pitaka, Bhikkhu memiliki setidaknya 227 aturan yang harus dipatuhi selama menjadi Bhikkhu. Bahkan terdapat beberapa larangan besar yang ditujukan kepada Bhikkhu.

“Ada pelanggaran-pelanggaran (larangan) berat, bilamana melanggar dia (Bhikkhu yang melanggar) akan dikeluarkan dari persamuan atau sangha. Persamuan itu artinya perkumpulan para Bhikkhu,” jelas Suyoto.

Larangan para Bhikkhu terdiri atas empat larangan. Tidak membunuh, tidak mencuri, tidak menyombongkan diri atas kebohongan memiliki kesaktian, dan tidak melakukan hubungan seks. Larangan ini berkaitan erat dari definisi yang diyakini umat Buddha soal Bhikkhu yang merupakan seseorang yang telah meninggalkan segala urusan dunia.

Selain dari empat larangan tersebut, 223 aturan lainnya termasuk pada aturan menengah dan kecil. Aturan menengah seperti tidak boleh menjodoh-jodohkan dan merayu perempuan. Sementara aturan ringan dalam kehidupan sehari-hari Bhikkhu seperti tidak boleh tertawa terbahak-bahak atau bahkan tidak boleh mengeluarkan suara kecap-kecap saat makan.

Sutta Pitaka, bagian kedua dalam kitab suci Tripitaka membicarakan soal ajaran Buddha yang diturunkan kepada murid-muridnya selama 45 tahun semasa hidupnya. Sementara, keranjang ketiga Tripitaka, Abhidhamma Pitaka merupakan bagian yang menjelaskan dhamma atau ajaran Buddha.

Baca Juga: PROFIL SEKOLAH DAMAI INDONESIA (SEKODI): Teman Muda yang Meretas Perbedaan
Cara Anak Muda Bandung Menghalau Intoleransi dan Hoaks
https://bandungbergerak.id/article/detail/159144/orang-orang-muda-sebagai-pembuka-gerbang-toleransi-dan-inklusi-sosial Peserta kelas sekolah agama-agama serial ke-2 Sekolah Damai Indonesia (Sekodi) pada Sabtu, 10 Agustus 2024 di Vihara Karuna Mukti. (Foto: Foto: Nabila Eva Hilfani/ BandungBergerak.id)

Peserta kelas sekolah agama-agama serial ke-2 Sekolah Damai Indonesia (Sekodi) pada Sabtu, 10 Agustus 2024 di Vihara Karuna Mukti. (Foto: Foto: Nabila Eva Hilfani/ BandungBergerak.id)

Nilai-nilai Hidup dalam Agama Buddha

“Janganlah berbuat jahat, tambahlah kebajikan, bersihkan hati dan pikiran,” tutur Suyoto yang menyebut satu kalimat pedoman hidup umat Buddha.

Dalam ajaran Buddha, dukkha atau penderitaan bukan hanya soal kegetiran hidup. Dukkha dalam ajaran Buddha juga berarti hal-hal yang ada di dunia. Hal-hal duniawi yang melekat dengan manusia. Lahir, tua, sakit, mati.

“Kemelekatan terhadap nama (mental atau batin) dan rupa (fisik atau tubuh) inilah yang menyebabkan dukkha,” katanya.

“Kalau kita melekat ke sana (nama dan rupa) ibaratnya seperti anjing makan tulang. Dia tidak akan kenyang. Terus menggerogoti. Kalau terus menggubah hawa nafsu seperti anjing makan tulang itu. Makannya, kalau kita melekat pada tulangnya itu, itulah penyebab penderitaan itu. Jadi semakin banyak keinginan, semakin banyak penderitaan,” lanjutnya.

Ketidakkekalan menjadi satu keyakinan umat Buddha dalam penerimaan sesuatu hingga akhirnya terhindar dari sebuah kemelekatan yang juga berarti terjauh dari dukkha

Pada akhirnya, pengetahuan tentang agama Buddha yang disampaikan dalam kelas sekolah agama-agama yang diselenggarakan oleh Sekodi memiliki tujuan yang lebih luas yakni, penyebaran prinsip toleransi.

“Tujuan kami (Sekodi) mengadakan kelas ini adalah sebetulnya untuk memperkenalkan kepada teman-teman muda terkait, selain Buddha itu apa, kita juga memperkenalkan dengan teman-teman dari agama atau kepercayaan lainnya juga. Tujuannya adalah untuk memperkenalkan prinsip toleransi itu seperti apa,” jelas Fanny S. Alam, koordinator regional Bandung Sekolah Damai Indonesia (Sekodi).

Bagi Putri Nabila, volunteer Sekodi, kelas ini penting karena yang paling utama bagaimana prasangka negatif terkait agama lain mulai mengikis melalui pengenalan lebih dalam agama lain selain agama yang dianut masing-masing.

*Kawan-kawan yang baik bisa membaca artikel-artikel lain dari Nabila Eva Hilfani, atau tulisan-tulisan menarik lain tentang Toleransi

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//