Implementasi Larangan Membuang Sampah Organik ke TPA Sarimukti Masih Lemah, Walhi Jabar Menyarankan Pengetatan Pemilahan Sampah di Kawasan Komersial
Walhi Jabar menemukan masih banyak sampah tercampur yang dibuang ke TPA Sarimukti. Bandung Raya darurat sampah dikhawatirkan terulang kembali.
Penulis Emi La Palau15 Agustus 2024
BandungBergerak.id - Larangan membuang sampah organik ke Tempat Pemrosesan Akhir (TPA) Sarimukti telah dikeluarkan oleh Pemerintah Provinsi Jawa Barat dalam upaya penanganan darurat sampah di Bandung Raya. Namun, sejak aturan tersebut dikeluarkan pada Agustus 2023 lalu, hingga kini pembungan sampah organik ke TPA Sarimukti masih terus terjadi.
Pemerintah Provinsi Jawa Barat telah mengeluarkan Instruksi Gubernur Jawa Barat nomor 02/PBLS.04/DLH tentang Penangan Sampah pada Masa Darurat dan Pasca Masa Darurat Sampah Bandung Raya. Regulasi ini di antaranya mengatur bahwa TPA Sarimukti tidak lagi menerima sampah organik.
Namun, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Jawa Barat masih menemukan pembuangan sampah organik yang tercampur dengan sampah nonorganik di TPA Sarimukti. Walhi Jawa Barat telah melakukan survei ke TPA Sarimukti, Sabtu, 15 Juni 2024.
Tim Advokasi Sampah Walhi Jabar M Jefry Rohman mengungkapkan, TPA Sarimukti masih menampung buangan sampah sebanyak 300 hingga 320 ritase per hari (2.500 ton) yang didominasi sampah organik sebanyak 70 persen. Dari jumlah volume tersebut, Kota Bandung menyumbang sampah paling banyak sebanyak 170 ritase per hari (1.500 ton).
Kawasan komersial seperti pasar tradisional, mal, restoran, hotel menjadi salah satu sektor paling banyak menghasilkan sampah organik ke TPA Sarimukti. Walhi Jabar mendorong agar pemerintah daerah khususnya Pemprov Jabar tegas dalam pengelolaan sampah, yaitu dengan mengimplementasian kebijakan yang telah dibuat. Pemerintah daerah diminta mencari jalan keluar atas permasalahan atau pembangkangan berbagai pihak yang masih membuang sampah organik ke TPA.
“Kebijakan kewenangan Pemprov dalam hal pengolahan sampah regional. Kedua, fokus bagaimana ketegasan kewenangan Pemkot Bandung dalam hal ini melihat volume sampah paling banyak 60 persen dari kawasan komersial,” ungkap M Jefry Rohman, dalam konferensi pers di sekretariat Walhi Jabar, Bandung, Senin, 12 Agustus 2024.
Tak hanya itu, Jefry menyebut di lokasi pembuangan sampah tak ada pelarangan dan pemantauan terhadap truk pengangkut sampah. Di dalam truk-truk tersebut sampah-sampah masih tercampur antara organik dan nonorganik.
Hal itu bertentangan dengan aturan dan instruksi Gubernur yang melarang pembuangan sampah organik ke TPA Sarimukti. Aturan ini semestinya dibarengi dengan adanya proses pemilahan sampah organik dan nonorganik di sumber-sumber sampah. Namun dHal ini seolah hanya menjadi aturan tak bermakna. Implementasi di lapangan jauh panggang dari api.
Walhi Jabar meminta agar permasalahan sampa ini bisa diselesaikan dengan solusi terbaik. Kebijakan yang dikeluarkan Pemprov Jabar dinilai memiliki bolong sehingga tidak bermakna dalam pengelolaan sampah di Bandung Raya.
Walhi Jabar juga ingin beraudiensi dengan Pemprov Jabar maupun DPRD Jabar terkait permasalahan pengelolaan sampah. Akan tetapi baik dari eksekutif maupun dari lembaga legislatif keduanya belum merespons.
“Memang persolan sampah ini masalah yang bisa dikesampingkan, bukan prioritas yang mesti dilakukan segera, itu dari kacamata kami,” ungkapnya.
Ia menilai, Pemprov Jabar tidak menunjukkan keseriusan dalam mengimplementasikan instruksi gubernur tentang pengelolaan sampah. “Mereka cenderung membiarkan sampah organk mengalir terus ke TPA Sarimukti tanpa penindakan dan pengawasan apa pun,” katanya.
Walhi Jabar juga mempertanyakan keseriusan Pemprov Jabar dalam upaya penangan sampah regional. Kewenangan provinsi berdasarkan amanat undang-undang pengelolaan sampah adalah melakukan pengembangan sistem dan pengelolaan persampahan regional serta penangan sampah di TPA/TPST Regional.
Pemprov Jabar menurut Tim Advokasi Sampah Walhi Jabar berkewajiban untuk mengawal dan mengevaluasi secara seksama pengelolaan sampah. Pemprov juga mesti mengawasi tanggung jawab pengelolaan sampah di level kabupaten dan kota. Tanpa menjalankan amanat undang-undang, Walhi Jabar khawatir TPA Sarimukti tak lagi mampu menampung buangan sampah dan akan kembali overload sebelum habis masa kontrak pemakaiannya pada tahun 2025.
Walhi Jabar mendorong agar Pemerintah Provinsi Jabar membuat konsep pengelolaan sampah tingkat regional. Bila perlu, Pemprov mesti mengeluarkan kebijakan yang lebih tinggi dari Instruksi Gubernur.
Baca Juga: Pengurangan Sampah Kota Bandung Belum Signifikan, Pengoperasian TPPAS Regional Legok Nangka Masih Lama
Pemilahan Sampah Organik di Kota Bandung Sering Menemui Kendala
TPA Sarimukti Dikhawatirkan tak Sanggup Menampung Sampah Bandung Raya Januari 2024
Kawasan Komersial Penghasil Sampah Organik Terbanyak di Kota Bandung
Persoalan persampahan di Bandung Raya masih menjadi pekerjaan rumah bagi pemerintah Provinsi Jawa Barat dan pemerintah di kabupaten dan kota. Pascadarurat sampah yang terjadi pada Agustus 2023 hingga sekarang penyelesaian persoalan sampah masih belum terselesaikan dengan baik.
Menurut Catatan Walhi Jabar berdasarkan data food waste atau Sampah Sejenis Rumah Tangga (SSRT) DLH Provinsi Jawa Barat tahun 2022, Cekungan Bandung atau Bandung Raya memproduksi sampah organik sekitar 2.327 ton per hari. Dari data itu, tercatat produksi sampah organik di Kota Bandung mencapai 874 ton berasal dari kawasan komersial seperti pasar, hotel, restoran, kafe, rumah sakit, mal, dan lainnya, dan sekitar 515 ton berasal dari rumah tangga.
Muhammad Ardi Elmeidian, salah satu tim Advokasi Sampah Walhi Jabar yang juga konsen terhadap isu pengolahan sampah organik dengan metode maggot mengungkapkan, timbulan sampah yang berkontribusi paling banyak di TPA Sarimukti jelas berasal dari Kota Bandung. Dari total data DLH Jabar, 60 persen sampah berasal dari Kota Bandung.
Ardi ragu dengan klaim DLH Kota Bandung yang menyatakan Kota Bandung hanya menghasilkan sampah 1.500 sampai 1,600 ton per hari. Menurutnya, sampah yang dihasilkan Kota Bandung diperkirakan lebih dari 1.500 ton per hari.
“Saya ragu kok itu datanya salah. Menyelesaikan sampah Bandung Raya fokus di Kota Bandung, karena paling banyak, dan fokusnya di food waste,” ungkap Ardi dalam konferensi pers.
Menurutnya, pemerintah seharusnya memiliki instrumen kontrol untuk mendorong pengurangan sampah organik di kawasan komersial yang notabene memiliki izin usaha. Instrumen ini harus menekan para pengusaha pengelola kawasan komersial untuk melakukan pengelolaan sampah.
Kawasan komersial memiliki tanggung jawab untuk melakukan pengelolaan sampah secara mandiri tanpa harus membebani APBD, sebagaimana PP 81 tentang Pengelolaan Sampah Rumah Tangga dan Sampah Sejenis Rumah Tangga. Dengan demikian, sampah organik dari kawasan komersial seharusnya dapat menjadi target yang paling mudah untuk dicapai apabila Pemkot Bandung serius memenuhi Instruksi Gubernur dan kesepakatan lainnya.
Selain itu, Pemkot Bandung juga dapat menggunakan instrumen perizinan atau kewajiban pengelolaan sampah bagi pengelola kawasan komersial, sesuai Peraturan Daerah Kota Bandung nomor 9 tahun 2018 tentang pengelolaan sampah pasal 24, 27, dan 59.
Sayangnya, Walhi Jabar menilai terjadi pembiaran di lapangan. Pemerintah seolah melakukan pembiaran dan tidak tegas melakukan pengawasan.
“Keseriusan ini harus ditunjukkan oleh Pemprov Jabar. Katanya DLH gak ngurusin yang seperti ini, katanya Disperkim tapi tidak ada juklaknya,” ungkap Ardi.
Ardi melihat kinerja Pemprov Jabar maupun DPRD Jabar tidak jelas dalam pengelolaan sampah ini. Anggota Walhi Jabar Dedi Kurniawan mengatakan, beda antara peraturan dan kenyataan di lapangan dalam hal permasalahan sampah di Cekungan Bandung ini. Misalnya, pembatasan truk pengangkut sampah berbeda antara yang tertulis dan di lapangan.
Contohnya, kata Deni, tiap pasar tradisional hanya boleh membuang 3 truk sampah. Tetapi kenyataannya bisa sampai 6 truk. Dedi menuding ada permainan di balik pengangkutan sampah ini.
Dedi pun mendorong agar pemerinatah serius mengelola sampah. Ia menyoroti bahwa insinerator atau tungku pembakaran sampah yang digadang-gadang Pemkot Bandung bukanlah solusi untuk menyelesaikan persoalan sampah di Kota Bandung.
“Di pasar Gedebage dibiarkan di jalan sampah. Tidak dikelola. Sebagus-bagusnya insinerator tidak bisa dibakar, karena tercampur, kalau sampah basah lama, mesin itu tidak berfungsi,” kata Deni.
Ia juga menilai sosialisasi pengelolaan sampah yang dilakukan pemerintah terkesan hanya mengiming-imingi masyarakat dengan uang. Bhahwa sampah bisa menghasilkan uang. Sosialisasi ini dinilai salah kaprah. Akibatnya, sampah tidak terkelola dengan baik.
Memang benar sampah bisa menghasilkan uang. Tetapi uang bukanlah hal yang utama dalam proses pengelolaan sampah. “Sekarang tugasnya sampah selesai, bukan sampah menghasilkan uang,” tandasnya.
*Kawan-kawan bisa membaca artikel-artikel lain dari Emi La Palau, atau tulisan-tulisan menarik lain tentang Sampah Bandung Raya