Pemilahan Sampah Organik di Kota Bandung Sering Menemui Kendala
Pemkot Bandung idealnya memulai pemilahan sampah organik di ruang publik, pasar, area komersil, dan perkantoran pemerintahan sendiri sebelum menyasar permukiman.
Penulis Repi M Rizki22 Januari 2024
BandungBergerak.id - Warga Kota Bandung memiliki kewajiban mengelola sampah organik secara mandiri, buntut dari kebakaran dan kelebihan muatan Tempat Pemrosesan Akhir (TPA) Sarimukti tahun 2023 lalu. Meski status darurat sampa Kota Bandung telah dicabut, namun pembuangan sampah ke TPA Sarimukti, satu-satunya TPA yang melayani pembuangan sampah untuk wilayah Bandung Raya, tetap masih dibatasi.
Kondisi itu menunjukkan bahwa Bandung belum bebas dari masalah sampah. Proses pemilahan sampah organik di lingkup rumah tangga pun masih memerlukan waktu untuk adaptasi. Memilah sampah bukanlah sulap atau sihir, perlu perubahan perilku dari biasa mencampur sampah menjadi memilah.
Di lapangan, masalah pemilahan sampah organik dan nonorganik masih menjadi soal utama. Tempat Pemrosesan Sementara (TPS) di Kota Bandung masih belum sepenuhnya terpilah. Tak heran jika bau busuk selalu menyeruak, seperti yang terjadi di TPS Ujung Berung, Bandung.
“Memang sangat terasa sekali aroma bau dari setiap TPS yang dilalui. Padahal cuma lewat saja menggunakan kendaraan tapi aromanya begitu menyengat, sehingga mengganggu kenyamanan masyarakat yang melewat,” kata Leli Sri Mulyani, warga Kecamatan Cibiru yang berprofesi guru di di salah satu SD di Ujung berung, Selasa, 16 Januari 2024.
Leli menyayangkan TPS Ujung Berung masih menjadi tempat pembuangan sampah tercampur, tidak dipilah antara sampah organik dan nonorganik. Cuaca musim hujan menambah parah sampah di TPS di Bandung timur tersebut, basah dan membusuk.
Leli mengaku sudah memilah sampah sendiri di rumahnya sebelum adanya program larangan membuang sampah organik ke TPS, kebijakan yang muncul ketika Bandung dalam status darurat sampah. Ia mengolah sampah organiknya dengan menjadikan pakan ternak ikan.
“Saya membuang sampah organik ke kolam ikan sekaligus bisa menjadi pakan untuk ikan, atau biasanya saya mengubur sampah organik di halaman belakang,” terang Leli.
Pengangkutan sampah dari TPS Ujung Berung ke TPA Sarimukti saat ini tetap dibatasi. Dampaknya, timbulan sampah sering kali tertahan. Lama kelamanaan sampah terus menggunung dan menimbulkan bau tak sedap.
Penjaga TPS Ujung Berung Dede Setiadi Nugraha mengatakan, jumlah sampah di TPS tersebut sebenarnya relatif berkurang setelah adanya pemberitahuan dari pemerintah mengenai larangan membuang sampah organik ke TPS. Dede mengatakan, masyarakat sudah memilah sampah organik secara mandiri sebelum membuang ke ke TPS Ujung Berung.
“Untuk perbedaan setelah adanya pemberitahuan larangan membuang sampah organik itu sebenarnya sama aja. Cuma kalau sekarang sampahnya tidak terlalu berat karena sampah organik sudah berkurang. Kalau kita kan di sini penjaga dan pelaksana jadi ya ikuti saja apa yang diperintahkan pemerintah,” kata Dede, saat ditemui di TPS Ujung Berung.
Baca Juga: Visi Misi Calon Presiden tak Menyentuh Hulu Penyebab Buruknya Tata Kelola Sampah di Indonesia
Bandung (Lagi-lagi) Darurat Sampah
Pemkot Bandung masih Mencari Solusi Penanganan Sampah, Apa Kabar dengan Kang Pisman?
Mengelola Sampah Organik
Kebijakan melarang membuang sampah organik ke TPS membutuhkan kerja sama dengan lingkup terkecil masyarakat, mulai dari rumah tangga, RT, RW, kelurahan, dan kacamatan. Di ranah kewilayahan ini, kebijakan baru memunculkan persoalan baru alias dilema.
Suyut bin Nana Suryana selaku Ketua RW 07 di wilayah Cipadung menjelaskan di wilayahnya terdapat TPS Pangaritan yang melayani pembuangan sampah untuk dua kecamatan. Begitu ada kebijakan pelarangan membuang sampah organik, menurut Sayut sudah ada beberapa RW yang langsung mengolah sampahnya secara mandiri.
Dari 32 RW yang membuang sampah ke TPS Pangaritan, sekarang menjadi 27 RW. Sisanya masih membutuhkan proses untuk merespons kebijakan tersebut.
Pengangkutan sampah dari TPS menuju TPA dilakukan per hari. Dalam sehari, volume sampah yang diangkut dari TPS Pangaritan sebanyak 21 ton. Setelah program larangan membuang sampah organik, sampah yang dihasilkan dari TPS pangaritan berkurang menjadi 16 ton.
“Hal itu beriringan dengan program di setiap RW yang melakukan pengolahan sampah secara mandiri,” terang Suyut, saat ditemui di TPS Pangaritan.
Di sisi lain, pelarangan membuang sampah organik menimbulkan dilema di masyarkaat khususnya para pelaku UMKM atau pedagang.
“Mungkin jika dalam ruang lingkup keluarga bisa mengelola sampah organik itu menjadi pengempos, namun di sisi lain jika dilihat di bidang UMKM seperti tukang sayuran itu bisa menghasilkan sampah organik sebanyak 20 kg per hari sehingga menyebabkan dilema bagi tukang sayur sendiri. Jadi kebanyakan yang membuang sampah organik ke TPS sini yaitu pelaku UMKM,” kata Suyut, saat ditemui di TPS Pangaritan.
Suyut menyatakan, diperlukan waktu yang tidak sebentar untuk mengubah kebiasaan masyarakat yang sudah sejak dulu ditanamkan paradigma berpikir “membuang” menjadi “mengelola” sampah. Menurutnya, jika masyarakat masih mempunyai prinsip membuang sampah maka akan sulit untuk menumbuhkan kesadaran betapa pentingnya mengelola sampah.
Prinsip paradigma “mengelola” sampah akan membuat masyarakat lebih bijak lagi dalam mengelola sampah organik. Prinsip itu wajib disosialisasikan mulai dari keluarga terdekat seperti mengenalkan dan mengajarkan cara pengolahan sampah organik kepada anak-anak agar mereka terbiasa bijak mengelola sampah sejak usia dini.
“Saya sendiri sebelum adanya program dari pemerintah sudah start lebih dulu dalam mengelola sampah organik, dengan memanfaatkan sampah organik untuk dijadikan pakan maggot sehingga maggot itu sendiri bisa menjadi swaguna (tabungan). Namun karena belum adanya gambaran marketing mau ke arah mana maka maggot itu dijadikan pakan ternak ayam, mungkin untuk ke depannya saya akan menerapkan budidaya maggot di masyarakat,” ungkap Suyut.
Suyut juga menyayangkan belum adanya mitra kerja yang bisa mengeksekusi hasil dari pengolahan sampah organik, seperti halnya pada jenis sampah anorganik yang dikelola oleh pengepul. Sampah organik cenderung susah memiliki nilai jual.
Sayut berharap bisa berkolaborasi dengan berbagai pihak terutama perguruan tinggi di Bandung untuk mendirikan mitra kerja sama dalam mengatasi masalah sampah organik. Jika sampah organik ini memiliki nilai ekonomi, maka mereka lebih bersemangat lagi dalam mengelola sampah.
”Sebenernya di pasar luar sekarang dalam sektor pertanian sedang membutuhkan pupuk cair organik, khususnya di daerah Tasik yang mendapatkan pesanan beras premium dari Jepang dengan menggunakan pupuk cair organik. Jadi mohon untuk dipikirkan karena masyarakat tidak tahu cara mengolah sampah organik menjadi pupuk cair organik. Jadi saya berharap masyarakat yang mengumpulkan sampah organik, lalu ada suatu perusahaan yang mengolahnya,” harap Sayut.
Pelarangan Sampah Organik Mestinya Dimulai dari Institusi Pemerintah Sendiri
Andi Mochamad dari forum Bandung Juara Bebas Sampah (BJBS) menyatakan, dengan menyasar langsung masyarakat atau permukiman warga, sebenarnya Pemkot Bandung telah melangkahi tahapan-tahapan yang mestinya relatif lebih mudah dalam melakukan pemilahan sampah organik dan nonorganik.
BJBS yang merupakan mitra Pemkot Bandung dalam mengelola sampah, sudah merekomendasikan agar pengelolaan sampah organik diprioritaskan pada tiga kategori kelompok di masyarakat terlebih dahulu, tidak langsung menyasar masyarakat atau permukiman.
Pertama, kategori taman atau ruang publik seperti jalan. Sampah organik dari ruang publik ini berada dalam kontrol Pemkot Bandung sehingga lebih mudah dikendalikan.
Kategori kedua, sampah organik dari pasar yang juga relatif lebih mudah dikontrol karena lebih terpusat, dan pemerintah juga memiliki kewenangan untuk mengatur pasar. Kategori ketiga, sampah organik dari kawasan komersial dan kantor-kantor pemerintahan.
Dengan mengelola sampah organik di tiga kategori kelompok tersebut, Andi menegaskan bahwa pengelolaan sampah organik akan lebih mudah terkendali. Masyarakat juga bisa melihat contoh atau teladan. Namun Pemkot Bandung rupanya lebih memilih langsung ke permukiman yang masalahnya lebih rumit.
“Padahal untuk ke tahap permukiman itu harus melalui proses panjang, adaptasinya panjang, ada perubahan rantai pengolposan, keterbatasna lahan, dan lain-lain. Sehingga yang mestinya didorong tiga kawasan tadi,” kata Andi Mochamad, di acara pelatihan yang digela Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Bandung, di penghujung 2023 lalu.
*Kawan-kawan dapat membaca lebih lanjut mengenai permasalahan sampah Kota Bandung melalui tautan ini