• Cerita
  • Nestapa Tarawangsa di Kampung Kota, Berpentas di Gang Sempit dan Tidak Masuk Kurikulum Pembelajaran

Nestapa Tarawangsa di Kampung Kota, Berpentas di Gang Sempit dan Tidak Masuk Kurikulum Pembelajaran

Di Cilameta, kampung padat di Kecamatan Gedebage, Kota Bandung, tarawangsa dimainkan oleh orang muda. Berharap kurikulum mewadahi kesenian ini.

Suasana pentas tarawangsa dalam acara Mapag Sasaka Dwiwarna di Kampung Cilameta, Gedebage, Kota Bandung, Jumat, 16 Agustus 2024 malam. (Foto: Yopi Muharam//BandungBergerak.id)

Penulis Yopi Muharam18 Agustus 2024


BandungBergerak.id - Wangi kemenyan menjalar ke setiap sudut gang Kampung Cilameta, Kelurahan Cimincrang, Kecamatan Gedebage, Kota Bandung, Jumat, 16 Agustus 2024 malam. Di sebuah pekarangan rumah yang sempit, berukuran kurang lebih 5x8 meter, sesajen dan tumpeng dihamparkan. Dari sanalah wangi kemenyan itu berasal.

Malam itu, warga berkumpul, dari para tokoh hingga anak-anak. Mereka memadati gang, yang berhiaskan kertas bercorak merah putih tergantung di atasnya, dengan menggelar karpet rumah dan bahkan karpet masjid.

Menjelang perayaan Hari Ulang Tahun Republik Indonesia ke-79, Kampung Cilameta menggelar acara Mapag Sasaka Dwiwarna. Para pemuda Karang Taruna Cilameta (Kancil) 01 yang jadi penggagasnya. Seisi kampung bakal berjaga hingga malam suntuk.

Beruntung, cuaca malam itu sangat bersahabat. Tidak dingin, tidak juga panas. Rembulan benderang, memantulkan cahaya ke kaca-kaca rumah.

Tarawangsa, sebuah kesenian Jawa Barat yang nyaris punah, menjadi sajian pertama. Sempitnya gang membuat tidak semua warga dapat melihat secara langsung penampilan tersebut karena terhalang oleh tembok. Mereka hanya mendengar gesekan tarawangsa dan suara petikan jentreng yang digaungkan melalui pengeras suara.

Tak jarang, suara noise mengganggu penampilan. Bahkan sesekali mikrofon yang ditodongkan ke alat musik tidak menyala. Bukan tanpa alasan, alat seadanya itu merupakan ciptaan pemuda Kancil 01. Tidak ada operator profesional untuk mengatur audio. Semuanya amatiran. Berbekal pengetahuan seadanya.

Ketika tarawangsa digesek dan jentreng dipetik, lampu LED yang menempel di rumah dimatikan. Suasana terasa sedikit mencekam. Yang terlihat hanya abu merah di dupa dan baunya yang menyebar. Namun, karena warga tidak bisa melihat apapun, tak lama kemudian lampu kembali dinyalakan.

Dua orang muda, Mochamad Firsal pada tarawangsa dan Gilang Alfatwa pada jentreng, tampil di tengah kerumunan warga. Mereka merupakan bagian dari Matri Simpay Pamitran, sebuah komunitas tarawangsa yang digagas oleh para mahasiswa ISBI Bandung.

Neng Ratna Sari, 29 tahun, salah seorang warga, menikmati betul gesekan tarawangsa dan petikan jentreng. Sesekali, dia merekam menggunakan gawainya. Ini adalah kali kedua Sari menonton Tarawangsa di kampungnya, meskipun dia sering menonton aksi kesenian buhun ini di aplikasi TikTok.

“Kalau tentang seni sih saya selalu mendukung, apalagi tarawangsa,” ujar Sari yang menonton pentas dari barisan tengah sehingga pandangannya sedikit terhalang oleh tembok.

Di depan Sari, banyak anak-anak tak kalah antusias menonton tarawangsa. Dia berharap,  mereka akan mengenal dan menyukai tarawangsa. Di masa mendatang, anak-anak inilah juga yang akan meneruskan kerja menghidupi seni tradisi.

Antusiasme warga menyaksikan kesenian tarawangsa dalam Mapag Sasaka Dwiwarna di Kampung Cilameta, Gedebage, Kota Bandung, Jumat, 16 Agustus 2024 malam. (Foto: Yopi Muharam//BandungBergerak.id)
Antusiasme warga menyaksikan kesenian tarawangsa dalam Mapag Sasaka Dwiwarna di Kampung Cilameta, Gedebage, Kota Bandung, Jumat, 16 Agustus 2024 malam. (Foto: Yopi Muharam//BandungBergerak.id)

Ruang Menyempit di Kampung Kota

Kampung Cilameta mewakili potret kampung-kampung kota di Bandung yang bermasalah dengan terus menyempitnya ruang terbuka. Ketika pentas tarawangsa di kampung ini pertama kali digelar pada tahun 2022 lalu, masih ada tanah kosong seluas lapangan voli yang bisa digunakan. Namun oleh pemiliknya, lahan tersebut telah diganti dengan bangunan.

“Jadi udah enggak ada weh si lapang teh. Jadi salah satu alasan juga-lah kenapa diadainnya di gang juga,” tutur Alvin Apriansah, 22 tahun, ketua Karang Taruna Cilameta (Kancil) 01, tersenyum kecil.

Rumah yang dijadikan papayon (panggung) berselasar itu adalah rumah nenek Alvin. Rumah bertembok keramik putih itu dihiasi dengan kain putih dan kain bergambar gunung serta tokoh bertuliskan aksara Sunda di bawahnya. Di atasnya, terpampang bendera merah putih yang dikaitkan ke sebuah paku. Sangat sederhana.

Ketiadaan lahan terbuka juga berimbas pada penyelenggaraan lomba 17 Agustusan untuk anak-anak. Bukan perkara mudah. Para pemuda Kancil 01 sebagai panitia harus meminta izin untuk menggunakan tanah kosong milik  sebuah perusahaan swasta yang selama ini biasa dimanfaatkan sebagai lahan parkir bagi wisatawan Masjid Al-Jabbar.

Untuk menyelenggarakan puncak acara 17 Agustusan, lain lagi siasatnya. Pemuda Kampung Cilameta berencana untuk menggelarnya di kawasan Kampus 2 UIN Sunan Gunung Djati Bandung. Memang kampung ini terletak dalam impitan dua kompeks besar dibangun dan dikembangan dalam beberapa tahun belakangan, yakni Masjid Al-Jabbar dan kampus UIN.

“Karena udah enggak ada lapang di sini,” ucap Alvin. “Udah susah-lah buat acara di sini tuh.”

Demikianlah banyak keterbatasan yang dijumpai di kampung kota yang padat. Namun, bukan berarti itu jadi pembenaran untuk berpangku tangan. Orang-orang muda di Kampung Cilameta, Gedebage, membuktikan bahwa banyak hal tetap bisa dikerjakan.

Acara Mapag Sasaka Dwiwarna sendiri disiapkan oleh para pemuda Kancil 01 dalam waktu sekitar satu pekan. Sangat mepet! Namun toh antusiasme warga tidak berkurang. Panitia bahkan mengundang warga RW 02 untuk ikut menonton pentas tarawangsa.

“Kalau saya mah pengin si anak-anak di sini mulai dari anak kecil sampai yang dewasa bisa mainin tarawangsa. Terus bisa juga ngenalin ke daerah luar, pokoknya ngenalin tarawangsa ke tempat yang lain,” harap Alvin.

Potret orang-orang muda yang menekuni tarawangsa. (Foto: Yopi Muharam//BandungBergerak.id)
Potret orang-orang muda yang menekuni tarawangsa. (Foto: Yopi Muharam//BandungBergerak.id)

Baca Juga: Semalam Suntuk Larut dalam Tarawangsa Rancakalong
Melestarikan Sungai Cikapundung Lewat Kesenian Tarawangsa di Kampung Cibarani
Tarawangsa dalam Panggung Modern Pidangan Rumawat Padjadjaran

Tidak Masuk Kurikulum

Tarawangsa merupakan kesenian asli Jawa Barat yang berasal dari Rancakalong, Sumedang, sebagai bagian dari tradisi merayakan masa panen padi. Namun, seiring berjalanannya waktu, kesenian ini bukan hanya dipentaskan sebagai penyambut panen raya, tapi bisa jadi penghibur di berbagai acara seperti Agustusan.

Mochamad Firsal, salah seorang pegiat komunitas Matri Simpay Pamitran yang tampil di Kampung Cilameta, mengaku telah menyukai tarawangsa sejak duduk di bangku sekolah dasar (SD). Dia mengetahui kesenian tersebut dari kakak-kakaknya dan  juga dari lingkungan sekitar.

Memasuki jenjang SMP, Firsal mulai mempelajari tarawangsa secara otodidak melalui panduan di YouTube. Ketekunannya ini bertahan hingga jenjang SMA.  Baru ketika belajar di perguruan tinggi,  ia berguru langsung ke sesepuh di Rancakalong, Sumedang.

Saat ini terhitung sudah lima tahun Firsal berguru tarawangsa. Ia pun piawai memainkan alat musiknya.

Tentang nilai-nilai filosofis tarawangsa, Firsal menjelaskan bahwa tarawangsa merupakan akronim yang tersusun oleh ta (tatabeuhan), ra (rakyat), wa (wali), nga (ngalalanang atau ngalalakon), serta sa (salapan, yang melambangkan sembilan walisongo).

“Makanya senar tarawangsa itu ada 9, jentrengnya 7 rebab atau tarawangsanya ada 2 karena melambangkan para wali,” kata Firsal yang merupakan seorang mahasiswa Jurusan Karawitan.

Di kampus Firsal, ISBI Bandung, tarawangsa tidak masuk kurikulum pembelajaran. Bahkan, sesekali ada dosen yang mengatakan karawitan di ISBI ini hanya berpatok pada kliningan-nya saja. Padahal, dalam keyakinan Firsal, kesenian Sunda tidak terbatas hanya itu.

Bersama beberapa temannya, Firsal lantas bersepakat untuk membentuk komunitas tarawangsa yang dinamai Matri Simpay Pamitran. Inilah komunitas komunal yang dibangun untuk menjalin relasi, sekaligus menjadi wadah untuk belajar bersama. Siapa saja yang ingin mendalami tarawangsa boleh bergabung, mulai dari mahasiswa hingga masyarakat umum.

Bercermin dari perjalanannya sendiri, Firsal menyayangkan  tidak masuknya tarawangsa ke dalam kurikulum sekolah dan kuliah. Kesempatan untuk mengenalkan kesenian buhun ini pun hilang. Anak-anak, kalau tidak nekat belajar secara otodidak seperti dirinya, akan semakin asing dengan tarawangsa.

Pentas di Kampung Cilameta, Gedebage, setidaknya menumbuhkan secuil optimisme dalam diri Firsal. Meski baru dua kali digelar dalam tiga tahun terakhir, pentas tarawangsa di perkampungan padat tanpa lahan kosong itu diharapkan bisa membekas dalam ingatan anak-anak yang menontonnya. Mereka akan tahu bahwa ada kesenian lama yang bernama tarawangsa.

“(Mereka) Masih inget dan sadar bahwa ada kesenian di Jawa Barat yang sudah lama eksis,” ucap Firsal. “Dan (ada) niat pengin melestarikan si tarawangsa walaupun perlahan-lahan.” 

*Kawan-kawan dapat membaca tulisan-tulisan lain Yopi Muharam atau artikel-artikel lain tentang Seni Tradisi

Editor: Tri Joko Her Riadi

COMMENTS

//