• Budaya
  • Tarawangsa dalam Panggung Modern Pidangan Rumawat Padjadjaran

Tarawangsa dalam Panggung Modern Pidangan Rumawat Padjadjaran

Di tengah ancaman kepunahan, seni tarawangsa masih dimainkan di daerah yang memiliki tradisi kuat. Salah satunya Rancakalong, Sumedang.

Seniman Ganjar Purnama Wildan memainkan alat musik biola dalam acara Pidangan Rumawat Padjadjaran ke-88 di Grha Sanusi Hardjadinata Unpad Kampus Iwa Koesoemasoemantri, Bandung, Rabu (22/2/2023) siang. (Foto: Dadan Triawan/Unpad)*

Penulis Iman Herdiana23 Februari 2023


BandungBergerak.idAlunan saksofon diiringi musik band mengisi Grha Sanusi Hardjadinata Unpad, Kota Bandung, Rabu (22/2/2023). Lampu panggung dinyalakan, tampak sosok Ketua Pusat Digitalisasi dan Pengembangan Budaya Sunda Ganjar Kurnia berjalan memasuki panggung sembari memainkan alat musik tiup modern itu.

Tepuk tangan penonton bergema. Sedetik kemudian, Ganjar Kurnia kemudian menghentikan permainan saksofonnya. Namun, alunan saksofon masih terdengar. Rupanya mantan rektor Unpad itu hanya berakting memainkan saksofon. Tawa riuh penonton pun terdengar.

Sesaat, sosok peniup saksofon yang asli muncul dari belakang penonton. Nama depan saksofonis tersebut sama-sama Ganjar, lengkapnya Ganjar Purnama Wildan yang biasa dipanggil Kang Ganjar, musikus bertalenta yang mampu memainkan aneka alat musik tradisional Sunda maupun modern.

Pertunjukan tersebut merupakan Pidangan Rumawat Padjadjaran ke-88: “Kang Ganjar Anu Motékar”. Acara ini menampilkan kepiawaian seorang Kang Ganjar dalam memainkan aneka alat musik, mulai dari tradisional Sunda hingga modern.

“Di sini kita akan melihat kepiawaian saudara ‘Ganjar’ memainkan semua alat instrumen musik Sunda dan Barat,” kata Ganjar Kurnia

Di sesi pertama, diiringi tim kesenian Rumawat, Ganjar Purnama memainkan instrumen tarawangsa. Instrumen ini, kata Ganjar Kurnia, merupakan alat musik yang menggunakan dua senar. Disinyalir, alat musik ini menjadi alat musik tertua di tatar Sunda. Alat musik kedua yang dimainkan Ganjar Purnama adalah waditra rebab.

Ganjar Kurnia memaparkan, rebab merupakan alat musik yang diduga berasal dari wilayah Timur Tengah, kemudian masuk India, hingga ke nusantara. Di Sunda, rebab dimainkan untuk musik pewayangan, celempungan, serta Cianjuran.

Pada sesi kedua, Kang Ganjar memainkan alat musik biola. Uniknya, Kang Ganjar tidak hanya memainkan biola untuk musik kontemporer, tetapi juga untuk musik tradisional Sunda.

Usai bermain alat musik gesek, alumnus Institut Seni dan Budaya Indonesia (ISBI) tersebut berpindah ke alat musik tiup. Ia memainkan suling Sunda kemudian dilanjutkan dengan alat musik flute dan bangsing, atau sejenis suling yang biasanya dimainkan untuk mengiringi musik dangdut.

Di sesi terakhir, Kang Ganjar memainkan kepiawaiannya memainkan alat musik piano, menabuh kendang, serta meniup terompet Sunda, saksofon terompet Subang. Di akhir, Kang Ganjar secara khusus menerima piagam penghargaan Ganjar Kurnia.

“Wilujeng Kang Ganjar, mudah-mudahan ke depan Kang Ganjar makin motékar,” pungkas Ganjar Kurnia.

Baca Juga: Membayangkan Bandung Lautan Kendaraan Listrik
Mahasiswa ISBI Menyuarakan Hak 38 Orang PKL yang Digusur Satpol PP Kota Bandung
Pemkot Bandung Gunakan Teknologi RDF untuk Mengolah Sampah, Ditentang Pegiat Lingkungan

Tarawangsa dalam Panggung Modern

Seni tarawangsa kini di ambang kepunahan. Sama dengan kesenian trandisional lainnya, seni tarawangsa banyak ditinggalkan oleh seniman atau masyarakat yang mengapresiasinya. Tidak sedikit seniman tarawangsa yang meninggal dan tidak sempat memberikan pewarisan keahliannya. Sementara banyak anak muda yang beralih ke kesenian modern.

Di tengah ancaman kepunahan tersebut, seni tarawangsa masih dimainkan di daerah yang memiliki tradisi kuat. Salah satunya Rancakalong, Sumedang. Mochamad Akbar Maulana dalam makalah ilmiahnya mengatakan  Tarawangsa adalah jenis kesenian masyarakat agraris tradisional di Jawa Barat.

Dalam pertunjukannya, kesenian ini memiliki kekhasan dalam hal instrumen musiknya, yaitu menggunakan sebuah alat musik yang dimainkan dengan cara digesek dan di petik. Tarawangsa berasal dari Tarari Wali Salapan, Tarari yang memiliki arti padamelan. Jadi Tarawangsa berarti “Menciptakan Sembilan Wali”.

“Tarawangsa di Rancakalong disajikan dalam konteks upacara ritual, salah satunya dalam upacara adat Ngalaksa. Upacara adat Ngalaksa ini merupakan upacara ritual yang dilakukan oleh masyarakat Rancakalong sebagai ungkapan rasa syukur terhadap Tuhan atas kesuksesan dalam memanen padi,” terang Mochamad Akbar Maulana, mahasiswa dari Jurusan Film dan Televisi Fakultas Seni Rupa dan Desain Institut Seni Indonesia Surakarta.

Namun selain dalam konteks ritual kesenian, Tarawangsa di Rancakalong juga disajikan sebagai media hiburan. Dalam konteks hiburan kesenian tarawangsa diselenggarakan dalam acara selamatan baik itu selamatan rumah, pernikahan, khitanan atau pun yang lainya.

Alat musik yang digunakan dalam kesenian tarawangsa ialah kecapi dan rebab. Kesenian ini hanya dimainkan oleh dua orang yang terdiri dari satu orang pemain kecapi dan satu orang pemain rebab. Kecapi dalam tarawangsa memiliki tujuh dawai, sedangkan rebabnya memiliki dua dawai.

Istilah untuk kedua alat musik itu dalam tarawangsa disebut jentreng dan ngek-ngek. Baik jentreng maupun ngek-ngek, kedua istilah ini diambil dari masing-masing imitasi bunyi waditranya. Jentreng berasal dari bunyi kecapi yang di petik menghasilkan bunyi”treng” dan ngek-ngek berasal dari bunyi rebab yang di gesek menghasilkan bunyi “ngek”.

Mochamad juga menyinggung tentang tersisihnya kesenian tradisional seperti tarawangsa oleh kesenian modern. Namun ia melaporkan masih ada dua orang pemuda yang mendalami kesenian tarawangsa ini dan membalutnya dengan seni modern. Kedua pemuda itu bernama Teguh Permana dan Azas Sastra.

Teguh Permana dan Azas Sastra, kata Mochamad, tergabung dalam kelompok musik yang bernama Tarawangsawelas. Tarawangsawelas berhasil membawa musik tradisional tarawangsa ke kancah internasional. Bahkan mereka pulang dengan mengantongi album perdana di bawah label musik Jerman. Mereka tampil salah satu festival di Jerman yang bernama Festival Europalia tahun 2017.

Menurut Mochamad, generasi muda Teguh Permana dan Azas Sastra mampu memberikan sentuhan modern pada seni tarawangsa. Nada-nada dalam permainan tarawangsa yang mereka mainkan mampu diterima generasi muda.

Mochamad yakin seni tarawangsa masih bisa terus dikembangkan, misalnya menjadi musik latar pada suatu film. Cerita di balik seni tarawangsa sendiri menarik untuk dijadikan film karena mengandung unsur magis dan budaya.

Editor: Redaksi

COMMENTS

//