• Kolom
  • CATATAN DARI BUKU HARIAN #6: Bertemu dengan Aboeprijadi Santoso, Jurnalis Senior dari Negeri Belanda

CATATAN DARI BUKU HARIAN #6: Bertemu dengan Aboeprijadi Santoso, Jurnalis Senior dari Negeri Belanda

Aboeprijadi Santoso salah satu penyiar Radio Nederland Siaran Bahasa Indonesia (Ranesi) di Belanda. Rajin menyiarkan berita politik yang tabu di zaman Orde Baru.

Kin Sanubary

Kolektor Koran dan Media Lawas

Jurnalis senior dan penyiar Radio Nederland, Aboeprijadi Santoso. (Foto: Dokumentasi Kin Sanubary)

24 Agustus 2024


BandungBergerak.id – Berawal dari unggahan koran lawas yang penulis posting di sosial media Facebook, banyak orang yang mengapresiasi dan memberi tanggapan dan berkomentar tentang koran terbitan tahun 1965 tersebut. Salah satu di antaranya komentar datang dari Negeri Belanda yang kebetulan namanya cukup akrab ditelinga yaitu Aboeprijadi Santoso salah seorang penyiar radio ternama Radio Nederland Wereldomroep. Penulis sudah mengenal namanya lebih dari 30 tahun sebelumnya dan menjadi salah seorang pendengar setianya. Kami pun saling sapa dan berkirim salam, berinteraksi melalui pesan singkat inbox dan Whatsapp. Selalu terlibat obrolan menarik bila ada unggahan lainnya di Facebook dan akhirnya kami pun sepakat untuk berjumpa bila ada kunjungan ke Indonesia.

Perkenalan dan persahabatan kami dimulai dari sebuah hobi, yakni mendengarkan siaran radio gelombang pendek, yaitu siaran radio luar negeri khususnya Radio Nederland Siaran Bahasa Indonesia (Ranesi) yang disiarkan dari Hilversum, negeri Belanda.

Ranesi adalah stasiun radio internasional  Belanda yang menghadirkan berita dan beragam acara menarik dengan berbagai topik. Menyajikan informasi aktual hingga perkembangan politik internasional, terutama hubungan antara Belanda dan Indonesia. Sayangnya, siaran Radio Nederland berakhir pada tahun 2012.

Beberapa acara siaran Ranesi yang sering penulis ikuti dan dengarkan di antaranya Gema Warta, Kotak Pos, Fokus, Jelajah Nusantara, dan Obrolan Akhir Pekan. Berbagai acara interaktif yang mengudara dari studio  di Hilversum disajikan Ranesi dengan mengulas topik-topik hangat peristiwa yang terjadi di dalam negeri dan mancanegara.

Hubungan dekat antara pendengar dan penyiar radio membawa kami bertemu, antara Aboeprijadi Santoso atau akrab disapa Pak Tossie sebagai penyiar radio dan saya, Kin Sanubary salah seorang pendengar setia Radio Nederland di mana dia bekerja sebagai penyiar dan jurnalis radio tersebut selama puluhan tahun lamanya.

Kunjungan dan kepulangan Pak Tossie ke Indonesia kami manfaatkan untuk bertemu dan bersilaturahmi tepatnya pada April 2022 di Kota Bandung.

Meskipun telah tinggal lebih dari 50 tahun di Negeri Kincir Angin, Pak Tossie dan istri tetap mencintai seni tradisional dan kebudayaan Indonesia, seperti angklung khas Sunda. Kami pun sepakat untuk bertemu dan berkumpul di Saung Angklung Udjo yang terletak di daerah Padasuka, Bandung, selepas Hari Raya Lebaran dua tahun yang lalu.

Pertemuan antara Pak Tossie dan istrinya, yang bernama Ibu Mutia Samoen, juga dihadiri oleh Mas Agus Wahyudi, seorang fotografer dan sesama pendengar radio gelombang pendek yang tinggal di Bandung. Dalam pertemuan itu, kami saling berbagi cerita dan kenangan dengan penuh keakraban. Segala peristiwa dan kejadian yang pernah dialami Pak Tossie ketika meliput dan menginvestigasi  berbagai peristiwa di tanah air beliau ceritakan.

Aboeprijadi Santoso dan istrinya –Mutia Samoen, bersama penulis. (Foto: Dokumentasi Kin Sanubary)
Aboeprijadi Santoso dan istrinya –Mutia Samoen, bersama penulis. (Foto: Dokumentasi Kin Sanubary)

Jurnalis Radio Nederland Siaran Indonesia (Ranesi)

Pada era tahun 90-an bagi para pendengar siaran radio gelombang pendek, acara yang disiarkan oleh Ranesi dan radio siaran luar negeri lainnya biasanya selalu diikuti dan didengarkan, karena radio siaran yang ada di dalam negeri masih tabu menyiarkan acara dan berita yang berbau politik.

Radio Nederland ketika itu menyiarkan berbagai jenis acara dengan mengangkat isu dan beragam topik. Mulai dari berita-berita aktual hingga, iptek, seni budaya dan sejarah. Banyak pelajaran dan pengetahuan yang bisa dipetik dari mendengarkan siaran radio luar negeri. Dan pada zaman Orde Baru radio siaran luar negeri menjadi salah satu sumber informasi paling utama, karena saat itu berbagai peristiwa signifikan terjadi di tanah air.

Radio Nederland Siaran Indonesia (Ranesi) hadir di tengah suasana panas konflik di Timtim, Aceh, Poso, Maluku, Papua, dan daerah lainnya. Aboeprijadi Santoso, jurnalis Ranesi, merekam suasana, menemui mahasiswa, bertemu tokoh-tokoh, dan mewawancarai figur berpengaruh seperti Carlos Ximenes Belo, Uskup Agung Dili, dan tokoh Fretilin Xanana Gusmao, Jose Ramos-Horta, dll.

Buletin Ranesi yang diterbitkan oleh Radio Nederland, memuat hasil liputan Aboeprijadi Santoso dari daerah konflik Aceh, Papua dan Timor Leste. (Foto: Dokumentasi Kin Sanubary)
Buletin Ranesi yang diterbitkan oleh Radio Nederland, memuat hasil liputan Aboeprijadi Santoso dari daerah konflik Aceh, Papua dan Timor Leste. (Foto: Dokumentasi Kin Sanubary)

Lebih dari 30 tahun kemudian, bersyukur kami dapat bertemu muka, bersilaturahmi dan berbagi kisah serta cerita penuh sejarah. Aboeprijadi Santoso, dalam liputan dan tulisan khususnya, banyak meliput berbagai peristiwa dan membahas situasi hak asasi manusia di Indonesia.

Sejak tahun 1978, ia telah banyak bertemu dengan aktivis kemerdekaan Timor Timur, Abílio Araújo, di Paris, Jose Ramos-Horta di Den Haag, juga dengan Menteri Luar Negeri RI Ali Alatas, dan mempelajari latar belakang konflik di negara yang diduduki Indonesia sejak tahun 1975.

Ketika mulai bekerja di Radio Nederland pada tahun 1982, ia memanfaatkan kesempatan ini untuk mewawancarai para pemimpin kemerdekaan Timor Timur di pengasingan dan di Timor Timur sendiri.

Pada tahun 1994, ia mengunjungi Timor Timur untuk pertama kalinya, beberapa kali setelahnya dan kembali pada bulan Agustus dan September 1999 untuk melaporkan Referendum Kemerdekaan tahun 1999 dan tindakan pembalasan yang dilakukan oleh pihak Indonesia dan pasca referendum ataupun setelah Timor Leste merdeka.

Pada tahun 2014, Pak Tossie menerima penghargaan “Insígnia Ordem de Timor-Leste” dari Presiden Timor Timur Taur Matan Ruak. Karya dan tulisannya, terutama yang berkaitan dengan Timor Timur, baik naskah-naskahnya, siaran radionya, maupun bukunya “Jejak Jejak Darah: Tragedi dan Pengkhianatan di Timor Timur” (1996), menjadi referensi penting.

Tossie bercerita ketika meliput langsung dan menulis liputan eksklusif  tentang Gerakan Aceh Merdeka (GAM) di Aceh, sahabat dekatnya, Ersa Siregar jurnalis dari RCTI, tewas tertembak. Sebelum pergi ke Lhokseumawe untuk meliput konflik Aceh, Ersa Siregar dan Tossie menginap di Hotel Sultan, Banda Aceh.

Aboeprijadi Santoso selalu melakukan liputan di daerah berbahaya, seperti Manila saat revolusi kuning (1986), Moskow saat perlawanan terhadap Gorbachev (1991), dan Phnom Penh (1997), juga pembantaian kulit hitam oleh pemerintah Apartheid di Afrika Selatan Ia terkenal dengan laporannya yang kritis dan mendukung Timor Timur.

Sejak tahun 1984, Pak Tossi bekerja sebagai jurnalis di bagian Redaksi Indonesia Radio Nederland Wereldomroep (RNW). Tossie adalah individu yang menguasai sejarah politik Indonesia, jurnalis yang bersemangat.

Ia juga banyak menulis kolom di The Jakarta Post (sejak 1996) dan sebelumnya di majalah berita Editor, kadang kala juga di Majalah Tempo. Tulisan-tulisannya dihimpunnya di situs-web-nya: www.aboeprijadi.com.

Aboeprijadi Santoso ketika berkunjung ke Indonesia, April 2022 di Saung Angklung Udjo, Jalan Padasuka No. 118 Kota Bandung. (Foto: Dokumentasi Kin Sanubary)
Aboeprijadi Santoso ketika berkunjung ke Indonesia, April 2022 di Saung Angklung Udjo, Jalan Padasuka No. 118 Kota Bandung. (Foto: Dokumentasi Kin Sanubary)

Ingin Kembali Menetap di Indonesia

Tossie lahir di Blitar, Jawa Timur tahun 1947. Pada tahun 1967, ia pindah ke Eropa, di mana ayahnya menjabat sebagai Duta Besar Indonesia di Brussel. Tossie menyelesaikan SMA-nya di Sekolah Indonesia di Wassenaar, dan akhirnya melanjutkan studinya di Universiteit van Amsterdam, dengan fokus pada politik, masyarakat, dan sejarah Asia Tenggara.

Tossie bertemu dengan istrinya, Mutia Samoen, yang juga berasal dari Indonesia, di Amsterdam. Mutia pernah kuliah seni rupa (grafik) di Rietveld Academie. Saat ini mereka memiliki tiga anak; Putri, Asri, dan Ilham, dan tiga orang cucu.

Ia banyak memfokuskan diri pada laporan di medan perang dan daerah konflik. Tahun demi tahun berlalu, semakin banyak laporannya tentang berbagai situasi krisis dengan sudut pandang yang berbeda.

Tulisan-tulisannya dan wawancara-wawancaranya sering dijadikan acuan oleh para pemerhati Indonesia di berbagai negara. Ia juga sering menjadi narasumber penting dalam berbagai seminar tentang Indonesia, baik di Belanda maupun di berbagai negara Eropa.

Sebagai informasi tambahan, saat ini beliau bersama rekan-rekan di Ranesi juga tengah menyusun dan menyiarkan empat dokumenter-radio (audio) yaitu “Agresi dan Perjuangan” (1996) tentang Perjuangan Kemerdekaan RI, Timor Timur (1996), Kemerdekaan Timor Leste (1999) dan Konflik Aceh (2000).

Di akhir pertemuan Pak Tossie bercerita bahwa bersama istrinya di masa tua nanti, mereka berkeinginan untuk kembali dan menetap di Indonesia, tinggal di kampung halamannya di Malang.

Mereka bermimpi mengisi masa pensiun dengan berkontribusi pada hal-hal sosial kemasyarakatan dan mendirikan sebuah lembaga pendidikan.

Pertemuan yang bersejarah dan tak kan terlupakan antara penulis dengan Pak Tossie dan istri menjadi catatan perjalanan panjang hubungan antara pendengar setia dan penyiar radio, kisah persahabatan antara Aboeprijadi Santoso, yang akrab dipanggil Pak Tossie dan Kin Sanubary telah membentuk suatu cerita yang tak terlupakan.

Sebuah perjumpaan hangat antara kami menjadi momentum penting, mengingatkan kita pada kekuatan media radio gelombang pendek dalam mempersatukan hati dan pikiran di tengah situasi panas konflik di berbagai pelosok dunia.

Melalui liputan,  tulisan dan laporannya di udara, Pak Tossie tak hanya menjadi penyampai informasi, tetapi juga menjadi sumber inspirasi bagi banyak orang di berbagai belahan dunia. Semangatnya untuk kembali dan menetap di Indonesia di masa tua merupakan gambaran indah tentang keinginan untuk memberikan kontribusi pada masyarakat dan melestarikan akar budaya yang dimilikinya.

Terima kasih Pak Tossie atas jejak perjalanan investigasinya  meliput dan mencatat berbagai peristiwa di Indonesia dan daerah konflik lainnya di penjuru dunia lainnya.

*Kawan-kawan dapat membaca karya-karya lain Kin Sanubary dalam tautan berikut

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//