DPR Anulir Putusan Mahkamah Konstitusi dalam Revisi UU Pilkada, Manuver Politik dan Pembangkangan Konstitusi
Tindakan DPR yang membatalkan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) menjadi contoh jelas dari manuver politik yang mengancam integritas sistem hukum dan demokrasi.
Galih Permana, S.E.
Alumni Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), aktivis Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), aktif di berbagai organisasi kepemudaan, dan pemrakarsa platfor
24 Agustus 2024
BandungBergerak.id – Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) menggemparkan publik dengan mengesahkan Rancangan Undang-undang (RUU) Pilkada 2024 yang dianggap sebagai upaya pembenahan sistem pemilihan kepala daerah. Namun, keputusan tersebut tampaknya tidak disambut hangat oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Dalam sidang terbarunya, DPR memutuskan untuk membatalkan keputusan MK terkait RUU tersebut, membuka jalan bagi Kaesang Pangarep, anak Presiden Joko Widodo, untuk maju sebagai calon kepala daerah pada Pilkada 2024. Keputusan ini, yang mencerminkan ketidakpuasan legislatif terhadap putusan konstitusi, mengundang pertanyaan mendalam mengenai integritas sistem demokrasi kita dan keabsahan lembaga pengawal konstitusi.
Mengamati keputusan DPR dari kacamata sejarah politik, kita dapat menemukan banyak contoh di mana kekuasaan legislatif menggugat keputusan yudisial demi kepentingan politik jangka pendek. Dalam konteks Nusantara kuno, kita sering melihat raja-raja yang menggunakan kekuatan mereka untuk memanipulasi hukum demi memastikan kekuasaan mereka tetap terjaga. Misalnya, pada era Majapahit, para raja kerap melakukan pergeseran kebijakan untuk memperkuat kekuasaan politik mereka dengan mengabaikan nasihat dari lembaga hukum atau penasihat moral. Situasi serupa tampaknya terjadi di Indonesia hari ini, di mana keputusan DPR mungkin lebih mencerminkan ambisi politik individu daripada komitmen terhadap prinsip konstitusi.
Di Yunani Kuno, terutama pada zaman Athena, kita menyaksikan sistem demokrasi yang sangat menghargai pemisahan kekuasaan antara legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Namun, bahkan di Athena, pergeseran kekuasaan dan benturan kepentingan sering kali memengaruhi keputusan politik. Contoh paling jelas adalah konflik antara orator politik seperti Demosthenes dan penguasa oligarki yang sering berusaha untuk menundukkan sistem hukum demi kepentingan mereka. Ini menggambarkan bagaimana, bahkan dalam sistem demokrasi yang dianggap maju, kepentingan politik dapat mengancam integritas lembaga-lembaga penting seperti MK.
Dengan keputusan DPR yang menolak putusan MK, tampaknya kita menyaksikan satu langkah lebih jauh dalam proses delegitimasi lembaga yudisial di Indonesia. MK, yang dirancang sebagai penjaga konstitusi dan pilar kedaulatan hukum, tampaknya menjadi sasaran dari manuver politik yang lebih besar. Apakah DPR benar-benar bertindak demi kepentingan publik, ataukah mereka lebih fokus pada mengakomodasi kepentingan politik pribadi dan keluarga tertentu? Jika DPR benar-benar memprioritaskan kepentingan pribadi, maka dampak jangka panjangnya akan sangat merugikan kepercayaan publik terhadap sistem hukum dan politik kita.
Baca Juga: Ekskalasi Demonstrasi Mengawal Putusan Mahkamah Konstitusi di Bandung Meningkat
Revisi UU Pilkada Adalah Pembangkangan terhadap Konstitusi
YLBHI dan Amnesty International Indonesia Mengecam Kekerasan yang Dilakukan Polisi terhadap Massa Aksi Protes Revisi UU Pilkada
Politik Dinasti dan Penurunan Kualitas Demokrasi
Salah satu masalah utama dari keputusan DPR ini adalah penguatannya terhadap politik dinasti di Indonesia. Dengan membatalkan keputusan MK, DPR tidak hanya membuka jalan bagi Kaesang Pangarep, tetapi juga memberikan preseden berbahaya bagi masa depan politik Indonesia. Seperti halnya dalam sejarah politik Nusantara, politik dinasti sering kali membawa pada penurunan kualitas pemerintahan dan kurangnya inovasi dalam kepemimpinan. Dalam hal ini, DPR tampaknya lebih mengutamakan pemeliharaan kekuasaan politik daripada kemajuan demokrasi yang sehat.
Menurut teori demokrasi partisipatif, sistem politik harus memberikan ruang yang cukup bagi partisipasi rakyat dan menjamin transparansi serta akuntabilitas. Namun, keputusan DPR yang membatalkan putusan MK menunjukkan bahwa lembaga legislatif mungkin telah mengabaikan prinsip-prinsip dasar demokrasi ini. Sebagai lembaga yang seharusnya berfungsi sebagai wakil rakyat, DPR tampaknya lebih mementingkan kepentingan kelompok elit dan individu tertentu ketimbang suara rakyat yang lebih luas.
Teori kekuasaan yang dikemukakan oleh Max Weber, yang menyatakan bahwa kekuasaan cenderung mengarah pada penyalahgunaan jika tidak ada kontrol yang memadai, juga relevan di sini. Weber menegaskan bahwa "the organization of power is always in danger of becoming a source of domination" dan keputusan DPR tanpa alasan yang kuat menunjukkan bagaimana kekuasaan legislatif dapat menyimpang dari tujuan utamanya, yaitu melayani kepentingan rakyat. Teori ini menyoroti pentingnya pengawasan dan batasan kekuasaan untuk mencegah penyalahgunaan yang merugikan publik.
Teori "Checks and Balances" yang diperkenalkan oleh Montesquieu juga memberikan perspektif penting. Montesquieu menyatakan bahwa "when the legislative and executive powers are united in the same person or body, there can be no liberty”. Menurut teori ini, kekuasaan harus dibagi dan saling mengawasi untuk memastikan tidak ada lembaga yang terlalu dominan. Pembatalan keputusan MK oleh DPR mengindikasikan bahwa mekanisme pengawasan ini mungkin sedang dalam ancaman. Jika kekuasaan legislatif dapat mengabaikan keputusan yudisial tanpa konsekuensi, maka prinsip keseimbangan kekuasaan yang fundamental dalam demokrasi dapat terganggu.
Hilangnya Muruah MK sebagai Penjaga Konstitusi
Keputusan DPR ini tidak hanya merugikan integritas sistem konstitusi, tetapi juga mengancam peran MK sebagai pengawal konstitusi. MK dirancang untuk memastikan bahwa semua kebijakan dan undang-undang yang dibuat oleh legislatif sesuai dengan konstitusi negara. Namun, dengan DPR yang secara terbuka menentang putusan MK, ada risiko besar bahwa MK akan kehilangan kekuatan dan wewenangnya sebagai penjaga prinsip-prinsip dasar hukum dan keadilan. Jika lembaga-lembaga negara mulai mengabaikan keputusan MK, maka kita akan memasuki periode ketidakpastian hukum yang akan merugikan semua pihak.
Implikasi jangka panjang dari keputusan DPR ini bisa sangat merusak bagi demokrasi Indonesia. Ketika lembaga-lembaga penting seperti MK dilemahkan, kepercayaan publik terhadap sistem pemerintahan dan hukum akan berkurang. Ini tidak hanya mengancam stabilitas politik tetapi juga mempengaruhi efektivitas pemerintahan dan kualitas kehidupan masyarakat. Dalam konteks ini, tindakan DPR bisa dipandang sebagai langkah mundur bagi kemajuan demokrasi di Indonesia.
Mengambil pelajaran dari sejarah, baik di Nusantara kuno maupun Yunani Kuno, kita harus belajar dari kesalahan masa lalu. Sejarah menunjukkan bahwa ketika kekuasaan tidak diawasi dengan baik, akan muncul risiko penyalahgunaan yang berdampak buruk pada masyarakat. Indonesia perlu memastikan bahwa prinsip-prinsip konstitusi dan sistem hukum dipertahankan, terlepas dari tekanan politik atau kepentingan individu. Seperti yang dinyatakan oleh Lord Acton, “Power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely”. Kebenaran dari pernyataan ini semakin jelas ketika kita melihat bagaimana keputusan DPR dapat berpotensi merusak tatanan demokrasi dan integritas sistem konstitusi.
Sebagai kesimpulan, tindakan DPR yang membatalkan putusan MK terkait RUU Pilkada 2024 adalah sebuah contoh jelas dari manuver politik yang mengancam integritas sistem hukum dan demokrasi. Untuk memastikan bahwa negara kita tetap pada jalur yang benar, penting bagi semua lembaga negara untuk mengedepankan prinsip-prinsip konstitusi dan kepentingan publik di atas kepentingan politik pribadi.
*Kawan-kawan dapat membaca artikel-artikel lain tentang politik