• Cerita
  • Takzim untuk Para Pembela Tanah Leluhur Dago Elos

Takzim untuk Para Pembela Tanah Leluhur Dago Elos

Perjuangan warga Dago Elos untuk mempertahankan tanah leluhur mesti melewati sidang demi sidang di pengadilan. Tanah orang tua milik anak-anak Dago Elos.

Warga Dago Elos melintas di Jalan Diponegoro, Bandung, setelah mengawal sidang perkara penipuan dokumen tanah dengan terdakwa Muller bersaudara di PN Bandung, Selasa, 27 Agustus 2024. (Foto: Akbar Vito/BandungBergerak)

Penulis Reyner Thaddeus Purwanto. 28 Agustus 2024


BandungBergerak.idPerjuangan mempertahankan tanah yang dilakukan warga Dago Elos terus berlanjut di ruang sidang Pengadilan Negeri (PN) Bandung. Terbaru, sidang dilakukan Selasa, 27 Agustus 2024 dengan agenda penyampaian keterangan saksi. Mengiringi tahapan pengadilan tersebut, rombongan warga setia melakukan pengawalan di dalam maupun di luar ruang sidang.

Rombongan Dago Elos sudah sampai di PN Bandung sekitar jam 08.30 dan melakukan orasi singkat untuk mendukung saksi-saksi yang berasal dari kalangan warga. Di akhir orasi, secara kolektif warga berteriak: “Dago bersatu, tak bisa dikalahkan; Dago melawan, melawan setan tanah!” sebelum akhirnya sebagian warga memasuki ruangan sidang.

Di dalam ruangan sidang pun warga sempat melantunkan doa bersama untuk mengawali proses persidangan. Meski jadwal sidang sempat tertunda hingga dua jam, namun warga di dalam ruangan masih mempertahankan optimisme melalui celetukan-celetukan humor.

Ketika sidang akhirnya dimulai, peran warga sebagai penonton sidang dapat dirasakan. Terdapat beberapa momen di dalam sidang yang mengundang reaksi warga seperti pada saat hakim mencecar saksi dan menanyakan, “apakah saudara tahu warga (Dago Elos) sudah tinggal sejak kapan?”.

Pada saat itu, salah satu warga yang menjadi penonton terlihat emosional. Ruangan sidang juga menjadi lebih riuh, masing-masing menanggapi pertanyaan hakim, meski bukan berperan menjadi saksi.

Sengketa lahan Dago Elos telah melalui banyak proses mulai dari gugatan perdata yang diurus hingga Peninjauan Kembali (PK) di Mahkamah Agung, lalu dilanjutkan dengan gugatan pidana yang sekarang sedang berlangsung. Aksi pengawalan sudah dilakukan di banyak tempat seperti di Badan Pertanahan Nasional (BPN), polisi, balai kota, dan instansi-instansi pemerintah lainnya.

Usaha pengawalan membuahkan hasil dengan kemenangan warga Dago Elos pada tingkat kasasi yang memungkinkan pengajuan register ke Badan Pertanahan Nasional (BPN), walau tidak mendapat tanggapan apa pun. Hal ini semakin diperparah ketika pada tahap putusan PK, pihak Muller kembali dinyatakan menang.

Baca Juga: Pengadilan Rakyat Dago Elos Memvonis Bersalah Trio Muller dan PT. Dago Inti Graha
Terminal Dago Ada di Pusaran Sengketa Lahan Dago Elos, Kenapa Pemkot Bandung Selama Ini Diam?
Mahasiswa Bandung Mengawal Dago Elos 

Sidang perkara penipuan dokumen tanah dengan terdakwa Muller bersaudara di PN Bandung, Selasa, 27 Agustus 2024. (Foto: Reyner Thaddeus Purwanto/BandungBergerak)
Sidang perkara penipuan dokumen tanah dengan terdakwa Muller bersaudara di PN Bandung, Selasa, 27 Agustus 2024. (Foto: Reyner Thaddeus Purwanto/BandungBergerak)

Bukan Sekedar Tanah

Di luar ruangan sidang, ada warga Dago Elos yang berperan menjaga spanduk protes dan mempersiapkan konsumsi bagi warga pada saat jeda sidang. Terdapat berbagai kalangan umur dari anak-anak, pemuda, hingga orang tua. “Kecuali lansia, kalau lansia tidak kami ajak karena sudah berumur,” ucap seorang warga di luar pengadilan.

Salah satu yang mengikuti aksi pengawalan warga adalah Tuti, salah seorang Ketua RT dari kawasan sengketa, yang sudah turun ke jalan sejak awal kasus ini mencuat pada 2017. Tuti menceritakan, aksi pengawalan sengketa lahan Dago Elos sudah berlangsung sejak 2016. Tuti turut terlibat sejak persidangan perdata yang di Peninjauan Kembali dimenangkan keluarga Muller.

“Bukan ke sini (PN Bandung) saja, sekarang kan masuk kasus pidananya. Dulu kan kita masih kasus perdata,” jelas Tuti.

Turun aksi mempertahankan tanah bukan perkara mudah. Warga Dago Elos yang ikut aksi harus meninggalkan banyak kegiatan yang biasa mereka lakukan sebelum sengketa dimulai. Cara hidup mereka pun berubah.

Tuti yang biasanya berperan sebagai ibu rumah tangga, harus menyediakan waktu tambahan untuk mengikuti aksi. Waktu ini ia bagi-bagi dengan mengerjakan pekerjaan rumah seperti mencuci baju dan membersihkan rumah. Anak-anak yang masih sekolah kadang harus jalan mandiri atau tidak sekolah karena tidak ada yang menjaga.

Begitu pula dengan Yahya, warga Dago Elos lainnya yang mengikuti aksi, harus rela tidak berjualan selama turun ke jalan. “Jualan jajanan, keliling gitu, kayak peyek, bugis, kue-kue basah, apa aja gitu. Berhenti (saat mengawal),” ujarnya.

Belum lagi apabila sidang berlarut hingga sore, kebanyakan warga yang menunggu di luar ruangan sidang harus mengeluarkan uang lebih untuk makan. Tuti dan Yahya mengatakan, pengeluaran ekstra ini berdampak pada pengelolaan uang karena harus diambil dari alokasi lain seperti uang beras atau bahkan modal usaha.

Derita bukan dirasakan oleh ibu-ibu seperti Tuti melainkan juga warga laki-laki yang turut serta di aksi pengawalan. Komar, misalnya, mengeluhkan dampak material dan nonmaterial dampak dari kasus sengketa tanah yang berlarut-larut.

Komar telah mengikuti aksi sejak awal kasus mencuat di tahun 2016. Ia seorang buruh serabutan yang penghasilan sehari-harinya tak menentu. Ia harus rela mengorbankan waktu dan tenaganya untuk terus mengawal kasus di tengah perencanaan masa depannya yang tidak jelas karena ketidakpastian hukum.

Komar amat merindukan masa-masa sebelum munculnya sengketa tanah. Miski hidup paspasan, tetapi waktu itu ia merasa lebih tenteram. “Kerjaan ditinggal dulu, tidur tidak nyaman. Pengin hidup tenteram kayak dulu sebelum digusur,” lanjut Komar.

Segala pengorbanan warga dihadapkan dengan realitas proses persidangan yang masih sangat panjang. Saat ini baru sidang kelima dari dua belas rangkaian sidang yang diagendakan.

Selain itu, kata Tuti, apabila kasus pidana terhadap Muller bersaudara dapat dimenangkan di PN, maka masih ada kemungkinan banding lanjutan. Belum lagi warga masih harus kembali menggugat di bidang perdata agar dapat mengembalikan hak atas tanah Dago Elos.

Sulit menggambarkan derita yang dialami warga Dago Elos selama menghadapi gugatan panjang oleh keluarga Muller. Seluruh warga memiliki keluh-kesahnya masing-masing. Namun ada warga lain yang menambahkan, “itu kan tanah dari orang tua, masak gak dipertahanin”. 

Pada saat ditanyakan “apakah akan tetap mengawal sampai akhir?” kepada Tuti, Yahya, Komar, dan warga-warga lain yang sedang menunggu jeda sidang di bawah terik matahari siang, semuanya menjawab dengan tegas dan singkat “iya”.

*Kawan-kawan dapat membaca tulisan-tulisan lain Reyner Thaddeus Purwanto atau artikel-artikel lain tentang Tanah Dago Elos

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//