• Berita
  • Menyelami Penyebab Diskriminasi pada Penghayat Kepercayaan Nenek Moyang

Menyelami Penyebab Diskriminasi pada Penghayat Kepercayaan Nenek Moyang

Peghayat kepercayaan nenek moyang mengalami diskriminasi secara disengaja selama bertahun-tahun. Tertanam di literatur dan kebijakan negara.

Masyarakat penghayat berterima kasih atas apa yang sudah diajarkan Mei Kartawinata. (Foto: Fitri Amanda/BandungBergerak.id)

Penulis Nabila Eva Hilfani 2 September 2024


BandungBergerak.id – Warga penghayat sering kali mendapat pandangan keliru terkait kepercayaan yang mereka anut. Kebijakan negara, litaratur, ataupun pelajaran sejarah turut memperkuat stigma dan diskriminasi pada penganut kepercayaan asli ini.

Salah satu pandangan keliru antara lain menganggap para penghayat sebagai kelompok yang mempraktikkan kebudayaan tradisional atau bahkan primitif, seperti yang disampaikan peserta kelas keempat “The Journey of Interfaith” yang diselenggarakan oleh Sekolah Damai Indonesia (Sekodi) di Pasewakan Waruga Jati, Bandung, Sabtu, 31 Agustus 2024.

Engkus Rusmana, Ketua Umum Organisasi Penghayat Budi Daya, kekeliruan tersebut dapat dilacak di catatan sejarah yang dibentuk saat zaman kolonial dan dilestarikan negara melalui buku-buku sejarah. Bahkan nama penghayat kepercayaan adalah nama yang disematkan oleh negara untuk para penganut agama-agama leluhur.

“Penghayat tuh penganut ya dan kepercayaan ini sebetulnya itu nama yang diberikan oleh negara kepada para penganut ajaran atau agama-agama leluhur,” terang Engkus Rusmana.

Sama halnya dengan agama-agama leluhur lainnya yang ada di seluruh Indonesia. Mereka sering kali dianggap menyembah pohon, batu, ataupun situs-situs lainnya.

Engkus menyebutkan, kekeliruan tersebut berangkat dari konsep animisme dan dinamisme yang dibentuk pada zaman kolonial dan dilestarikan negara. Padahal, situs-situs yang dianggap sebagai objek penyembahan tersebut hanyalah simbol-simbol dari konsep sistem kepercayaan para agama leluhur.

“Semua orang yang pernah sekolah pasti gambarannya ‘oh kepercayaan bangsa Indonesia itu animisme, masih nyembah batu, masih primitif. Itulah yang berdampak sampai sekarang, kenapa diskriminasi terjadi,” tutur Engkus.

Padahal, Engkus menegaskan, konsep animisme dan dinamisme adalah bentuk strategi penjajahan, agar bangsa yang dijajah seolah tidak ada keterikatan dengan leluhurnya.

Diskriminasi terhadap umat Penghayat Kepercayaan juga diterima hingga tingkat tidak dapat memperoleh hak-hak kewarganegaraan. Hal itu terjadi karena kepercayaan leluhur tidak diakui sebagai agama oleh negara sejak pemerintahan Suharto, melainkan hanya diakui sebagai bentuk budaya.

“Sejak tahun 1990 itu, semua hak itu terhapus. Tidak bisa dicantumkan di KTP, tidak bisa kawin (sah diakui negara), tidak bisa masuk PNS, tidak bisa masuk TNI, Polri. Pokoknya habislah,” jelas Engkus yang juga Presidium DMP-MLKI, Dewan Majelis Pimpinan Majelis Luhur Kepercayaan Indonesia.

“Satu lagi yang misalnya soal Bansos (bantuan sosial). Kan ada Bansos, ada BLT, ada beasiswa untuk pelajar, KIP, itu kan kalau mau mengajukan, harus daftar dulu DTKS, Daftar Terpadu Kesejahteraan Sosial. Pengajuannya juga kan harus lewat desa, desa membuka DTKS di masing-masing kabupaten. Itu tuh ga ada untuk penghayat,” lanjut Engkus.

Perbedaan regulasi penerima bantuan negara di kabupaten dan kota menjadi satu akar permasalahannya, sehingga antara pengakuan agama dan penerimaan bantuan memiliki kaitannya. Seperti yang dikatakan oleh Engkus bahwa regulasi di kota tidak mencantumkan agama sebagai syarat penerima, tetapi di kabupaten syarat tersebut tersedia.

“Nah, ini kan problem juga antara pusat dengan daerah, tidak sinkron. Itu juga probelmnya sedang saya urus. Jadi sampai sekarang masyarakat Penghayat yang miskin itu belum bisa memperoleh bansos-bansos atau bantuan-bantuan,” keluh Engkus.

Baca Juga: Terjal Jalan Murid-murid Penghayat Kepercayaan Menghadapi Perundungan
Nasib Penghayat Kepercayaan jadi Hantu di Negeri Sendiri
Budi Daya di Tangan Orang Muda 

Konsep Penghayat Kepercayaan

Penghayat kepercayaan sesungguhnya juga menganut konsep monoteisme atau percaya kepada satu Tuhan. Tuhan bagi para penghayat kepercayaan di berbagai daerah memiliki sebutannya masing-masing sesuai dengan suku budayanya. Dalam masyarakat Sunda yang menganut agama penghayat kepercayaan memiliki sebutan Tuhan yang beragam seperti, Gusti Nu Maha Suci, Gusti Nu Maha Tinggal, Gusti Nu Welas Asih, dan lain sebagainya.

Meski kepercayaan di setiap daerah berbeda-beda, semuanya memiliki kekhasan yang sama yaitu lekat dengan penghormatan leluhur dan erat hubungannya dengan alam. Kentalnya hubungan dengan leluhur karena penghayat kepercayaan memiliki keyakinan atas eksistensi diri yang tidak lepas dari keberadaan leluhur sebelumnya, ayah, ibu, kakek, nenek, dan seterusnya.

Begitupun dengan kedekatan penghayat kepercayaan dengan alam, karena penghayat kepercayaan memiliki konsep sadulur papat atau empat unsur asal manusia, air, tanah, angin, dan api, yang kemudian diberikan kehidupan dengan kuasa Tuhan.

Bahkan, dalam sistem kepercayaannya, alam adalah kitab suci atau sumber segala pengetahuan bagi penghayat kepercayaan. “Konsep (kitab suci) di kita, Budi Daya (organisasi penghayat kebudayaan daerah Cibedug, Lembang) adalah kitab suci atau sumber segala ilmu itu alam semesta ini,” jelas Engkus.

Segala konsep yang diyakini oleh penghayat kepercayaan adalah hasil dari pencarian Tuhan melalui pencarian kembali kedalam diri. Sebab, penghayat kepercayaan memiliki konsep Manunggal Kawula Gusti atau menyatunya  manusia dengan Tuhan yang artinya di dalam diri manusia terdapat unsur suci kuasa Tuhan.

Oleh karenanya, jaga ucap, tekad, dan lampah atau menjaga ucapan, niat, dan laku menjadi bentuk peribadatan para penghayat kepercayaan. “Di ajaran kita itu (kepercayaan) justru menekankan pada perilaku itu. Jaga ucap, jaga tekad, jaga lampah, karena kita berasal dari yang suci. Maka, berbuatlah kesucian,” terang Engkus.

Sementara upacara atau ritual untuk beberapa tujuan hanyalah bentuk ungkapan dari keyakinan dan penghormatan atas segala kehidupan yang ada di alam semesta. 

“Mereka juga hidup semua dari Tuhan. Mau hewan, mau pepohonan, kita manusia juga hidup dari Tuhan. Berarti, di situlah konsep melahirkan penghormatan kepada sesama hidup, sehingga diterapkan pada tradisi tadi (upacara atau ritual-ritual),” jelas Engkus. 

*Kawan-kawan yang baik bisa membaca artikel-artikel lain dari Nabila Eva Hilfani, atau tulisan-tulisan menarik lain tentang Toleransi

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//