Jumlah Perempuan di Kursi DPRD Jabar Jauh dari Harapan
Dari 120 Anggota DPRD Jabar periode 2024-2029 yang dilantik, hanya 27 orang perempuan. Representasi perempuan di legislatif tidak didukung oleh sistem politik.
Penulis Awla Rajul4 September 2024
BandungBergerak.id - Anggota DPRD Jawa Barat masa jabatan 2024-2029 baru saja dilantik, Senin, 2 September 2024. Dari total 120 wakil rakyat, kursi yang diisi oleh perempuan di DPRD Jabar hanya 27 kursi. Padahal, aa kebijakan-kebijakan terkait perempuan yang hanya bisa dipahami oleh perempuan. Dengan komposisi anggota dewan di DPRD Jabar saat ini yang didominasi laki-laki, akan sulit melahirkan kebijakan atau regulasi yang benar-benar berpihak pada perempuan.
Faktanya, setengah penduduk Jabar adalah perempuan. Tahun 2022 penduduk Jabar sebanyak 49.405.808 jiwa, dengan rincian 25.067.226 laki-laki dan 24.338.582 perempuan (BPS Jabar, terakhir diperbarui 10 Januari 2024).
Jika dirinci, kursi DPRD Jabar terdiri dari Partai Gerindra yang memiliki perolehan kursi terbanyak, yaitu 20 kursi. Empat di antaranya diisi oleh perempuan. Partai Golkar dan PKS masing-masing memiliki 19 kursi. Empat kursi Golkar diisi oleh kader perempuan, sedangkan kursi PKS diisi oleh enam orang perempuan. PDI Perjuangan memperoleh 17 kursi, enam kursinya diisi oleh perempuan.
PKB yang memperoleh 15 kursi, hanya satu yang diisi oleh perempuan. Lalu Partai Nasdem dan Demokrat sama-sama memperoleh delapan kursi. Tiga kursi Nasdem diduduki oleh perempuan, sementara hanya satu kursi di Demokrat untuk perempuan. Fraksi terakhir yang berisi perempuan adalah PAN, yang dua kursinya diduduki oleh perempuan dengan total kursi sebanyak tujuh. PPP memperoleh enam kursi yang semuanya diisi laki-laki. Adapun PSI hanya memperoleh satu kursi.
Kebijakan afirmatif keterwakilan perempuan dalam politik sudah dimandatkan dalam Undang-Undang Pemilu No. 7 tahun 2017. Perempuan bisa terlibat sebagai penyelenggara baik KPU dan Bawaslu, kepengurusan partai, serta pendaftaran calon anggota legislatif yang harus menyertakan keterwakilan perempuan 30 persen di setiap tingkatan.
Selain itu, PKPU nomor 10 tahun 2023 juga telah mengatur mengenai kebijakan afirmatif perempuan dalam pencalonan legislatif. Sayangnya perhitungannya dibulatkan ke bawah yang membuat jumlahnya menjadi di bawah 30 persen, alih-alih membulatkan ke atas. Persoalan ini pun sempat memunculkan penolakan dari koalisi masyarakat dan kekhawatiran keterwakilan perempuan tidak mencapai 30 persen.
Sayangnya kebijakan afirmasi keterwakilan perempuan ini hanya mengatur pada pencalonan, bukan pada pemenuhan kursi sebanyak 30 persen di DPR. Hal ini juga berpengaruh karena sistem yang diterapkan di Indonesia adalah sistem proporsional terbuka yang mengatur kursi di parlemen yang dibagikan kepada partai politik disesuaikan dengan jumlah suara yang diperoleh saat pemilu.
Muhammad Ar Rafii dan Elan Jaelani dalam artikel di Aliansi: Jurnal Hukum, Pendidikan dan Sosial Humaniora Volume 1 No. 2 Maret 2024 yang berjudul “Upaya Meningkatkan Partisipasi Politik Perempuan dalam Keterwakilan di Legislatif” menyebutkan tiga faktor permasalahan rendahnya partisipasi politik perempuan.
Angka keterwakilan perempuan yang rendah ditengarai karena sistem proporsional terbuka. Sistem ini menyajikan persaingan di internal partai antarcalon di satu daerah pemilihan dengan sangat terbuka. System ini dianggap merugikan perempuan karena pemahaman masyarakat mengenai kepemimpinan perempuan yang dinilai masih patriarki. Rafii dan Jaelani menuliskan, untuk mencapai kondisi ideal keterwakilan perempuan di legislatif, sistem pemilu harus bisa mengakomodasi keterwakilan perempuan, secara kualitatif dan kuantitatif.
Poin pertama itu selaras dengan faktor kedua, yaitu masih rendahnya pengetahuan dan pemahaman masyarakat soal keterwakilan perempuan yang merupakan bentuk kesetaraan antara kaum laki-laki dan perempuan. Dalam struktur sosial, perempuan masih menjadi warga “kelas kedua”.
Mahasiswa UIN Sunan Gunung Djati ini juga memandang peraturan yang mengatur keterwakilan perempuan di legislatif dengan kuota pemenuhan sekurang-kurangnya 30 persen hanya sekadar aturan pemenuhan dari tekanan terhadap isu kesetaraan. Selaras dengan faktor ketiga, yaitu aturan yang dibuat hanya mengakomodir kebutuhan, bukan untuk mempertegasnya menjadi norma apabila tidak dilaksanakan maka partai politik akan mendapatkan sanksi.
“Rendahnya ketegasan tersebut mendorong para pengurus partai politik sengaja menempatkan perempuan pada urutan tertentu sehingga mengecilkan kemungkinan caleg perempuan duduk di lembaga legislatif DPR. Maka diperlukan aturan yang tegas mengenai sanksi ataupun bentuk apa pun apabila terjadi pelanggaran terhadap aturan pemenuhan kuota 30 persen keterwakilan perempuan,” tulis Rafii dan Jaelani.
Baca Juga: Merawat Perjumpaan, Merebut Ruang Gerak Masyarakat Sipil di Jawa Barat
Aksi Menolak Revisi UU Pilkada Masih Berlanjut di Bandung, Seluruh Rakyat Boleh Beraksi
‘Rebutan’ Penumpang dan Maskapai Pesawat antara Bandara Husein Sastranegara dan Bandara Kertajati, Industri Pariwisata Kota Bandung Mengeluh Sepi
[baca_juga]
Mengganti Sistem
Peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Annisa Alfath menyebutkan, partisipasi perempuan di legislatif perlu ditingkatkan. Sebab ada urusan-urusan khusus perempuan yang tidak tersentuh jika kebijakan hanya dibuat oleh laki-laki. 30 persen keterwakilan setidaknya perlu diwujudkan agar suara dan kepentingan perempuan bisa menjadi perhatian.
Annisa menyebut, masih sulitnya mewujudkan keterwakilan perempuan adalah karena sistem proporsional terbuka yang memberi wewenang untuk memilih kandidat wakil rakyat adalah masyarakat sesuai yang dikehendaki, baik laki-laki maupun perempuan. Kultur masyarakat yang masih patriarkis membuat kandidat perempuan sulit bersaing karena laki-laki dipandang sebagai pemimpin dan pengambil keputusan.
“Dalam konteks kandidat perempuan, partai akan condong mengajukan artis atau kandidat dengan modal ekonomi yang kuat. Mengingat ketimpangan ekonomi yang tinggi di Indonesia, kandidat perempuan yang berasal dari akar rumput tentunya akan semakin kesulitan untuk mengikut kontestasi dengan biaya yang tinggi ini,” ungkap Annisa sebagaimana dikutip dari laman resmi Perludem.
Untuk memperoleh cita-cita keterwakilan perempuan, ia memberikan tawaran solusi melalui sistem proporsional tertutup. Sistem ini dinilai memiliki keunggulan dibanding yang terbuka karena partai politik dapat lebih leluasa menentukan nama-nama yang nantinya akan duduk di parlemen. Cara ini dinilai lebih adil untuk kandidat perempuan potensial yang kesulitan bersaing di sistem proporsional terbuka karena namanya kurang tenar dan tidak memiliki modal kampanye yang besar.
“Aturan yang saat ini mewajibkan minimal 30 persen kandidat perempuan dalam daftar calon tetap bisa diubah menjadi minimal 30 persen anggota dewan perempuan untuk masing-masing partai politik yang lolos ke parlemen. Ada perbedaan yang besar antara mengirim kandidat calon dengan mengirim perwakilan partai di parlemen. Jika sistem proporsional terbuka hanya bisa mengatur calon yang akan diajukan, sistem proporsional tertutup memungkinkan parpol untuk langsung mengatur proporsi keterwakilan perempuan di parlemen,” terangnya.
Solusi lain yang ia tawarkan adalah dengan sistem zipper murni dalam pencalonan anggota dewan. Sistem ini mengatur dalam urutan nomor calon legislatif, diurut dengan dua orang laki-laki dan satu orang perempuan. Penerapan sistem ini sudah diatur dalam pasal 246 UU Pemilu Nomor 7 tahun 2017. Pasal itu mengatur dalam setiap tiga orang bakal calon, terdapat paling tidak satu orang bakal calon perempuan.
“Dengan menerapkan sistem zipper murni maka potensi kandidat perempuan untuk dipilih akan meningkat karena namanya berada di urutan yang lebih tinggi. Lebih jauh lagi partai politik perlu didorong untuk menempatkan kandidat perempuan di nomor urut 1 pada minimal 30 persen dari daerah pilihan,” tambahnya.
Annisa juga menegaskan perlunya edukasi massif kepada masyarakat tentang pentingnya keterwakilan perempuan dalam politik. Menurutnya, pelaksanaan keterwakilan ini bukan hanya dilakukan oleh penyelenggara pemilu, tapi juga perlu peran aktif partai politik.
*Kawan-kawan dapat membaca tulisan-tulisan lain Awla Rajul, atau artikel-artikel lain tentang isu Politik