• Opini
  • Merayakan Hari Tanpa Hadirnya Negara

Merayakan Hari Tanpa Hadirnya Negara

Aksi “Rakyat Gugat Negara” oleh jaringan Bandung membuka opsi alternatif aksi massa.

Bikry Praditya

Seorang buruh tulis, foto, dan juga video di salah satu media musik Indonesia. Mari bercengkerama via IG @bikrypna

Aksi di depan DPRD Jawa Barat, Bandung, 28 Agustus 2024. (Foto: Fawaz (@vawazvawaz_))

6 September 2024


BandungBergerak.id – Pada Rabu, 28 Agustus 2024, menjadi hari penting dalam sejarah perlawanan rakyat terhadap konstitusinya sendiri. Selaut manusia dengan gagahnya mengangkangi gedung representasi negara yang lucunya hari itu tidak bersama mereka, atau jauh dalam lubuk hati; entah kapan terakhir kali negara ada bersama mereka?

Di tengah gejolak konflik politik yang ada, berbagai respons hadir dari masyarakat. Dua minggu kelam, lini masa media sosial tak henti-hentinya berisikan tentang berita perlawanan hingga korban berjatuhan akibat represifitas aparat yang bertugas.

Merangkum hal tersebut, sebagai warga Bandung yang (kebetulan) sedang berada di kota lain, saya berandai-andai kalau saja bisa mengajak teman-teman untuk membuat semacam aktivasi ruang publik di depan Gedung DPRD Jawa Barat dengan penampilan musik dari rekan-rekan musisi tentunya.

Belum surut ide itu bergejolak di kepala, jaringan Bandung memosting e-flyer “Gugat dan t”a dengan logo tangan menggenggam ular yang sebelumnya saya saksikan lewat Instastory. Total 10 band tercatat jadi penampil. Sesal membuncah di dada karena tidak dapat menyaksikan langsung “konser” yang saya dambakan itu.

Saya tidak dapat menangkap dengan pasti perasaan berada di tengah kerumunan tersebut, tapi saya paham betul bagaimana rasanya tiap kombatan yang datang ke lokasi dengan menyimpan amunisi ludah menggumpal di kerongkongan untuk kemudian sama-sama dibuang di depan gerbang dengan dekorasi kawat berduri dan action figure mobil Raimas/Dalmas atau apa pun itu kata gantinya. Bahkan dari jarak ratusan kilometer saya dapat merasakan gairah yang amat bergejolak, semacam libido di hari pertama akil balig, semacam antusiasnya kencan pertama, atau semacam semua awal-awal yang lain. Semua itu memiliki satu kesamaan; akan saya rekam dan simpan rapi di ingatan.

Beruntunglah teknologi, gairah saya tak terbuang percuma. Saya bisa melihat curahan hati yang ditransfer pada kertas karton atau kain hitam. Saya juga dapat melihat banyak kawan yang merasa bangga karena kawannya jadi penampil di hari itu. Saya merasakan betul, gairah yang hadir berkat suntikan kolektif masyarakat yang sepakat hadir tanpa tembok menghalangi. Tak ada tuan, tak ada hamba, semua sama. Sebuah hari adiluhung, diciptakan saat Tuhan sedang mengepalkan tinjunya di angkasa.

Baca Juga: Menantang Tirani, Rekaman Visual Demonstrasi 22 Agustus 2024 di Bandung
Aksi Massa Prodemokrasi Peringatan Darurat Hari Kedua di Bandung Kembali Ricuh, Korban Luka-luka Terus Bertambah
Cerita Relawan Medis di Aksi Peringatan Darurat Bandung ketika Hujan Batu dan Gas Air Mata

Catatan Kelam

Bandung selalu memiliki catatan kelam perihal represifitas aparat. Mayday 2019 jadi tolok ukur bagaimana massa aksi dikucilkan bahkan dianggap tak memiliki harga diri. Mereka dikejar, diinjak, tak sedikit yang ditabrak, ditembaki gas air mata, juga dipukuli di depan umum.

Pendek pemikiran saya, pasca tragedi kelam tersebut mungkin saja aksi massa di Bandung tak kan “semarah” hari-hari sebelumnya. Namun setelah saya menonton takjub aksi yang terselenggara di Gedung DPRD, Rabu, 28 Agustus 2024, kemarin, saya percaya bahwa amarah yang diakumulasikan menahun hanya akan melahirkan komplotan pemuda yang tak lagi percaya akan sistem yang mengatur mereka. Karena lagi-lagi, hukum diberlakukan pada mereka lewat kekuatan yang brutal, maka tak ada alasan bagi mereka untuk berkompromi menaatinya.

Beberapa respons yang berujung pada aksi massa sering kali diklaim sebagai biang dari kerusuhan. Semua terjadi akibat romantisisasi mahasiswa dan pergerakan, juga konstruksi sosial yang mendambakan sebuah demonstrasi “damai” penuh cinta dan pelukan antara massa aksi dan aparat di lapangan. Namun perihal itu, saya harus mengutip apa yang dikatakan Victor Serge dalam bukunya:

“Bagi yang mengatakan kepada Anda bahwa kebencian tidak menimbulkan cinta, jawab saja bahwa cinta yang selalu hidup itulah yang menimbulkan kebencian”.

Aksi yang diinisiasi oleh jaringan Bandung tersebut memberikan kita opsi alternatif tentang bagaimana sebuah protes dapat dilakukan. Meski belakangan semua sibuk membahas tentang payung isu RUU Pilkada dan sistem akal-akalan rezim Jokowi, kita juga tak bisa luput dari isu yang lebih spesifik seperti penggusuran dan korupsi lahan. Itu jauh lebih konkret dibicarakan karena lebih dekat dengan kehidupan, namun semua itu bermuara pada bebalnya sebuah rezim dengan Nawadosa yang digaungkannya.

Korupsi lahan –atau begitu kurang lebih saya senang menyebutnya– merupakan perpanjangan napas momok Orba yang melegitimasi mental generasi selanjutnya. Bagaimana sebuah regulasi dapat diotak-atik sedemikian rupa juga merupakan masalah mental yang mengakar dan jelas jadi isu elite. Sayangnya, guna menyadarkan hal tersebut orasi saja tak cukup, atau dalam kata lain, Oral Service jadi mekanisme stagnan untuk meruntuhkan tirani. Perlu sesuatu yang lebih tegas dari orasi di tiap demo aksi.

Aktivasi Ruang

Di aksi kemarin, kita bisa menyadari bahwa kekuasaan tertinggi ada pada tangan kita. Aktivasi ruang yang terjadi tak hanya menyenangkan mereka yang senang akan pertunjukan musik saja. Di tiap aktivasi ruang, ada rantai ekonomi yang berjalan. Ada pedagang yang dagangannya laku, ada tukang parkir yang dipaksa bekerja lebih giat, ada yang berusaha menyenangkan dan ada pihak yang “tersenangkan”. Semua itu terjadi secara organik, tanpa bantuan otoritas sedikit pun.

Jalanan merupakan saksi bisu dari ketimpangan, dominasi, dan arogansi dari sebuah sistem dan rezim yang tak sejalan dengan rakyatnya. Vandalisme di tembok kota adalah suara paling jujur dari adrenalin yang tak tercurahkan semestinya, tiap grafiti di jalan raya hanyalah bentuk ekspresi dari carut marut alam bawah sadar para bomber saat memaknai krisis eksistensial dalam hidupnya. Maka sudah seharusnya kita merangkul kembali saksi-saksi tersebut dalam sebuah protes menuntut kesejahteraan alam pikiran yang tak hadir cuma-cuma.

Mari kita renggut apa yang telah mereka renggut dari kita, karena tiap pertunjukkan tak kan terlaksana tanpa adanya saksi, maka sudah saatnya kita kembali pada saksi-saksi yang mendampinginya. Sudah seharusnya kita kembali ke jalanan, mengakomodir keluh kesah di tiap sudutnya dan menyejahterakan taraf hidup sesama, sebisanya.

Karena negara terlampau bebal untuk merangkai kata tentang aktivasi ruang publik. Maka saya rasa, aksi yang dilakukan kawan-kawan kemarin di Gedung DPRD Jawa Barat sangat tidak pantas dikategorikan sebagai aksi “Rakyat Gugat Negara”. Justru hal tersebut merupakan aksi nyata, bahwa negara tak pernah ada bersama kita, dan di hari itu kita semua merdeka, merayakan kemenangan-kemenangan kecil sebelum kembali terjerumus pada kekalahan yang menahun. Sesungguhnya hari itu kita tak menggugat apa-apa, karena memang tak ada yang harus digugat melainkan sudah sepatutnya dirayakan.

Meski represi melahirkan satu generasi yang menolak hormat pada Sang Saka, tapi kibaran merah-hitam jadi tanda suka cita, di hari itu kita merdeka, merayakan hari tanpa hadirnya negara.

*Kawan-kawan dapat membaca artikel-artikel lain tentang aksi massa

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//