• Berita
  • Sungai Citarum Tercemar Mikroplastik

Sungai Citarum Tercemar Mikroplastik

Kabar mengkhawatirkan datang dari Sungai Citarum. Riset terbaru sungai terpanjang di Jawa Barat ini tercemari mikroplastik selain timbulan sampah.

Sungai Cikapundung. Kampung Cibarani, Kota Bandung, September 2024. (Sumber Foto: Komunitas Tjibarani)

Penulis Awla Rajul6 September 2024


BandungBergerak.id - Pencemaran sungai-sungai di Bandung Raya lebih dari berupa timbulan sampah. Ada jenis pencemaran lain yang tak kasat mata berupa mikroplastik. Dua belas sampel air dari beberapa hulu dan hilir Sungai Citarum terbukti tercemar mikroplastik. Pencemaran sungai pun semakin krusial untuk segera diatasi.

Komunitas Cai Cibadak, Kampung Tjibarani, bersama Ecoton, dan Badan Riset Urusan Sungai (BRUIN) Nusantara mengambil sampel air di Sungai Citarum di dua waktu berbeda. Pada tahun 2022, ada tujuh sampel yang diambil, yaitu di hulu Citarum, Outlet Pindodeli, Hulu Pindodeli, Hilir Pindodeli, Waduk Walahay, Sungai Cipatungjang, dan Pintu Air Cibeet.

Dari sampel yang diambil, ditemukan total 458 jumlah partikel mikroplastik dari empat jenis yang berbeda, yaitu fiber, filament, fragmen, dan granul. Dari keempat itu, yang paling banyak jenis fiber yaitu sebanyak 286 partikel (62,44 persen) di total enam sampel, fragment sebanyak 123 partikel (26,85 persen), filament sebanyak 37 partikel (8,07 persen), dan granul sebanyak 12 partikel (2,62 persen).

Jika dirunutkan per lokasi, di hulu Citarum ditemukan 84 partikel fiber, enam partikel filament, empat partikel fragmen dengan total 94 partikel mikroplastik. Di Outlet Pindodedi ditemukan sebanyak 105 partikel fiber, 25 partikel filament, dan 41 partikel fragmen dengan total 173 partikel mikroplastik. Di hulu Pindodedi ditemukan 23 partikel fiber, 22 partikel fragmen, lima partikel granul dengan total 50 partikel mikroplastik.

Di hilir Pindodeli ditemukan 20 partikel fiber, 42 partikel fragmen, dan satu partikel granul dengan total 63 partikel mikroplastik. Di Waduk Walahar ditemukan 29 partikel fiber, 13 partikel fragmen, dan dua partikel granul dengan total 44 partikel mikroplastik. Di Sungai Cipatunjang ditemukan 13 partikel fiber, dua partikel filament, satu partikel granul dengan total 17 partikel mikroplastik. Dan di Pintu Air Cibeet ditemukan 12 partikel fiber, empat partikel filament, dan satu partikel granul dengan total 17 partikel mikroplastik.

Pengujian di bulan Juli 2024, sampel diambil di lima hulu sungai Citarum, yaitu Cigulung, Cinambo, Cipaganti, Cikapundung Tengah, dan Baku Lonceng Cikapundung. Dari lima lokasi ini, ditemukan total 58 partikel mikroplastik dari jenis fiber dan filament. Fiber total berjumlah sebanyak 47 partikel (81,03 persen) dan filament sebanyak 11 partikel (18,96 persen). Sampel-sampel yang diambil tersebut dianalisa di Laboratorium Pengujian Ecoton di Gresik.

Jika dirunut, di Cigulung ditemukan lima partikel fiber dan satu partikel filament dengan total enam partikel mikroplastik. Di Cinambo ditemukan tujuh partikel fiber dan dua partikel filamen dengan total sembilan partikel mikroplastik. Di Cipaganti ditemukan 12 partikel fiber dan satu filamen dengan total 13 partikel mikroplastik. Di Cikapundung Tengah ditemukan sebanyak 11 partikel fiber dan dua partikel filamen dengan total 13 partikel mikroplastik. Dan di Baku Lonceng Cikapundung ditemukan 12 partikel fiber 12 dan lima partikel filamen 5 dengan total 17 partikel mikroplastik.

Sungai Tercemar Berat

Koordinator Komunitas Cai Nugi Herdian menerangkan, pengujian sampel-sampel Sungai Citarum ini masih dalam rangka Ekspedisi Sungai Nusantara yang digagas oleh Ecoton. Memilih salah satunya Sungai Citarum di Jawa Barat, ekspedisi ini merupakan kajian yang komprehensif untuk mendeteksi mutu air dan pencemarannya.

“Keluarlah sampel hasil Sungai di kawasan hulu sampai hilir Citarum dan tercemar berat mikroplastik, terutama di kawasan utara yang harusnya menjadi parameter cukup baik, nyatanya sangat berat tercemar. Dari sisi pribadi dan komunitas, kami sangat shock dengan kajian yang kami lakukan itu. Tentunya ini harus terus diupayakan bagaimana sungai ini betul-betul bisa kembali lagi ke mutu terbaiknya,” terang Nugi kepada BandungBergerak dalam sambungan telepon, Rabu, 4 September 2024.

Nugi menerangkan, persoalan utama yang membayangi pencemaran sungai adalah pengelolaan sampah yang belum maksimal. Dalam ekspedisi yang dilakukan, pihaknya menemukan banyak tps-tps ilegal di bantaran Sungai Cipaganti yang melintasi tiga desa, yaitu Desa Wangunsari, Desa Lembang, dan Desa Ledeng. Selain itu, ditemukan pula persoalan masyarakat yang tidak terlayani tempat pembuangan dan pengelolaan sampah.

Mereka juga mendapati kondisi sungai di Lembang area Bosscha yang mikrodasnya dipenuhi sampah-sampah plastik. Nugi menilai, biota air mustahil hidup di perairan itu karena airnya yang demikian pekat, hitam, dan bercampur sampah plastik.

“(Masyarakat) mereka bilang kami tidak bisa apa-apa, karena tidak memiliki layanan tempat pembuangan sampah yang baik. Jadi mereka secara terpaksa membuang sampah ke bantaran sungai yang langsung berdampak ke sungai yang ada di Kota Bandung,” tambahnya.

Ia menjelaskan kalau tercemarnya sungai dengan mikroplastik ini akan membahayakan biota air dan manusia. Mengonsumsi ikan yang tercemar mikroplastik akan berpengaruh pada pertumbuhan dan perkembangan otak anak. Makanya, Nugi mewanti-wanti, pemerintah harus memperhatikan sumber ikan yang akan diberikan kepada anak dalam program Makan Siang Gratis.

“Analisa di lapangan dari tahun 2022 sampai 2024, dua tahun ini, transisinya cukup cepat. Tahun 2024 ini memang kondisi airnya cukup sangat pekat, sampah-sampah semakin banyak. Analisa kami ini akan semakin meningkat pencemaran mikroplastik dan ini menjadi warning bagi masyarakat,” jelasnya.

Kawasan Bandung Utara (KBU) yang banyak diramaikan mahasiswa juga menimbulkan persoalan timbulan sampah melebihi kapasitas (overload). Makanya ia berharap, civitas akademika dari kampus-kampus di KBU bisa melakukan terobosan baru untuk membantu persoalan pengurangan sampah plastik.

Ia juga mengeluhkan masyarakat yang belum paham dampak apa yang akan dirasakan masyarakat karena pencemaran sampah plastik di sungai, makanya masih ada yang membuang sampah sembarangan. Program pengolahan sampah dengan maggot juga dinilai belum maksimal, sebab tidak ada terobosan pemerintah untuk memberikan edukasi komprehensif kepada masyarakat.

“Akhirnya pemilahan sampah tidak terjadi di tengah masyarakat hanya orang-orang yang sadar saja terkait lingkungan. Barangkali ini menjadi PR besar agar pentahelix ini berjalan dengan baik. Jangan jadi jargon saja,” katanya.

Di samping itu, pekan lalu, pihaknya melakukan kajian di hulu dan Bukit Pangparang dengan metodologi Patanjala. Di sana, terjadi eksploitasi besar-besaran, zona hutan lindung yang beralih fungsi menjadi perkebunan. Ia mewanti-wanti, kondisi ini akan menimbulkan masalah, yaitu banjir akibat hutan yang gundul. Masalah ini pun diperparah dengan sungai yang dipenuhi sampah.

“Kami memperingati kalau di kawasan hulu kondisinya sangat prihatin. Jadi warga Kota Bandung harus waspada, tentunya pascamusim penghujan ke depan. Dari segmen mikroplastik pun, dampak bencana yang akan terjadi harus kita pikirkan,” pungkasnya.

Baca Juga: BANDUNG HARI INI: Lahirnya Program Omaba yang Sempat Mendapatkan Perhatian Internasional, Kini Tak Terdengar Lagi
Konservasi Di Balik Ritual Ngalokat Cai Irung-Irung Cihideung
KADO 214 TAHUN KOTA BANDUNG: Membaca Naiknya Data Kekerasan terhadap Perempuan

Pencemaran mikroplastik di Sungai Citarum hasil riset Ecoton. (Tangkapan Layar Ecoton: Awla Rajul/BandungBergerak)
Pencemaran mikroplastik di Sungai Citarum hasil riset Ecoton. (Tangkapan Layar Ecoton: Awla Rajul/BandungBergerak)

Masalah Laten Sungai Indonesia

Koordinator Program Sensus Sampah Plastik BRUIN Muhammad Kholid Basyaiban menjelaskan, persoalan polusi plastik sangat kompleks. Tanggung jawabnya harus dilakukan oleh tiga komponen, yaitu pemerintah, masyarakat, dan produsen.

Ia menegaskan, plastik jelas berbahaya ketika ada di lingkungan, terutama di perairan. Sampah yang tercemar ke perairan akan terfragmentasi menjadi mikroplastik. Mikroplastik yang masuk ke tubuh manusia melalui konsumsi hewan yang terkontaminasi, akan menjangkit berbagai penyakit.

Kholid menjelaskan, bayangan masyarakat terkait hulu sungai yang bersih kini terpatahkan. Karena dari data sampel yang dianalisa, terbukti tercemar mikroplastik di perairan sungai hulu Citarum. Mikroplastik jenis fiber merupakan fragmentasi plastik dari produk tekstil. Sedangkan jenis filament merupakan fragmentasi dari plastik lentur, seperti kresek atau kemasan.

“Ini dari datanya paling banyak fiber, berarti menandakan kalau di hulu sungainya, ketika sungai itu di bantarannya ada permukiman, yang pasti masalah sampah ada di situ. Dan pasti itu bisa menjamin, kalau ada kehidupan di sekeliling sungai yang tidak ada tata layanan kelola sampahnya, pasti di airnya itu ada mikroplastik, asumsinya begitu,” terang Kholid.

Kholid menjelaskan, pihaknya tengah mendorong pemerintah untuk membuat baku mutu mikroplastik di sungai-sungai Indonesia. Juga sedang didorong pembentukan badan khusus yang menangani dan memulihkan sungai-sungai di Indonesia. Persoalan ini penting karena masalah sungai sangat kompleks dan berdampak pada banyak hal.

Berkaitan dengan tingginya jumlah mikroplastik fiber di hulu Sungai Citarum, Kholid menyebutkan, sumbernya diduga dari berbagai aktifitas, bukan hanya tercemarnya sungai dengan sampah tekstil. Kegiatan “sederhana” yang bisa mencemari sungai dengan mikroplastik fiber adalah aktivitas mencuci di sungai dengan deterjen.

Aktivitas mencuci pakaian di sungai berdampak buruk. Pelepasan mikroplastik terjadi karena gesekan pakaian dengan pakaian atau dengan batu kali. Di dalam deterjen ada zat kimia yang tidak boleh dibuang langsung ke sungai. Makanya, Kholid mengatakan, harus ada Instalansi Pengolahan Limbah (IPAL) komunal yang mengelola limbah rumah tangga atau domestik sebelum masuk ke sungai.

“Harapannya adalah hasil cucian atau limbah rumah tangga (domestik) itu ditampung di instalasi IPAL komunal, baru bisa dibuang ke sungai,” tegasnya.

Kholid menyebut, pemerintah, masyarakat, dan produsen harus bertanggung jawab agar persoalan sampah yang mencemari sungai berakhir. Produsen harus bertanggung jawab atas sampah plastik yang dihasilkan. Tanggung jawab produsen ini juga sudah dimandatkan melalui Undang-Undang dan Peraturan Menteri KLHK tentang Peta Jalan Pengurangan Sampah sebanyak 30-40 persen di tahun 2029.

Masyarakat juga dinilai belum sadar dan masih acuh. Namun, ini juga berpengaruh karena layanan tata kelola persampahan yang dilakukan oleh pemerintah belum maksimal. Warga masih mengolah sampah dengan cara dibakar atau dibuang ke sungai. Sementara pemerintah, baru bisa melakukan layanan tata kelola sampah sebesar 35 persen yang kebanyakan terpusat di perkotaan dan perumahan.

“65 persen masyarakat di Indonesia ini masih minim layanan sampah, mulai dari fasilitas pengumpulan, pengangkutan, TPS3R. Makanya mendorong habit budaya masyarakat yang membakar sampahnya, membuang sampahnya ke lingkungan. Jadi ketiga komponen itu berputar di situ, industri yang cuci tangan, greenwashing, gak mau tanggung jawab terkait sampah yang diproduksinya, didukung dengan masyarakat yang habitnya belum baik dan belum mendapatkan tata kelola sampah yang baik dari pemerintah,” jelasnya.

*Simak tulisan-tulisan lain Awla Rajul, atau tulisan-tulisan lain tentang Sungai Citarum

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//