Konservasi Di Balik Ritual Ngalokat Cai Irung-Irung Cihideung
Upacara ngalokat di Cihideung, Kabupaten Bandung Barat tak lagi meriah seperti dulu setelah mata air dibeli perusahaan wisata.
Penulis Prima Mulia5 September 2024
BandungBergerak.id - Kaum perempuan warga Desa Cihideung, Kecamatan Parongpong, Kabupaten Bandung Barat, duduk mengelilingi sebuah kolam sambil menyiapkan kantung dan boboko (wadah nasi dari bambu) yang berisi bunga, beras, dan uang koin, Senin, 2 September 2024.
Mereka berpakaian kebaya dan berkain batik, duduk di atas batu-batu di pinggir kolam mata air yang disebut irung-irung Cihideung. Menurut warga desa, disebut irung-irung karena ada dua mata air bersisian seperti lubang hidung. Bahasa Sunda dari hidung adalah irung.
Suara sinden dengan iringan kecapi mengalun sendu di antara pepohonan yang menaungi sekeliling danau. Jam masih menunjukan pukul 9 pagi, tapi suhu udara diatas 30 derajat. Pagi itu warga desa akan menggelar upacara adat ngalokat cai huluwotan irung-irung Cihideung atau ritual ruwatan mata air irung-irung Cihideung.
Warga dan peserta helaran memasuki area mata air yang cukup sempit, tak semua bisa masuk. Sebagian warga melihatnya dari sisi sebelah atas mata air. Setelah berbagai sambutan disampaikan, pemotongan seekor domba jadi pembuka ruwatan.
Setelah itu puluhan kaum perempuan melempar bunga, beras, dan uang koin ke kolam mata air. Anak-anak berebut mengambil berbagai jenis penganan tradisional yang digantung di sekitar lingkungan mata air. Ada rengginang, ali agrem, gemblong, opak, rangining, dan beberapa jenis kue lainnya.
Beberapa perempuan turun ke dalam kolam untuk didoakan oleh para sesepuh adat sambil menyiramkan air ke tubuh dan kepala. Tak lama kemudian tiba-tiba air memercik dari segala arah, tradisi perang cai atau saling menyiram air pun dimulai. Siapa pun yang ada di pinggir kolam dan bisa menjangkau air boleh menyiramkannya.
Sayangnya, perang cai ini tak lagi digelar meriah dan artistik seperti beberapa tahun lalu saat lingkungannya masih berupa tanah lapang, ladang sayuran dan kolam alami yang terbentuk dari mata air. Kali ini perang cai hanya dilakukan sekedarnya saja dan hanya sebentar saja.
Warga tak lagi bisa leluasa menggelar ritual karena saat ini mata air irung-irung Cihideung berada di area kawasan wisata Lembang Park & Zoo. Usai ruwatan mata air, iring-iringan berjalan kaki kembali ke panggung acara di kawasan yang disebut kavling di RW 10 Kampung Panyairan sekitar 1 kilometer dari mata air.
Sepanjang perjalanan itu atraksi sasapian, bangbarongan, dan kuda lumping menghibur warga yang lewat atau nonton dari teras rumah. Para pegiat Karang Taruna Desa Cihideung ikut mengiringi arak-arakan atau helaran budaya tersebut.
Baca Juga: Ritual Adat Sunda di Kaki Gunung Tangkuban Parahu
Budaya Ngopi sebagai Ritual Penggerak Dinamika Sosial
Perayaan 1 Sura Aliran Kebatinan Perjalanan, Bukan Sekadar Upacara Ritual
Mereka mengawal dan menjaga para pemain sasapian dan kuda lumping yang menari dalam keadaan kerasukan (trance). Karena seringkali sasapian atau kuda lumping tiba-tiba berlari tanpa arah menabrak apa saja yang ada di depannya. Sementara di bagian depan ada arak-arakan perempuan berkebaya.
Sasapian ini tiba-tiba menyeruduk ke rombongan peserta helaran. Beberapa seniman kuda lumping juga bisa tiba-tiba berguling-guling di aspal atau masuk ke saluran air dengan tatapan mata kosong.
Seorang seniman kuda lumping bahkan meloncat melewati pot-pot tanaman hias terjun ke halaman tempat pembibitan tanaman hias. Dari jalan raya ke tempat pembibitan itu tingginya lebih dari dua meter.
Ngalokat cai atau ruwatan mata air irung-irung Cihideung ini jadi upaya warga desa untuk melestarikan dan merawat mata air yang masih tersisa di desanya. Cihideung berada di Kawasan Bandung Utara yang lahan basah dan lahan pertaniannya terus terdesak pembangunan properti dan resor wisata.
Sri (21 tahun), warga Desa Cihideung, menuturkan upacara adat ini telah ada sejak lama, dari generasi ke generasi. “Diteruskan oleh generasi berikutnya kakek nenek dan orang tua saya, sekarang mulai dijalankan oleh kita yang muda-muda sambil terus dikenalkan lagi pada generasi berikutnya,” kata Sri.
Sri pertama kali ikut tradisi ini sejak kelas empat SD. Ia masih ingat dulu tempat prosesi masih luas, kolam mata airnya juga cukup besar dan dikelilingi ladang sayuran dan lapangan rumput.
Festival perang cai di masa lalu sangat meriah dan nyeni di bawah araha Nanu Munajat, seniman dan dosen seni tradisi di ISBI Bandung. Namun sekarang area mata air telah dimiliki Lembang Park & Zoo, sehingga warga tak bisa bebas seperti dulu.
Perempuan yang tak pernah absen mengikuti tradisi ngalokat ini mengatakan, debit air irung-irung Cihideung tak pernah kering, saat kemarau panjang sekalipun, airnya terus mengalir. Konon menurut cerita rakyat setempat, jika sampai mata air Cihideung ini kering bakal ada bencana letusan gunung api yaitu Tangkubanparahu.
Menurut salah seorang warga dan petani Desa Cihideung bernama Darto, tanah di desanya yang dimiliki warga semakin susut, dibeli oleh para pengusaha.
"Mata air saja kan lokasinya sudah ada di dalam area Pakju (maksudnya Lembang Park & Zoo) jadi kurang leluasa untuk menggelar ritual tidak bisa seperti dulu lagi, walaupun pihak manajemen Pakju mengizinkan kami menggelar acara," kata Darto.
Ia menyebut, tanah-tanah di Cihideung tak sampai 20 persen yang masih dimiliki warga desa. Sisanya sudah dimiliki para pengusaha (properti, kuliner, dan pariwisata).
"Saya setiap tahun selalu ikut acara tradisi ini, anak saya juga selalu dibawa dari masih balita supaya kenal adat budaya desanya, supaya ngerti juga pentingnya merawat lingkungan alam sekitar tempat kita tinggal," kata warga lainnya, Lilis (47 tahun).
Lilis membawa serta Aulia (12 tahun), anak perempuannya yang sekarang duduk di kelas VII.
Awal terbentuknya upaya konservasi lingkungan melalui kemasan tradisi ini bermula dari gagasan Mas Nanu Munajat, petani Cihideung Abah Yanto dan Adil Hendra, bersama wartawan senior Retno Heriyanto dari Pikiran Rakyat tahun 2005.
Sepanjang tahun 2006 mereka berusaha meyakinkan warga desa betapa pentingnya upaya konservasi mata air di Cihideung. Mata air yang tadinya hanya berupa kolam tanah dengan lahan kosong dan kebun bunga atau sayuran di kanan kirinya jadi punya makna.
Melalui sebuah bentuk seni tradisi leluhur khas masyarakat agraris yang selalu bersyukur pada Yang Maha Kuasa atas berlimpahnya sumber air yang menghidupi desa mereka. Jadi bukan hanya kolam tanah belaka yang dibiarkan begitu saja.
Mata air irung-irung Cihideung berperan vital untuk mengairi kebun sayuran dan bunga milik warga desa, membasahi area resapan-resapan air yang membentuk sumur-sumur. Airnya mengalir jauh terus sampai ke hilir bertemu dengan sungai-sungai besar di cekungan Bandung, sampai akhirnya bersatu di Sungai Citarum.
*Kawan-kawan yang baik bisa mengunjungi karya-karya lain Prima Mulia atau artikel-artikel lain tentang Tradisi atau Upacara Adat