RESENSI BUKU: Ayah dan Sirkus Pohon, Dilema Pendidikan dan Pekerjaan di Indonesia
Lewat tokoh Hobirin di novel Ayah dan Sirkus Pohon , Andrea Hirata berhasil memotret kekejaman sosial di negara kita.
Penulis Muhammad Ridwan Tri Wibowo8 September 2024
BandungBergerak.id – Ketimpangan pendidikan di Indonesia menghambat produktivitas tenaga kerja. Ini menyebabkan banyak orang terjebak dalam pekerjaan sektor informal.
Indonesia masih menghadapi tantangan besar dalam pendidikan dan tenaga kerja. Data Kemendagri menunjukkan bahwa 23,78% penduduk tidak atau belum sekolah. Selain itu, 11,12% belum tamat SD, 23,15% hanya tamat SD, 14,47% hanya tamat SMP, dan 21,08% tamat SMA. Ketimpangan pendidikan ini berdampak pada produktivitas tenaga kerja.
Saka (24 tahun) –nama samaran, tetangga saya yang hanya mempunyai ijazah SD. Tiap harinya ia bekerja serabutan. Dari mengupas bawang, memasang tenda pedagang kaki lima, menarik gerobak tempe, dan tukang parkir hingga menjadi kuli panggul di pasar Kebayoran Lama.
Beberapa tahun yang lalu, ia pernah bekerja di restoran. Namun, hanya bertahan beberapa bulan saja. Katanya capai. Ia hanya digaji 2 juta rupiah saja. Belum ongkos bensin dan uang makan. Kerja 10 jam dan kerap kali harus pulang di luar jam kerja kalau restoran sedang ramai. Akhirnya kembali menjadi pekerja serabutan.
Menyebut nama Saka, mengingatkan saya pada tokoh bernama Hobirin di novel Ayah dan Sirkus Pohon karya Andrea Hirata. Lewat tokoh Hobirin, Andrea Hirata berhasil memotret kekejaman sosial di negara kita.
Baca Juga: RESENSI BUKU: Sebuah Buku yang Tidak Ditujukan untuk Malaikat dan Iblis
RESENSI BUKU: On The Road, Mencari Kebebasan Melalui Pengembaraan
RESENSI BUKU: Geger Gedhen di Pesisir Selatan Jawa, Kisah Pembangunan Bandara Internasional Yogyakarta dan Nasib Petani Desa
Sulit Mendapatkan Pekerjaan Tetap
Dalam Bab SMA atau Sederajat dijelaskan bahwa Hobirin merupakan anak keempat dari lima bersaudara. Abangnya yang pertama diterima di Sekolah Teknik PN Timah dan menjadi karyawan di kantor Eksplorasi PN Timah.
Abangnya yang kedua juga bekerja di PN Timah sebagai juru ukur. Abangnya yang ketiga adalah Pegawai Negeri Sipil (PNS), bekerja di kantor Syahbandar. Dan, adik bungsunya yang bernama Azizah menjadi ibu rumah tangga.
Azizah ingin Hobirin ikut membantu situasi moneter di rumah. Azizah juga tidak mau Hobirin hanya kerja serabutan di pasar. Menurut Azizah, lelaki harus memiliki pekerja tetap. Lelaki harus bekerja di kantor desa, di toko, di rumah sakit, di pabrik, di kapal, di PN Timah, atau di kantor Syahbandar.
Bagi Hobirin mendapatkan pekerjaan tetap tidak semudah membalikkan telapak tangan.
” (...) Tahukah kau Zah?! Saking sering aku bertemu kalimat itu sampai kerap aku bermimpi dikejar-kejar hantu yang membawa plang SMA atau Sederajat!” –Halaman 10
Hobirin terjebak dalam siklus pekerjaan serabutan. Setiap kali melihat lowongan kerja, ia merasa tertekan dan cemas karena mencantumkan syarat ijazah minimal SMA atau sederajat.
Mudah Terlibat dalam Masalah Hukum
Suatu hari, seorang tokoh bernama Taripol memberikan pekerjaan kepada Hobirin untuk mengantar corong pengeras suara ke rumah Soridin Kebul. Karena Hobirin sudah lama bermimpi membeli celana pensil. Tanpa berpikir ia pun panjang menyetujuinya.
Namun sialnya, Hobirin, Taripol dan Soridin diciduk polisi. Taripol terbukti menjadi maling, Soridin Kebul terbukti menjadi penadah barang curian, dan Hobi sendiri terbukti menjadi kurir.
”Hob, sini kau antarkan corong TOA itu ke rumah Soridin Kebul di kampung seberang! (...) Dua puluh ribu pasti di tanganmu!”—Halaman 19
Dalam konteks cerita Taripol, Soridin, dan Hobirin, teori konflik Ralf Dahrendorf dapat diterapkan untuk memahami apa yang terjadi di antara mereka. Ketidakpuasan Hobirin terkait dengan keadaan ekonominya yang buruk dan kekurangan pekerjaan tetap mendorongnya untuk menerima pekerjaan dari Taripol tanpa banyak pertimbangan.
Ketika Hobirin tidak memiliki pekerjaan dan penghasilan yang cukup untuk memenuhi kebutuhan dasarnya, ia mungkin sekali melakukan tindakan kriminal untuk mendapatkan uang. Tindakan kriminal ini bisa memicu konflik dengan masyarakat dan aparat penegak hukum.
Hal ini menjelaskan mengapa Hobirin, yang terpaksa menjadi kurir barang curian, akhirnya terlibat dalam masalah hukum bersama Taripol dan Soridin.
Mudah Dieksploitasi
Dalam bab Tipe Bangun Pagi Let’s Go menjelaskan bahwa Hobirin bukanlah tipe yang tidak suka leha-leha. Ketika diwawancara bekerja di sirkus, Hobirin menjelaskan pernah bekerja di usaha sound system menjadi tukang pikul sepiker, di pegadaian selaku juru parkir, di CV Snack Aneka Ria sebagai penjual kerupuk di terminal, dan di CV Rahmat Berdikari di bagian salesman.
”Pernah bekerja di mana, Bung Hob?”
”Oh, banyak sekali Bu!” –Halaman 28
Akhirnya karena sulit sekali mendapatkan pekerjaan tetap, Hobirin pun terhisap oleh sistem kerja yang mengeksploitasi. Hobirin bersedia bekerja lembur tanpa dibayar, bahkan bersedia bekerja di luar jam kerja. Hal ini menunjukkan bahwa Hobirin adalah orang yang sangat bersemangat untuk bekerja. Namun, sikap ini justru dimanfaatkan oleh pihak-pihak untuk mengeksploitasinya.
”Mungkinkah ada kerja lembur, Bu?”
”Sangat mungkin jika banyak pekerjaan.”
”Kalau boleh aku kerja lembur saja, Bu, tak dibayar tak apa-apa.”
”Mantap!”
”Masuk kerja pukul berapa, Bu?”
”Pukul 9.00 pagi sampai pukul 5.00 sore
“Aku siap masuk kerja mulai pukul 7.00, Bu, dan bersepatu!”
”Sip!” –Halaman 32
Kasus Hobirin bukan hanya cerita fiksi dalam novel, melainkan cerminan realitas pahit yang dihadapi banyak pekerja di Indonesia. Hobirin, dengan segala keterbatasan pendidikan dan kesulitan ekonomi, menjadi representasi dari jutaan pekerja yang terjebak dalam sektor pekerja informal.
Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), pada Februari 2024, 59,17% dari total tenaga kerja, bekerja di sektor informal. Banyak dari mereka tanpa perlindungan sosial yang memadai seperti jaminan kecelakaan kerja dan jaminan hari tua. Novel Ayah dan Sirkus Pohon secara tajam menangkap realitas ini.
Identitas Buku
Penulis : Andrea Hirata
Penyunting : Dhewiberta, Nurani Nura
Cetakan : Ketiga, Agustus 2021
Halaman : x + 198 halaman
Cover : Soft cover
Penerbit : Bentang Pustaka
ISBN : 978-602-291-661-1
*Kawan-kawan dapat membaca artikel-artikel lain tentang tenaga kerja,dan tulisan-tulisan lain Resensi Buku