• Indonesia
  • Mengenang Era Keemasan Bulutangkis Indonesia di Hari Olahraga Nasional

Mengenang Era Keemasan Bulutangkis Indonesia di Hari Olahraga Nasional

Kontingen Indonesia pernah mengalami masa keemasan di Olimpiade Barcelona 1992. Alan Budikusuma dan Susi Susanti meraih medali emas.

Acara Pekan Olahraga Nasional (PON) pertama di Stadion Sriwedari Solo, Jawa Tengah, 9 September 1948. (Foto: Arsip Nasional Indonesia)

Penulis Muhammad Akmal Firmansyah9 September 2024


BandungBergerak.id - Dalam catatan sejarah, hari kesembilan di bulan September 1948 merupakan Pekan Olahraga Nasional (PON) pertama di Stadion Sriwedari Solo. Hajat olahraga skala nasional ini diselenggarakan setelah Indonesia mengalami kegagalan untuk mengikuti Olimpiade London. Negeri yang baru seumur jagung ini juga masih menghadapi revolusi fisik. Tanggal 9 September pun ditetapkan sebagai Hari Olahraga Nasional (Haornas).

Achmad Sofyan Hanif, Iwan Setiawan dkk, Asas, Sejarah, dan Falsafah Olahraga (2021) menjelaskan, proklamasi menjadi gerbang awal sejarah Indonesia menentukan nasibnya, termasuk di bidang olahraga. Kementerian Pendidikan dan Pengajaran dibentuk untuk mengurusi pembinaan dan penggembangan olahraga nasional.

Masih di zaman proklamasi, pada bulan September 1945, organisasi olahraga yang dipimpin oleh Otto Iskandar Dinata yaitu GELORA (Gerakan Latihan Olahraga Rakyat) dan Djawai Iku Kai atau Pusat olahraga versi zaman pendudukan Jepang dileburkan menjadi Persatuan Olahraga Republik Indonesia (PORI).

Di tengah situasi yang serba tak pasti karena agresi militer Belanda Pertama, PORI melakukan kongres darurat pada Januari 1947 dengan terpilihnya Mr.Widodo Sastrodiningrat dan wakil Ketua Soemali Prawirosoedirjo serta sekretaris Soemono. Di saat yang sama, Presiden Sukarno melantik Komite Olimpiade Republik Indonesia (KORI) dengan Sri Sultan Hamengku Buwono sebagai ketua dan Koesmargono sebagai wakilnya.

“Saat itu KORI dibentuk karena Indonesia ingin ikut Olympic Games 1948 (namun karena persiapan para atlet itu tidak memadai, pengiriman ke London tidak jadi),” tulis Achmad Sofyan Hanif, Iwan Setiawan dkk, diakses Senin, 9 September 2024.

Indonesia gagal mengikuti Olimpiade 1948 disebabkan tidak bisa memenuhi persyaratan; berbagai organisasi induk olahraga di Indonesia belum tergabung dalam federasi nasional. Khusniani dalam Sejarah Hari Olahraga Nasional dan Momentum Kebangkitan Prestasi yang dimuat di Kompaspedia menyebutkan, Inggris tidak menerima paspor dari Indonesia kecuali bersedia bergabung di bawah kontingen Belanda.

Untuk memelihara api semangat keolahragaan di Indonesia, Khusniani menuturkan PORI kemudian menghidupkan kembali Pekan Olahraga Nasional yang pernah diadakan sebelumnya pada tahun 1938 dan 1942 oleh Ikatan Sport Indonesia. Menurut keputusan PORI tahun 1948, PON akan diadakan setiap dua tahun dan PON Pertama berlangsung di Solo pada 8-12 September 1948. 

“Artinya, hanya terdapat waktu tiga bulan untuk mempersiapkan pelaksanaan PON,” tulis Khusniani.

Pemerintah Indonesia yang saat itu berkedudukan di Yogyakarta mendukung PON Pertama dengan menyediakan biaya 1.500 rupiah. Khusniani mengutip dari Arsip Kompas bahwa PON Pertama diikuti 13 keresidenan, mulai dari Priangan, Bojonegoro, Jakarta, Yogyakarta, Kediri, Madiun, Magelang, Malang, Pati, Semarang, Surabaya, dan Solo.  

Beberapa tokoh politik dan anggota Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) ikut memeriahkan PON Pertama di Solo, mulai dari dari Presiden Sukarno, Wakil Presiden, dan Panglima Besar Soedirman.

PON Pertama menjadi tonggak sejarah keolahragaan di Indonesia. Achmad Sofyan, Iwan Setiawan dkk menyebutnya PON Pertama sebagai PON revolusi, PON Perjuangan, dan PON Penyebar semangat. Akademisi Universitas Negeri Jakarta (UNJ) ini mengutip juga perkataan Menteri Olahraga Pertama era 1959, Muladi yang mengutarakan kesannya, yakni:

“PON 1 di Solo Tahun 1948 membuat berdiri bulu roma tiap orang Indonesia yang menyaksikan rakyat sepanjang Yogya-Solo menyambut dan menghormati bendera PON yang dibawa dan diarak oleh ribuan pemuda dari Gedung Negara Jogja dikibarkan di Stadion Sriwedari Solo. Teriakkan ‘Hidup PON’ bersamaan dengan pekik ‘Merdeka atau Mati’.” 

Baca Juga: SUARA SETARA: Stereotipe Gender terhadap Perempuan dalam Cabang Olahraga Maskulin
CERITA ORANG BANDUNG #77: Megawati Claudia, dari Panggung Dangdut ke Lahan Parkir
Paus Fransiskus Mengingatkan Bahwa Kekayaan Alam Indonesia Milik Orang-orang Muda

Antara Olimpiade Paris 2024 dan Gemilang Mojang Tasikmalaya

Kontingen Indonesia baru saja mengikuti Olimpiade Paris 2024 dengan raihan 2 medali emas dan 1 medali perunggu. Indonesia berada di peringkat ke-39 klasemen dalam pentas olahraga dunia ini. Sekretariat Kabinet Republik Indonesia merilis, medali emas diraih atlet panjat tebing Veddriq Leonardo dan atlet angkat besi Rizki Juniasyah. Sementara medali perunggu diraih oleh Gregoria Marsika Tunjung pada pebulu tangkis tunggal putri.

Keberhasilan kontingen Indonesia disebut menyamai prestasi yang diraih pada 32 tahun silam di Olimpiade Barcelona 1992, yang meraih medali emas pada cabang olahraga bulu tangkis tunggal putra dan tunggal putri oleh Alan Budikusuma dan Susi Susanti.

“Adapun total medali yang berhasil diraih oleh Indonesia pada ajang olimpiade sejak keikutsertaan di Olimpiade Seoul 1988 adalah sebanyak 40 medali, dengan rincian 10 emas, 14 perak, dan 16 perunggu,” tulis Setkab, diakses Senin, 9 September 2024.

Nama atlet asal Tasikmalaya, Susi Susanti sulit dilepaskan dari sejarah gemilang olahraga Indonesia di panggung internasional. Kisah kehebatan Susi sendiri telah difilmkan dalam layar lebar berjudul Susi Susanti-Love All (2019).

Susi berlatih bulu tangkis dari sejak kecil. Air Mata Susi Susanti di Olimpiade Barcelona yang diterbitkan tahun 2021 oleh Tempopublsihing menuturkan, karier Susi awal dibentuk oleh ayah dan ibunya. Di usia 10 tahun, mojang Tasikmalaya ini dilatih oleh pamannya, Anton Purwosugiono di klub bulu tangkis Inti di Tasikmalaya. 

“Jika tidak berlatih, ia membantu ibunya membuat kue. Tak lama kemudian Susi menjadi juara bulu tangkis tingkat SD se-Priangan,” tulis Tempo.

Susi kemudian diminta berlatih di Jakarta untuk bergabung dengan klub Jaya Raya. Latihan ini membuahkan hasil: Susi direkrut sebagai atlet Pelatnas Pratama dan naik ke Pelatnas Utama.

Susi Susanti mengondol tiga gelar juara sekaligus pada kejuaraan Yunior Dunia Miantara 1987, menjuarai Indonesia Terbuka tahun 1989, dan menjadi perempuan pertama Indonesia yang menjuarai All England 1991.

Kemenangan tak selalu ia raih. Susi mengalami kekalahan di laga turnamen penting Kejuaraan Dunia 1991 di Kopenhagen, Denmark. “Ia dikalahkan Tang Jiuhong. Konon, karena Susi terlambat bangun sehingga kurang pemanasan. Dalam All England 1992 ia juga kalah sebelum mencapai final karena flu,” jelas Tempo.

Kekalahan tersebut terbayar sudah ketika ia meraih medali emas Olimpiade Barcelona. Susi dan Alan Budikusuma pun memperoleh bintang jasa utama yang diberikan Presiden Suharto pada 1992.

*Kawan-kawan yang baik, silakan membaca tulisan lain Muhammad Akmal Firmansyah atau artikel-artikel tentang Olahraga

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//