Berdiskusi Bersama Bilic, Mengukur Sejauh Mana Bandung sebagai Kota Inklusif bagi Kawan-kawan Difabel
Bilic terbentuk karena keprihatinan terhadap minimnya fasilitas di Kota Bandung untuk menunjang kawan-kawan difabel.
Penulis Yopi Muharam10 September 2024
BandungBergerak.id - Peran teman difabel dalam melakukan aktivitas keseharian acap kali dipandang sebelah mata. Semangat inklusi di berbagai sektor masih minim. Kawan-kawan difabel pun saat ini terus mendorong terwujudnya ruang-ruang yang ramah bagi kelompok rentan.
Melihat hal tersebut, Bandung Independet Living Center atau Bilic mengadakan diskusi publik bertajuk Peran Opdis mewujudkan Inklusif dan Filosofi Independent Living, di auditorium bawah Masjid Al Jabbar, Bandung, Sabtu, 7 September 2024. Kegiatan ini bertujuan untuk mendobrak stigma negatif yang menempel pada teman difabel.
Selain mengadakan diskusi publik, Bilic juga mengadakan sesi berwisata ke museum Rasulullah dan museum Al Jabbar. Dalam kegiatannya, Bilic mengundang berbagai yayasan, LSM, korporasi, kampus sampai pemerintahan seperti Dishub, Dinkes, hingga Disnaker
Direktur Bilic Zulhamka Julianto Kadir mengungkapkan, alasan diadakannya kegiatan Bilic di Masjid Al Jabbar ialah agar tercipta interaksi antara kawan difabel, masyarakat umum, dan pemerintahan sekitar. Bahkan, Bilic mengundang berbagai instansi untuk menciptakan ruang inklusi bagi semua pihak.
“Dengan tadi kita berwisata di Al Jabbar pun agar saling berinteraksi. Itu yang kita butuhkan. Jadi dengan kehadiran disabilitas tuh bisa terlihat secara nyata sosok (teman difabel) benar-benar ada,” ujar Anto, begitu ia akrab dipanggil.
Anto menjelaskan, cara pandang yang sering diterima kawan difabel adalah labeling diskriminasi. Hal tersebut berdampak menyempitnya ruang inklusi di ruang publik.
Selain labeling, dia juga menjabarkan empat ragam hambatan yang dialami oleh kawan difabel. Pertama, hambatan sikap/perilaku seperti; stigma, asumsi negatif, hingga stereotip. Kedua hambatan fisik/fasilitas publik seperti; transportasi yang tidak bisa diakses dan fasilitas sarpras tidak akesibel.
Ketiga hambatan komunikasi/informasi, seperti; kurangnya penerjemah bahasa isyarat, tidak adanya informasi audio visual, hingga kurangnya huruf braille. Terakhir, hambatan sistematis/regulasi, seperti; hukum, kebijakan dan praktik yang diskriminatif, kebijakan yang tidak dilaksanakan, hingga tidak ada anggaran khusus untuk disabilitas.
Dari keempat hambatan itu, Anto menegaskan bahwa penyandang disabilitas merupakan bagian dari keberagaman itu sendiri. Salah satu peserta diskusi, Rusdi sangat mengapresiasi dengan diadakannya diskusi yang mengundang para teman difabel.
Rusdi mengungkapkan dirinya senang bisa menjadi bagian dari Bilic, sebab hukum egaliter diterapkan di yayasan yang bergerak untuk menciptakan ruang inklusif bagi semua pihak. “Saya merasa bangga bergabung sama bilik, kanapa? Setiap acara bilik itu atau pelatihan selalu bermanfaat,” terang Rusdi.
Menuju Ruang Inklusi dan Mandiri
Minimnya ruang inklusi di Kota Bandung jadi cikal-bakal lahirnya Bilic. Banyak kesempatan yang harusnya didapatkan oleh kawan difabel terenggut begitu saja karena pelayanan kota tidak mudah diakses oleh mereka. Misalnya, infrastruktur penunjang yang menyebabkan terhambatnya kesempatan kawan difabel untuk tampil ke ruang publik.
Anto menjelaskan ada empat pilar menuju kota yang inklusi. Pertama adalah aksesibilitas, seperti; fasilitas untuk memudahkan bagi penyandang disabilitas yang mudah, berguna, selamat, dan mandiri. Kedua, desain universal, sebuah rancangan yang bisa digunakan untuk semua pihak tanpa perlu penyesuaian.
Ketiga, adalah bahasa inklusif artinya, menghargai martabat, tidak memberikan label, bicara langsung kepada penyandang disabilitas, dan bersikap wajar. Terakhir adalah akomodasi yang layak. “Penyesuaian yang sesuai kebutuhan penyandang disabilitas sebagai individu,” lanjut Anto.
Anto menjelaskan bahwa salah satu bangunan yang menunjang untuk teman difabel adalah di Al Jabbar. Di sana, sudah terdapat berbagai akses yang dapat dirasakan oleh teman difabel, seperti; guiding block, ramp, sampai toilet disabilitas. Kendati menurut Anto, infrastruktur seperti ramp belum memenuhi standar disabilitas.
Menurut Anto, standar pembuatan ramp untuk kursi roda memiliki standarnya memiliki kemiringan enam drajat. Anton melanjutkan, kemiringan kontur ramp yang curam malah dapat membahayakan pengguna kursi roda. Tidak adanya konsolidasi antara vendor dan teman difabel menyebabkan ramp tidak sesuai dengan standar.
Meski begitu, Anto mengapresiasi pemerintah karena telah menyediakan akses untuk difabel. Namun, Anto berharap ke depannya pemerintah atau vendor dapat melibatkan langsung teman difabel untuk menciptakan akses bagi penyandang disabilitas.
Baca Juga: Mendekatkan Kawan Difabel dan Thalasemia dengan Alam
House of Hope: Membangun Kemandirian para Difabel Berkebutuhan Khusus
SUARA SETARA: Pelaku Kekerasan Seksual pada Warga Difabel kerap Lolos, karena Kesaksian yang Kurang Valid atau Sistem Hukumnya tidak Inklusif?
Kini Bilic Berusia 21 Tahun
Tanggal 23 Agustus 2003 menjadi tahun paling krusial bagi kawan difabel. Yayasan bernama Bilic lahir untuk menyuarakan hak-hak difabel. Saat ini Bilic berusia 21 tahun. Sudah malang melintang, Bilic menjadi wadah edukasi untuk membersamai penyandang disabilitas. Mereka yang bergabung bersama Bilic tidak akan merasa dipandang sebelah mata.
Salah satu dari pendiri Bilic, Cucu Saidah menceritakan awal mula terbentuknya Bilic ialah karena keprihatinan melihat minimnya fasilitas Kota Bandung untuk menunjang teman difabel. Saat itu, tahun 2003, Cucu melihat Kota Bandung jauh dari kata kota yang aksesibel. Kendati saat ini pun Kota Bandung masih jauh untuk mencapai kota yang aksesibel.
Setidaknya, ujar Cucu, pemerintah Kota Bandung sudah menyediakan sejumlah fasilitas untuk menunjang penyandang disabilitas. Guiding blok dan ramp, misalnya. Sulitnya akses pendukung bagi penyandang disabilitas berdampak pada peran sosialnya.
Saat itu, penyandang disabilitas sering dijumpai sebagai pengemis. Bahkan, awak media pun sering memberitakan penyandang ke arah yang memprihatinkan. Hal tersebut berdampak pada stigma negatif yang menempel bagi penyandang disabilitas. Lebih parahnya, penyandang disabilitas dianggap aib, sehingga mengharuskan untuk berdiam diri di rumah saja.
“(Penyandang disabilitas) enggak dianggap sebagai orang. Karena dianggap menyusahkan dan merepotkan. Ya sudah, dibiarkan. Tapi sekarang, alhamdulillah, sudah mulai banyak kelihatan eksistensinya,” tutur Cucu.
Peran Bilic untuk mematahkan stigma negatif tersebut. Sudah banyak peran yang dilakukan Bilic untuk membuat penyandang disabilitas lebih percaya diri. Kini, sudah ada puluhan anggota yang bergabung dengan Bilic. Banyak dari anggota merasa tidak sendirian. Beberapa dari mereka terus menyalurkan kepercayaan diri ke sesama teman difabel.
Kepercayaan diri tersebut dirasakan oleh salah satu teman rungu asal Rancaekek, Andi. Saat sesi diskusi selesai, Andi maju ke depan untuk menampilkan bakatnya sebagai dancer. Dia melakukan breakdance di hadapan peserta lainnya dengan menggunakan lampu tumbler yang ditempelkan ke sekujur tubuhnya.
Saat musik dansa dilantunan, dia melakukan gerakan patah-patah mengikuti irama lagu. Penampilan sesimpel itu mampu membuat semua peserta terhibur. Sorakan dan tepuk tangan pun terus mengiringi Andi saat melakukan break dance.
Penampilan Andi adalah salah satu contoh kecil yang dilakukan Bilic untuk memberi ruang kepada teman difabel. Cucu menyebutkan dirinya bersama aktivis penyandang disabilitas bakal terus mengupayakan kota yang aksesibel dan inklusi. Setidaknya, kegiatan yang sering Bilic adakan adalah upaya kecil untuk mewujudkan itu semua.
“Yang penting intinya bagaimana kita menyebarkan, bagaimana kita mengajak lebih banyak lagi orang-orang, lebih banyak lagi penyandang disabilitas untuk bisa keluar dari rumah,” ujar Cucu, tegas. “Agar bisa mendapatkan kesempatannya, sehingga bisa lebih banyak lagi teman-teman di mana pun kita berada.”
*Kawan-kawan dapat membaca tulisan-tulisan lain Yopi Muharam atau artikel-artikel lain tentang tentang Kawan-kawan Difabel