Cerita Ibu di Bandung yang Hidup dengan HIV, Menanti Antiretroviral Ramah Anak
Herawati dan anaknya telah 17 tahun menjalani pengobatan HIV. Mereka menanti obat HIV khusus untuk anak.
Penulis Virliya Putricantika13 September 2024
BandungBergerak.id - “Jadi pada saat itu, setelah tahu anak itu (positif), yang ada di pikiran aku ya bukannya mikirin diri sendiri, tapi bagaimana caranya anak aku biar sembuh,” tutur Herawati, 40 tahun, menceritakan kembali hari ketika untuk pertama kalinya sang anak laki-laki didiagnosis HIV 17 tahun lalu.
Sebelum hari diagnosis itu, Herawati belum mengetahui status kesehatan dirinya maupun si sulung. Tidak ada secuil pun tanda mereka mengidap Human Immunodeficiency Virus (HIV).
Cerita dimulai pada tahun 2006 ketika kondisi kesehatan anak keduanya, seorang perempuan, menurun drastis hingga meninggal dunia. Setahun berselang, si sulung yang ketika itu baru berusia tiga tahun jatuh sakit. Ia mengalami gangguan pernapasan yang menyebabkan kondisinya terus anjlok.
Tak ingin kepergian sang putri terulang, Herawati segera memeriksakan putra sulungnya ke dokter. Di proses awal pemeriksaan, sang putra didiagnosis tuberkulosis. Namun setelah pemeriksaan itu, kondisi kesehatan si buah hati tak kunjung menunjukkan tanda-tanda membaik.
Herawati kemudian memutuskan untuk membawa sang anak ke Balai Besar Kesehatan Paru Masyarakat (BBKPM) Bandung. Tanpa ragu, dokter di BBKPM Bandung meminta Herawati dan anaknya untuk tes HIV. Hasilnya, keduanya dinyatakan positif HIV. Sejak itulah sang ibu dan anaknya menjalani pengobatan dengan mengonsumsi antiretroviral (ARV).
Selama 17 menjalani terapi, Herawati selalu dihinggapi rasa khawatir akan kesehatan sang anak. Pasalnya, sejak balita ia setiap hari terus mengonsumsi ARV dewasa karena belum ada obat khusus untuk anak. Dosisnya saja yang disesuaikan dengan berat badan anak.
Menjalani hidup yang tidak mudah, keluarga Herawati memperoleh dukungan dari Rumah Cemara, komunitas di Bandung yang bergerak di bidang pendampingan orang yang hidup dengan HIV. Dari komunitas yang saat ini bermarkas di kawasan Gegerkalong tersebut, dia mendapatkan kawan sejalan, lingkungan, dan edukasi.
Herawati lantas bergabung dengan Ikatan Perempuan Positif Indonesia (IPPI) Jawa Barat. Lingkungan yang suportif ini memberinya kekuatan sampai hari ini. Dia mampu mempertahankan kondisi tubuh yang relatif prima. Demikian juga sang anak.
“Aku pun ngeliat anak aku sendiri baik-baik aja. Dia enggak menjadikan (positif HIV) itu satu halangan buat dia melakukan hal-hal positif,” ungkap Herawati, ditemui Rabu, 7 Agustus 2024 lalu.
Mata perempuan itu berbinar ketika menceritakan beragam prestasi sang anak yang saat ini sudah duduk di perguruan tinggi dan akan mewakili Indonesia di kancah internasional. “Dan ternyata aku tuh punya anak yang luar biasa sekali!” ucap Herawati.
Terhambat Data Klinis
Herawati dan anaknya tidak sendirian. Di Indonesia, jumlah anak yang hidup dengan HIV bertambah 700 hingga 1.000 orang anak setiap tahunnya. Data United Nations Programme on HIV-AIDS (UNAIDS) menyebut pada tahun 2023 Indonesia memiliki 540.000 orang yang hidup dengan HIV (OHHIV), dengan 18.000 di antaranya adalah anak berusia 0-14 tahun.
Sementara itu, data Kementerian Kesehatan (Kemenkes) Indonesia menyajikan jumlah anak yang hidup dengan HIV pada tahun 2023 sebanyak 15.513 orang anak. Jumlah ini bertambah signifikan dibandingkan jumlah yang tercatat dalam kurun 2010 hingga September 2022 sebanyak 12.553 orang anak, dengan mayoritas berusia 0-14 tahun. Di Kota Bandung, pada tahun 2021 tercatat 78 orang anak dengan HIV (usia 0-19 tahun).
Ferry Norila, Koordinator Komunikasi, Kampanye, dan Advokasi Indonesia AIDS Coalition (IAC) menjelaskan, di Indonesia upaya penjangkauan terhadap perempuan dan anak dengan HIV masih minim. Kelompok populasi ini sering dianggap bukan merupakan demografi yang “paling berpengaruh”, mengingat jumlahnya yang tidak cukup besar. Program penjangkauan HIV di Indonesia, menurut Ferry, lebih fokus pada populasi kunci berisiko tinggi. Merujuk organisasi internasional yang berfokus HIV-AIDS, tuberkulosis,dan malaria, yang dimaksud dengan populasi kunci adalah kelompok populasi yang paling terdampak dan berisiko tinggi tertular HIV. Mereka adalah orang yang sama yang tidak memiliki akses ke pelayanan kesehatan.
Berdasar pada analisis temuan di lapangan, IAC menyebut tiga kendala utama program perempuan dari populasi umum dan anak dengan HIV. Pertama, keterbatasan tes layanan Early Infant Diagnosis (EID) yakni tes HIV yang diberikan kepada bayi umur 4-6 minggu. Kedua, keterpaksaan anak yang hidup dengan HIV (AHHIV) mengonsumsi ARV dewasa karena belum meratanya ARV ramah anak. Ketiga, belum fokusnya dukungan psiko-sosial dalam pendampingan perempuan dan anak yang hidup dengan HIV.
“Jadi, dari temuan di lapangan, anak-anak dengan HIV itu masih ada yang dikasih obat orang dewasa. Jadi tablet gitu ya, digerus, terus nanti dikasih sesuai dengan berat badannya,” tutur Ferry dalam pertemuan daring, Rabu, 14 Agustus 2024.
Dalam ilmu farmakologi, obat yang dibuat dalam bentuk tablet harus dikonsumsi secara utuh. Bila diminum dalam keadaan yang sudah dibagi dua atau bahkan digerus agar lebih mudah dikonsumsi untuk anak-anak, efektivitas obat tersebut dapat berkurang. Pola seperti ini tentunya mengubah cara kerja obat.
Saat ini IAC berupaya mendorong pengobatan yang lebih ramah untuk AHHIV. Karena obat ARV dewasa rasanya pahit dan sulit dikonsumsi oleh AHHIV, tidak jarang anak-anak memuntahkan obat yang diminumnya.
Namun, upaya menghadirkan obat HIV dosis anak menghadapi kendala dari perusahaan pemilik hak paten obat yang belum mendaftarkan data klinis. Akibatnya, perusahaan dalam negeri belum dapat memproduksi ARV khusus untuk AHHIV.
“Mereka (perusahaan obat lokal) mau memproduksi obat anak ini, tapi masalahnya untuk meregistrasikan obat itu, mereka harus melampirkan data klinisnya,” terang Ferry.
Baca Juga: Amerta dan Keluarganya
Kebijakan Tes HIV bagi Calon Pengantin di Bandung harus Adil
Jauhi Virusnya, Bukan Orangnya: Satu Langkah Memerangi HIV
Mengkhawatirkan Efek Samping
Di Kota Bandung, berdasarkan data Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular (P2PM) Dinas Kesehatan Kota Bandung per Agustus 2024, tercatat sebanyak 115 kasus baru pada anak di layanan HIV Kota Bandung. Namun angka tersebut didominasi oleh warga di luar domisili Kota Bandung, sedangkan warga Kota Kembang sendiri jumlahnya 40-50 persen.
Ketua Tim Kerja P2PM Agung menegaskan komitmen pemerintah melakukan penangan HIV termasuk pada anak melalui berbagai program meskipun ia mengakui bahwa sampai saat ini obat yang digunakan untuk AHHIV adalah ARV dewasa. Menurut Agung, di Kota Bandung sudah ada obat khusus untuk AHHIV, tetapi obat tersebut tidak diajukan oleh fasilitas pelayanan kesehatan Perawatan Dukungan Pengobatan HIV untuk anak karena khawatir terhadap efek sampingnya.
“Harapannya adalah obat (untuk AHHIV) dengan efek samping ringan lebih banyak pengadaannya,” kata Agung, Senin, 9 September 2024.
Upaya mendorong kehadiran obat HIV untuk anak, menurut Agung, perlu dibarengi dengan edukasi untuk menghilangkan stigma di tengah masyarakat, khususnya untuk mereka yang akan melakukan tes HIV. Di Kota Bandung, misalnya, sejak tahun 2020, telah digulirkan Program Pencegahan Penularan HIV dan Sifilis Ibu ke Anak (PPIA) yang diinisiasi Kementerian Kesehatan. Selain itu, pemerintah juga berkolaborasi dengan lembaga swadaya masyarakat yang mempunyai fokus sama. Program sosialisasi dan pencegahan HIV dari ibu ke anak juga dijalankan oleh puskesmas, fasilitas kesehatan, serta bidan.
*Cerita ini ditulis dan diproduksi sebagai bagian dari program pengembangan keterampilan media yang diselenggarakan oleh Thomson Reuters Foundation