Penyanyi Keroncong Sri Wahyuni dalam Bingkai Tragedi 1965
Tragedi 1965, peristiwa kelam di Indonesia, hadir dalam pertunjukan seni berjudul “Sri: Sebuah Biografi dalam 65 Kata”. Dipentaskan di Galeri Soemardja ITB.
Penulis Fitri Amanda 15 September 2024
BandungBergerak.id - “Sri, Sri Wahyuni, namaku, biduanita, ternama,” kalimat itu diucapkan berkali-kali secara bersamaan oleh para peserta yang berkumpul membentuk lingkaran besar di Galeri Soemardja, Institut Teknologi Bandung (ITB), Selasa pagi, 10 September 2024. Suara mereka bergema memenuhi ruangan, membangkitkan ingatan tentang Sri Wahyuni, penyanyi keroncong era 60-an dan penyintas tragedi 1965.
Kisah Sri Wahyuni dihidupkan melalui pertunjukan seni berjudul “Sri: Sebuah Biografi dalam 65 Kata”, dipandu Agung Kurniawan. Seniman kelahiran Jember ini memilih cara yang tak biasa dalam membawa cerita sosok Sri Wahyuni. Agung menghadirkan sebuah pengalaman yang melibatkan para peserta secara langsung dengan membekali peserta selembar kertas yang dihiasi satu kata dan gambar yang berbeda-beda.
Peserta kemudian diajarkan untuk mengikuti isyarat tangan, tinggi rendahnya tangan Agung akan menentukan nada dan intonasi ketika peserta membacakan kata yang mereka dapatkan. Penampilan ini membutuhkan 65 orang untuk mengetahui keseluruhan cerita sang biduanita eks-tapol (tahanan politik) 1965 tersebut. Namun pada pertunjukkan kali ini hanya terdapat 57 orang yang hadir. Sehingga, sebagian dari cerita mengenai Sri akan hilang. Bagi Agung hal itu tidak masalah, biarkan itu menjadi misteri hari itu.
Peserta satu per satu membacakan kata yang mereka dapatkan, kadang lantang, kadang lirih, mengikuti arahan dari sang seniman yang sudah menggeluti dunia seni selama kurang lebih 30 tahun itu. Terdapat kata-kata yang mungkin mencerminkan masa-masa Sri di peristiwa 65 seperti “Menyanyi”, “Dipukuli”, “Keji”, “Dijarah”, dan “PKI”. Agung merangkai potongan kisah hidup Sri Wahyuni melalui kata-kata yang ada dan membentuk sebuah narasi perjalanan hidup sang penyanyi lagu Rawapening tersebut.
Agung menjelaskan di tengah-tengah pertunjukan, bahwa kata-kata, jika berdiri sendiri, tak memiliki makna yang jelas. Hanya ketika dirangkai dengan kata-kata lain setelahnya, barulah mereka membentuk makna yang lebih dalam. Konsep inilah yang ingin ia sampaikan melalui penampilan Sri: Sebuah Biografi dalam 65 Kata.
Meski cerita hari itu tidak utuh, Sri Wahyuni tetap hidup dalam setiap kata yang diucapkan para peserta, penampilan ini tetap berjalan dengan sempurna selama kurang lebih 30 menit yang diakhiri dengan tepuk tangan meriah dari para 57 peserta yang hadir.
Pertunjukkan ini kemudian dilanjut dengan diskusi singkat mengenai perjalanan kreatif seniman pemenang penghargaan Philip Morris Art pada tahun 1996 itu. Agung menegaskan, kata-kata tidak boleh dibiarkan berdiri sendiri, karena penting untuk mengaitkannya dengan konteks dan kata-kata lain.
“Kata itu tidak pernah sesungguhnya otonom,” ucap Agung, menjelaskan pada saat dirinya ditanya alasan memutuskan membuat penampilan interaktif seperti Sri: Sebuah Biografi dalam 65 Kata.
Beberapa peserta mengungkapkan bahwa penampilan dan cerita ini merupakan hal yang baru bagi mereka. Salah satu peserta mengatakan bahwa awalnya ia masih menebak-nebak ke mana ia akan dibawa melalui cerita yang sudah dipersiapkan oleh Agung. Meskipun ia sudah tahu garis besarnya mengisahkan tentang tahun 65, namun seiring berjalannya penampilan, ia mulai merasakan emosi-emosi yang hadir melalui kepingan kata yang diucapkan oleh peserta lain.
Tanggapan lain juga diungkapkan oleh salah satu peserta lainnya, Lula, ia mengungkapkan bahwa penampilan seni ini memberikan pandangan pada dirinya ternyata seni memiliki pengaruh yang kuat hingga bisa membawakan cerita-cerita yang bisa hampir dilupakan oleh masyarakat hingga negara dan berharap cerita ini selalu dibawakan agar tidak terlupakan.
Baca Juga: Gen Z di Bandung Menyelami Sejarah Tragedi 1965 Melalui Nobar Film Eksil
Penyintas 1965: Bertahan Hidup dalam Ketersisihan dan Ketidakpastian
Kesaksian Martin Aleida atas Tragedi 1965 dalam Buku Tuhan Menangis, Terluka
Perjalanan Agung Kurniawan Bersama Biografi 65 Kata
Pertunjukan Sri: Sebuah Biografi dalam 65 Kata dibawakan kali pertama di Museum MACAN (Modern and Contemporary Art in Nusantara) di tahun 2017 dan telah mengunjungi berbagai kota, baik di Indonesia maupun luar negeri. Mulai dari Jakarta, Yogyakarta, Singapura, hingga Seoul, Korea Selatan, dan kini dibawakan di Bandung.
Sri: Sebuah Biografi dalam 65 Kata berangkat dari keterlibatannya dalam pembuatan album pertama Dialita yang merupakan kelompok paduan suara yang terdiri dari para penyintas peristiwa 1965. Kelompok Dialita melahirkan album “Dunia Milik Kita” pada tahun 2016.
Setelah proyek tersebut, Agung kemudian mengadakan penampilan-penampilan teater bersama perempuan-perempuan penyintas ’65. Di sinilah Agung menemukan salah satu penyintas yang kadang mengalami fase krisis mental yang membuat dirinya terkadang tidak membaca atau mengucapkan dialog secara utuh yang kemudian menjadi inspirasi Agung untuk membuat “Sri: Sebuah Biografi dalam 65 Kata”.
“Aku tidak mau... titik-titik, itu hilang. Kemudian setiap dialog yang berhubungan dengan ibu itu langsung hilang. Jadi penonton yang melihat ‘kok ada adegan yang gak lengkap?’ Ya karena memang gak lengkap, karena pesertanya gak cukup lengkap. Kalau seni modern mungkin bisa menggantinya dengan aktor lain, tapi di sini kami tidak menggantinya karena ini bagian dari proses yang harus kita hormati,” jelas Agung, sang seniman yang juga merupakan salah satu pemilik Kedai Kebun Forum (KKF) di Yogyakarta.
Setiap kali membawakan pertunjukan, Agung mendapatkan respons-respons penting dari pemain. Ia pernah menerima umpan dari seorang peserta di Jakarta, yang mengaku sebagai seorang cucu dari penyintas tragedi 1965 dan kebetulan neneknya memiliki nama yang sama dengan Sri. Bagi agung pengalaman ini menarik dan langka.
Ia juga pernah mendapatkan umpan balik yang sampai saat ini masih membekas di ingatannya. “Pernah juga saat itu ada seorang ibu-ibu, mengenakan blazer kemudian dia bilang ‘kenapa bu Sri gak mati aja?’ lalu dia pergi,” ucap Agung.
Salah satu tantangan terbesar dalam menyajikan penampilan ini adalah menghadapi penolakan dari venue. Proses ini melibatkan negosiasi yang intens dengan pihak-pihak yang akan terlibat dan Agung mengakui bahwa ia paham betul hal ini sudah menjadi konsekuensi dari memilih isu yang sensitif. Ia menyadari bahwa penolakan seperti ini adalah bagian dari realitas yang harus dihadapinya.
*Kawan-kawan dapat menikmati karya-karya lain Fitri Amanda, atau artikel-artikel lain tentang Tragedi 1965