MULUNG TANJUNG #3: Ciguriang, Kampung Dobi dalam Ingatan (1)
Kampung Ciguriang (kawasan GOR Pajajaran, Bandung) tahun 1980-an memiliki banyak tanah kosong. Ada beberapa sumur yang airnya banyak dan jernih.
Ernawatie Sutarna
Ibu rumah tangga, peminat sejarah, anggota sejumlah komunitas sejarah di Bandung.
15 September 2024
BandungBergerak.id - Mata air itu sekarang mengering. Bangunan-bangunan baru sudah bermunculan di sekitarnya. Keadaan di sana sudah jauh lebih bising, tapi mata air itu sunyi. Padahal banyak sejarah yang dia saksikan sejak zaman dulu; tentang satu bagian kecil perkembangan peradaban Kota Bandung.
Saya, akan mencoba membongkar memori yang terekam di kepala tentang tempat kelahiran saya, satu tempat yang dikenal sebagai Kampung Dobi, Babakan Bogor, Ciguriang, dan sekarang Kebonkawung.
Ciguriang, “Hidden Village” di Tengah Kota
Saya lahir dan dibesarkan di sini, di salah satu rumah di deretan bedeng yang terletak di sebuah kampung yang disebut Ciguriang. Saat saya kecil sekitar tahum 1980-an, masih banyak tanah kosong di sekitar rumah. Bahkan kakek saya – saya memanggilnya Abah – menanam banyak pohon buah-buahan, ada belimbing, jambu batu, pisang, sirsak, alpukat, petai cina, dan entah apalagi. Bahkan Abah memiliki satu kandang domba yang cukup besar diisi 6 ekor domba, dengan penampungan kotoran domba di belakangnya yang juga cukup besar, kurang lebih berukuran 3 x 1,5 meter.
Beberapa pohon besar tumbuh di sana, ada tiga pohon beringin, tiga pohon cerelet (ki Acret, tulip afrika, Spathodea campanulata), kelapa cina, dan dua pohon kawung. Bahkan menurut ibu saya, sempat tumbuh juga pohon huni. Banyak juga tanaman lain yang tumbuh di tanah kosong itu semacam dadap, jarak, hanjuang, suji, pandan, tebu, juga banyak pohon kelapa.
Terpisah oleh jalan setapak, di sana terdapat satu mata air berpagar bambu yang luasnya kurang lebih 20 meter persegi. Airnya sangat bening, ada satu tempat khusus berdinding anyaman bambu yang berisi empat buah pancuran dan empat batu datar berbentuk segi empat yang dijadikan alas mencuci.
Abah, yang juga seorang minatu, sering mencuci di sana. Ada banyak jenis cucian yang dikerjakan Abah, mulai dari baju, kemeja, jas, safari, juga handuk, seprai dan selimut. Saya, cucu kecilnya, termasuk yang sering mengintil Abah dan Ma Abah (nenek) untuk ikut bermain air dan menangkap ikan impun. Mata air itulah yang disebut Ciguriang.
Selain itu, ibu saya mengisahkan ada beberapa kolam yang ditanami ikan di bagian lain tanah kosong yang dulu merupakan tempat pembuangan pesawat terbang. Di antara kolam-kolam itu ada sebatang pohon kelapa doyong yang sering dijadikan tempat anak-anak, ibu saya, dan teman-temannya bermain bersama.
“Barudak teh sok hahaleuangan, tatarian dina palebah kalapa doyong, (Anak-anak suka bernyanyi-nyanyi dan menari-nari di sekitar kelapa doyong),” ujar Ambu, ibu saya, mengenang masa kecilnya.
Pohon kelapa yang tumbuh doyong (miring) itu menyerupai jembatan. Karena posisinya begitu, pohon kelapa itu menjadi tempat duduk yang nyaman bagi Ambu dan teman-temannya. Mereka bermain dan bercengkerama di sana, dengan jenis-jenis permainan khas anak desa yang belum tersentuh teknologi seperti saat ini. Kenangan masa remaja Ambu di tahun 1960-an itu masih sangat lekat di ingatannya.
Ketika saya kecil pohon kelapa doyong itu sudah tidak nampak, tapi saya masih menyaksikan beberapa pohon beringin yang tumbuh di antara mata air dan permakaman keluarga H. Mesri, dan satu lagi lebih ke barat, serta beberapa pohon cerelet, kawung, dan beberapa pohon kelapa.
Baca Juga: MULUNG TANJUNG #1: Senandung Kembang Liar di Bandung Baheula
MULUNG TANJUNG #2: Makna Mendalam dari Sebuah Lagu
Di lahan permakaman keluarga H. Mesri itu berdiri sebuah masjid kecil berdinding semi permanen, kami menyebutnya tajug. Tempat itu menjadi tempat salat fardu berjamaah, dan tarawih di bulan Ramadan, oleh warga sekitar. Saya sendiri sempat ikut belajar mengaji di sana bersama anak-anak lain. Dengan Quran tipis atau kami menyebut Quran kecil, kami mulai belajar mengeja a, ba, ta, sampai meningkat ke Quran besar. Belum ada metode iqra atau metode lainnya. Riuh suara anak kecil mengaji di sore hari, berganti nadoman dan sholawatan mereka yang lebih dewasa pada saat menjelang maghrib.
Tajuk itu sekarang dipindahkan ke lokasi bersebelahan dengan mata air di lahan yang lebih rendah dari permakaman, bersisian dengan sebuah sumur dan pemandian umum. Bergerak ke arah timur mata air ada sebuah lapangan bulu tangkis tanah, lapangan itu memiliki garis-garis batas lapangan yang menggunakan bilah bambu yang dipaku ke tanah; ada pula bangku-bangku tempat duduk penonton yang juga terbuat dari bambu.
Di kampung itu ada beberapa sumur yang airnya banyak dan jernih. Saat itu kami hampir tidak pernah kekurangan air bersih. Sumur-sumur dan mata air Ciguriang memenuhi kebutuhan air minum, mandi, mencuci sebagian besar warga di sana. Bergerak lagi ke arah utara perkampungan, tepatnya sebelah utara makam keluarga Haji Mesri, adalah GOR Pajajaran, waktu kecil saya mengenal tempat itu dengan nama Kerkop, yang baru saya tahu artinya setelah saya dewasa bahwa Kerkop itu berasal dari bahasa Belanda, kerkhof, artinya permakaman.
Saya masih sangat ingat bermain di GOR Pajajaran yang belum selesai pembangunannya dengan menerobos benteng yang bolong di sudut lapangan voli, yang dulu kami sebut pabrik kapas. Tentang pabrik kapas ini, sepertinya saya perlu mencari informasi lagi dari para sepuh.
GOR Pajajaran waktu itu masih berantakan, masih menyisakan lahan-lahan dengan rumput tebal. Waktu itu saya ikut bermain mengikuti Ma Abah, nenek saya yang ngarit, menyabit rumput untuk pakan domba-domba kepunyaan Abah. Saya sering berlari-lari di antara rumput ditemani si Boni, anjing peliharaan keluarga. Dalam bayangan saya waktu itu saya adalah Laura Ingalls yang berlari-lari di padang rumput ditemani anjingnya, seperti penutup film Little House on the Prairie yang saya tonton setiap hari Minggu siang di televisi tua.
Di sekitar kampung kami banyak nama-nama jalan yang berasal dari nama-nama orang seperti Haji Mesri, Haji Iskat, Haji Marjuk, Yakin, Rais, Haji Moh. Yunus, Siti Salsah, Haji Akbar, dll. Akses ke jalan raya sangat mudah. Lokasi kampung Ciguriang itu ada di antara jalan Kebonkawung, Cicendo, Pajajaran, dan Pasirkaliki. Ya, kami ada di tengah-tengah kota, tapi sampai tahun 1990an lokasi ini masih lekat sekali dengan suasana kampung, baik secara fisik juga kehidupan sosialnya. Kampung ini masih lekat di ingatan saya, walaupun saya sekarang tidak tinggal lagi di Ciguriang. Pada tulisan yang akan datang, saya akan bercerita tentang kampung Dobi dan kisah lain di sana.
*Kawan-kawan yang baik, silakan menengok tulisan-tulisan lain Ernawatie Sutarna atau artikel-artikel lain tentang Sejarah Bandung