MULUNG TANJUNG #2: Makna Mendalam dari Sebuah Lagu
Lagu Kembang Tanjung Panineungan karya Mang Koko dan Wahyu Wibisana memiliki latar belakang perang saudara ketika Republik belum tegak berdiri.
Ernawatie Sutarna
Ibu rumah tangga, peminat sejarah, anggota sejumlah komunitas sejarah di Bandung.
8 September 2024
BandungBergerak.id - Ketika menulis tentang mulung tanjung pada tulisan sebelumnya, saya sempat berbincang dengan Ua Us Tiarsa, lalu beliau menyarankan saya untuk mendengarkan dan menyimak sebuah kawih Sunda yang berjudul Kembang Tanjung Panineungan karya seniman Sunda Mang Koko dan Wahyu Wibisana.
Ternyata lagu itu mempunyai makna yang sangat dalam dan juga mengharukan. Syair yang ditulis Wahyu Wibisana itu menceritakan tentang seorang istri yang ditinggalkan suaminya bertugas. Lagu ini berlatar peristiwa operasi penumpasan pemberontakan DI/TII di Jawa Barat. Operasi itu dinamakan Pagar Betis, singkatan dari Pasukan Garnisun Berantas Tentara Islam yang melibatkan ratusan ribu rakyat untuk mengepung tempat-tempat persembunyian anggota DI/TII.
Pemberontakan DI/TII dipimpin Kartosuwiryo yang tidak sejalan dengan keputusan-keputusan pemimpin Republik. Operasi Pagar Betis yang dicetuskan A.H. Nasution juga bermakna merapatkan barisan antara tentara dan rakyat yang bertujuan untuk mempersempit ruang gerak kaum “gerombolan”. Operasi militer ini berlangsung dalam waktu panjang antara tahun 1950 sampai tahun 1962. Hal ini karena keadaan geografis Jawa Barat yang mempunyai banyak hutan dan gunung yang membuat kaum pemberontak sangat sulit ditemukan persembunyiannya.
“Kajadian ngepung gunung atawa pager betis teh (nepi ka) taun 1962. Kartosuwiryo katewak di Majalaya. Lagu Kembang Tanjung Paninineungan teh ngagambarkeun rayat di Jawa Barat samiuk milu pager bitis. Harita Panglima Siliwangina Ibrahim Adjie (Kejadian mengepung gunung atau pagar betis itu (sampai) 1962, Kartosuwiryo tertangkap di Majalaya. Lagu Kembang Tanjung Panineungan itu menggambarkan rakyat di Jawa Barat yang turut serta (dalam operasi) pagar betis. Saat itu Panglima Siliwangi adalah Ibrahim Adjie,” begitu penuturan Us tiarsa.
Akhirnya memang operasi pagar betis itu berakhir setelah Kartosuwiryo berhasil ditangkap pada tanggal 4 Juni 1962 di Gunung Geber Majalaya oleh Letnan Suhanda, pemimpin Kompi C Batalyon Kujang II/ Siliwangi.
Berikut lirik kawih Kembang Tanjung Panineungan yang dimaksud.
Anaking jimat awaking
Basa ema mulung tanjung rebun-rebun di pakarangan nu reumis kénéh
Harita keur kakandungan ku hidep
Geus opat taun ka tukang
Ema nyipta mulung béntang
Nu marurag peuting tadi
Béntang seungit ditiiran pangangguran
Anaking jimat awaking
Basa ema mulung tanjung reujeung hidep
Bet henteu sangka, aya nu datang
Ti gunung, rék ngabéjakeun bapa hidep
Nu opat poé teu mulang ngepung gunung pager bitis
Cenah tiwas peuting tadi
Layonna keur ka dieukeun, dipulangkeun
Harita waktu layonna geus datang
Ema ceurik ieuh balilihan
Ras ka hidep ieuh na kandungan
Utun inji budak yatim, deudeuh teuing
Harita waktu layon geus digotong
Ema inget ieuh kana tanjung
Dikalungkeun na pasaran
Kembang asih panganggeusan ieuh ti duaan
Anaking jimat awaking
Lamun ema mulung tanjung reujeung hidep
Kasuat-suat nya pipikiran
Tapina kedalna ngan ku hariring
Hariring éling ku éling
Kana tanjung nu dipulung
Éh kembang tanjung
Nu nyeungitan pakarangan
Nu nyeungitan haté urang,
Panineungan
Baca Juga: MULUNG TANJUNG #1: Senandung Kembang Liar di Bandung Baheula
Berretty, Si Pendiri Kantor Berita Aneta dan Petualangan Cintanya
Cinta dan Harapan Us Tiarsa pada Jurnalisme dan Budaya
Arti lagu itu kurang lebih seperti ini:
Anakku belahan jiwaku
Waktu ibu memunguti kembang tanjung
Masih pagi sekali di halaman yang masih basah embun / sisa hujan
Saat itu ibu sedang mengandungmu
Sudah empat tahun berlalu
Ibu membayangkan memunguti bintang
Yang berjatuhan malam tadi
Bintang yang wangi iseng dironce
Anakku belahan jiwaku
Saat ibu memunguti bunga tanjung bersamamu
Tak disangka ada yang datang
Dari gunung, memberitahukan (bahwa) ayahmu
Yang sudah empat hari tidak pulang
Mengepung gunung, pagar betis Katanya gugur tadi malam
Jenazahnya sedang menuju kemari
Dipulangkan
Saat itu ketika jenazahnya sudah datang
Ibu menangis karena sakit hati yang dalam
Teringat kamu dalam kandungan
Janin anak yatim, sungguh kasihan
Saat itu ketika jenazah sudah digotong
Ibu teringat pada kembang tanjung
Dikalungkan pada keranda
Kembang kasih yang terakhir dari kita berdua
Anakku belahan jiwaku
Jika ibu sedang memunguti bunga tanjung bersamamu
Terasa sakit kembali pada ingatan
Tapi hanya terungkap lewat senandung
Senandung pengingat
Pada kembang tanjung yang dipungut
Eh kembang tanjung
Yang mengharumkan halaman
Yang mengharumkan hati kita,
(sebuah) Kenangan
Sebuah kisah yang mungkin terjadi pada banyak keluarga waktu itu, ketika kaum laki-laki, suami atau ayah mereka, baik sebagai tentara ataupun sebagai rakyat biasa, turut serta dalam perjuangan menjaga Indonesia sebagai satu negara merdeka yang utuh. Ada dua hal yang mungkin terjadi, pulang membawa keberhasilan atau pulang berupa jenazah.
Pada masa itu masyarakat dicekam rasa ketakutan setiap harinya. Saat sore menjelang, semua warga akan menuju tempat pengungsian. Setiap malam menjadi waktu yang tidak menenangkan. Waktu istirahat mereka dibayangi munculnya gerombolan yang mendatangi kampung. Ada kebiasaan warga sebelum meninggalkan rumah menuju pengungsian, mereka meninggalkan bakul berisi makanan untuk dibawa para anggota gerombolan. Hal ini bukan berarti mereka menyetujui dan mendukung apa yang dilakukan para pemberontak itu, tapi semata-mata sebagai cara agar rumah mereka selamat dari perusakan atau pembakaran.
Lalu dari mana warga mendapatkan beras dan bahan makanan yang dimasak sebagai “jatah” gerombolan itu?
Ternyata warga mendapatkannya dari balai desa, sebagai upaya mereka untuk menjaga keselamatan warga dan harta bendanya. Karena tak jarang para anggota gerombolan menyiksa warga yang terlambat dengan tendangan dan pukulan atau bahkan tidak menyiapkan makanan yang mereka butuhkan.
Dan lagu Kembang Tanjung Panineungan karya Mang Koko dan Wahyu Wibisana ini sangat mewakili keadaan dan suasana hati keluarga pejuang dan rakyat yang turut berjuang pada peristiwa Pagar Betis puluhan tahun silam.
*Kawan-kawan yang baik, silakan menengok tulisan-tulisan lain Ernawatie Sutarna atau artikel-artikel lain tentang Sejarah Bandung