MEMOAR BUKU #7: Memanen Kenangan Cihampelas dalam Sebuah Buku yang Tidak Diperdagangkan
Kawasan Cihampelas berubah dari bekas hunian Eropa di era kolonial menjadi pusat komersial hingga hari ini. Riset tentangnya termuat dalam buku terbitan Depdikbud.
Indra Prayana
Pegiat buku dan surat kabar
17 September 2024
BandungBergerak - Bandung merupakan salah satu kota di Indonesia yang mungkin paling banyak ditulis atau didokumentasikan ke dalam berbagai bentuk media, baik cetak maupun non-cetak. Entah sudah terbit berapa ratus judul buku yang membahas Bandung. Di perpustakaan penulis, buku paling tua yang membahas Bandung adalah Reizon van Java karya Fredereich Gestrucker, seorang petualang Jerman, yang diterbitkan di Stuttgart pada 1854. Buku ini memuat 13 bab dengan 3 di antaranya memuat irisan dengan Bandung, yakni Bab 4 Bandong Und Die Theeplantage (Bandung dan Perkebunan Teh), Bab 6 Die Kaffeeplantage un der Krater Tacuban Prau (Perkebunan Kopi dan Kawah Tangkuban Prahu, serta Bab 7 Die Rhinocerosjagd (Perburuan Badak). Tentu ada buku-buku tentang Bandung yang berusia jauh lebih tua dari buku Gestrucker ini.
Selain berlimpah jumlahnya, buku yang bertema Bandung tidak jarang mempunyai nilai jual yang sangat tinggi. Penulis pernah melihat sebuah unggahan di salah satu lapak online yang menjual buku tentang Bandung dan laku dengan harga di atas 3 juta rupiah. Demikianlah kota ini tidak hanya mempunyai nilai estetis dan romantis, tetapi juga fantastis dari sisi komersial.
Namun, meskipun jumlah buku tentang Bandung relatif banyak, ada saja tema yang masih jarang diangkat. Salah satunya, pembahasan spesifik tentang wilayah-wilayah di Kota Bandung yang tentu masing-masing kaya dengan cerita.
Tentang buku jenis ini, pernah penulis memperoleh sebuah buku yang tidak diperjualbelikan karena diterbitkan oleh pemerintah, tentang Bandung. Judulnya Cihampelas: Suatu Sosok Kawasan Tinggal dan Usaha. Setebal 108 halaman, buku ini merupakan hasil penelitian ilmiah yang dilakukan sebuah tim terdiri dari Dra. Ria Intani, Drs. Adeng, Drs. Endang Nurhuda, Dra. Nina Merlina, Dra. Lina Herlinawati, dan Drs. Yudi Putu Satriadi, sebagai pelaksana Proyek Pengkajian dan Pembinaan Nilai-Nilai Jawa Barat, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (Depdikbud) 1996. Pada bagian atas buku terdapat tulisan 'Milik Depdikbud Tidak Diperdagangkan'. Saya mendapatkan buku proyek ini dari salah seorang pedagang buku palasari yang mendapatkan ‘bocoran’ ketika perpustakaan pribadi Prof. Dr. Doddy Tisna Amidjaja memindahkan koleksi buku-bukunya ke kampus ITB. Di dalamnya, terdapat stempel perpuspustakaan mantan rektor ITB itu.
Dari Hunian Eropa ke Kawasan Komersial
Secara administratif, Cihampelas berada pada dua kelurahan. Sebelah kanan masuk kelurahan Cipaganti dengan jumlah penduduk pada saat itu sebanyak 12.695 jiwa, sedangkan sebelah kiri masuk ke kelurahan Tamansari yang tercatat dihuni sekitar 28.984 Jiwa.
Sebenarnya sejak dulu Cihampelas dirancang sebagai daerah hunian atau tempat tinggal yang asri, indah dan sejuk. Hal ini tak lepas dari konsep pembangunan pemerintah kolonial yang mengklasifikasikan daerah-daerah di Bandung untuk berbagai kelompok masyarakat. Warga keturunan Tionghoa ditempatkan di sekitar Pasar Baru atau Pecinan, keturunan Arab ditempatkan disekitar Alkateri, Pribumi diposisikan di Bandung Selatan, sedangkan keturunan Eropa dan Barat lainnya tinggal di wilayah Bandung utara atau lebih dikenal sebagai Westernsche Enclave yang membentang dari jalur kereta api sampai Lembang. Cihampelas, yang dulu bernama Lembangweg, termasuk dalam kategori terakhir ini.
Toponimi atau asal-usul nama Cihampelas sendiri tidak bisa dipastikan. Namun banyak orang berkeyakinan nama tersebut diambil dari cerita-cerita masyarakat setempat. Dalam buku Jendela Bandung (2008) karya Her Suganda, disebut bahwa penamaan jalan Cihampelas bermula dari banyaknya pohon hampelas di kawasan tersebut. Nama pohon yang banyak tumbuh di tempat yang memiliki sumber mata air ini sendiri konon disematkan karena salah satu sisi daunnya yang sangat kasar menyerupai kertas hampelas yang biasa dipakai untuk memperhalus permukaan kayu dan benda keras lain.
Pada tahun 1898, air yang melimpah di kawasan Cihampelas dijadikan kolam renang bernama Europa Zwembad, yang kemudian berganti nama menjadi kolam renang Cihampelas. Nama Jalan Cihampelas sendiri tercatat pernah diganti dengan nama salah satu pejuang kemerdekaan dari Aceh. Namun sepertinya masyarakat lebih senang menggunakan nama Cihampelas hingga sekarang.
Penduduk sekitar Cihampelas tempo dulu sebenarnya tidak hanya memilih kolam renang Cihampelas sebagai tempat rekreasi dan hiburan. Ada juga Situ Garunggang milik seorang partikulir Haji Sabandi yang terletak di jalan Pelesiran. Pada masa itu, orang bisa naik perahu salimar dengan ongkos 25 sen selama satu jam. Keberadaan rekreasi naik perahu inilah yang menjadi awal penamaan Jalan Pelesiran (pelesir atau pelesiran berarti piknik).
Beberapa ratus meter dari Jalan Pelesiran, ada Cimaung yang berupa pesawahan yang dulu konon dihuni seekor harimau (maung dalam bahasa Sunda berarti harimau) yang tinggal di sebuah gua.
Tak jauh dari sana, ada Gang Bongkaran. Kawasan ini bermula dari keresahan pemerintah kolonial Belanda atas semakin banyak dan semerawutnya permukiman warga pribumi. Padahal, daerah tersebut awalnya diproyeksikan sebagai tempat tinggal yang nyaman bagi orang Eropa dan Barat. Pemerintah kolonial lantas menimbun atau mengurug aliran sungai Cikapundung dengan batu-batuan hasil bongkaran dari tanah yang agak tinggi di sekitarnya. Setelah sebagian tanah baru terbangun, pemerintah menempatkan warga pribumi di situ.
Sejak kecil saya tinggal di Gang Bongkaran RT 01/RW 15 yang merupakan salah satu wilayah terpadat di kelurahan Tamansari. Kakek dari pihak ibu sudah menetap di sana sejak awal 1960-an. Berasal dari Tasikmalaya, dia merantau ke Bandung dan menetap di rumah petak pinggir sawah Bongkaran sambil bertahan hidup sebagai penjual sayur keliling.
Saat itu Gang Bongkaran masih berupa empang dan persawahan yang membentang ke arah Tamansari. Lahan pesawahan itu hanya dimiliki oleh beberapa orang saja. Salah satunya, seorang menak Jawa yang sering dipanggil Tuan Guru oleh penduduk setempat. Setiap orang yang menempati lahannya harus setor uang setiap bulan kepadanya, termasuk kakek saya.
Memasuki dekade 1980-an, perubahan sosial banyak terjadi di wilayah Cihampelas. Tanah dan rumah yang semula difungsikan hanya sebagai hunian, mulai berpindah kepemilikan dan kemudian dijadikan pertokoan.
Alih fungsi lahan semakin banyak ketika pada tahun 1987 Cihampelas ditetapkan menjadi pusat produksi celana dengan bahan dasar jeans, sebuah merek dagang yang berasal dari luar negeri. Dalam sejarahnya, jeans merupakan celana panjang dari bahan denim yang dibuat pertama kali oleh seorang imigran Jerman yang menetap di Amerika bernama Levis Strauss pada tahun 1950. Dibuat awalnya untuk para penggali tambang dan pekerja kasar lainnya mengingat bahannya yang tidak mudah sobek, dalam pengembangan inovasinya celana jeans populer dipakai oleh berbagai kalangan.
Sebelumnya, toko-toko celana jeans berada di Jalan Pajajaran. Namun karena tempatnya kurang strategis dan representatif, mereka dipindahkan ke Jalan Cihampelas. Toko pertama yang berada di kawasan Cihampelas bernama IBC Jeans. Toko-toko lain segera menyusul.
Penetapan Cihampelas sebagai sentra pakaian jeans berimbas pada pertumbuhan ekonomi warga sekitar. Tidak sedikit dari mereka menjual atau menyewakan lahan untuk dijadikan ladang usaha, seperti jasa menjahit, jual assesoris, kuliner, dan lainnya. Saya sendiri pernah berjualan minuman teh botol di depan toko IBC pada awal 1990-an. Selain itu, pada musim hujan, anak-anak di Cihampelas bisa meraup uang dengan menyewakan jasa payung kepada para pengunjung toko.
Perubahan kawasan Cihampelas dari kawasan tempat tinggal menjadi kawasan usaha pertokoan tentu mengundang pendapat warga, baik positif maupun negatif. Dari hasil penelitian yang termuat dalam buku Cihampelas: Suatu Sosok Kawasan Tinggal dan Usaha ini, setidaknya ada empat hal yang manjadi catatan, yakni: "Pertama, perubahan perilaku, jalan-jalan sore dan nongkrong-nongkrong menjadi kebiasaan masyarakat setempat, kedua, mobilitas penduduk, yakni ada kenaikan jumlah manusia yang datang dan pergi ke/dari Cihampelas, ketiga, kebisingan dan kemacetan lalu lintas, serta keempat tumbuhnya gejala premanisme" (Hal. 100).
Baca Juga: MEMOAR BUKU #6: Membaca Sarekat Islam, Di Bawah Lentera Merah Karya Soe Hok Gie
MEMOAR BUKU #5: Membaca Dua Buku Pledoi Mahasiswa di Masa Orde Baru
Pertautan Hingga Hari Ini
Membaca buku Cihampelas: Suatu Sosok Kawasan Tinggal dan Usaha mengembalikan kenangan saya tentang waktu hampir seperempat abad tinggal di kawasan Cihampelas sebelum hijrah ke Antapani. Setiap sudut dan tempat yang pernah bersentuhan dengan masa kecil dan remaja saya, hadir kembali. Dengan jelas saya bisa menggambarkan setiap bahasan dalam buku yang terdiri dari enam bab ini. Mulai pemandian Tjihampelas, Masjid kuno Mungsolkanas, rumah antik depan SMAN 2, hingga era kejayaan toko Jeans yang terasa begitu dekat. Apalagi di Bab 4, ada pendapat masyarakat yang mencakup kesakian ketua RT 01 Bongkaran, tempat saya tumbuh, sebagai salah satu informannya.
Pertautan saya dengan Cihampelas ternyata tidak berhenti di masa kecil dan remaja. Sampai sekarang saya masih bertaut dengan kawasan ini karena aktivitas keseharian saya di sebuah lembaga pendidikan yang ada di sini. Cihampelas hari ini tidak hanya menjadi destinasi wisata, yang mewarisi kejayaan sebagai sentra pakaian berbahan jeans, tetapi juga kawasan pendidikan dengan relatif banyak lembaga pendidikan dari tingkat dasar hingga perguruan tinggi.
Buku Cihampelas: Suatu Sosok Kawasan Tinggal dan Usaha tergolong ke dalam buku agak langka agak langka yang mengupas secara tematis satu wilayah spefisifk di Kota Bandung. Beberapa judul yang lain, yang terbit dalam beberapa tahun belakangan, di antaranya Tjiumbuleuit karya Masrierie dan Oh Ledeng, Oh Bandung karya Adew Habsta.
*Kawan-kawan dapat membaca tulisan-tulisan lain Indra Prayana, atau artikel-artikel lain tentang Buku