MEMOAR BUKU #5: Membaca Dua Buku Pledoi Mahasiswa di Masa Orde Baru
Buku Indonesia di Bawah Sepatu Lars mengkritik Orde Baru yang terpusat, sementara buku Mendobrak… Belenggu Penindasan Rakyat Indonesia mengkritik militerisme.
Indra Prayana
Pegiat buku dan surat kabar
2 September 2024
BandungBergerak.id - Setiap peristiwa besar yang menggoreskan sejarah tidak pernah lepas dari peran pemuda yang menjadi tulang punggungnya. Dalam perjalanan sejarah, kita mengenal Angkatan 45 yang berjuang dalam revolusi fisik mengusir kolonialisme dan berhasil memproklamasikan Indonesia sebagai sebuah negara merdeka. Lalu kita juga mengenal Angkatan 66, terdiri dari berbagai elemen pemuda dan mahasiswa, yang berhasil menurunkan kekuasaan Soekarno dan membubarkan PKI. Tiga dasawarsa kemudian, lahir Angkatan 98 yang berhasil menggulingkan pemerintahan Soeharto dengan gerakan reformasinya.
Sejatinya upaya perlawanan terhadap pemerintahan Orde Baru sudah tertanam jauh sebelum 1998. Di tahun 1977 dan 1978 sudah terbangun sebuah gerakan bersama di antara simpul-simpul mahasiswa yang menginginkan perubahan meski isunya tidak meluas secara massif. Salah satu isu yang dibawa oleh mahasiswa angkatan tersebut sangatlah sensitif, yakni penolakan pencalonan kembali Soeharto sebagai presiden. Memiliki cengkeraman kekuasaan yang sudah terkonsolidasi dengan kuat, pemerintah dengan mudah menghalaunya. Hampir semua gerakan mahasiswa saat itu dipukul dan tokoh-tokohnya ditangkap, diadili dan dipenjarakan.
Selama proses peradilan, mahasiswa selalu membuat catatan perlawanan terhadap jalannya sidang dengan menyampaikan apa yang menjadi haknya sebagai terdakwa berupa pledoi atau nota pembelaan. Meskipun para mahasiswa pada dasarnya meragukan adanya rasa keadilan di dalam persidangan, proses peradilan tetap berjalan dan mereka (mahasiswa) harus mengikutinya. Pledoi digunakan oleh terdakwa untuk membantah semua tuduhan yang dijatuhkan kepadanya.
Istilah pledoi sendiri sudah ada sejak zaman Yunani kuno ketika filsuf Socrates dituduh telah meracuni pola pikir anak muda untuk tidak mengakui produk-produk negara saat itu. Atas keputusan pengadilan, Socrates dijatuhi hukuman mati. Diancam dengan tuntutan maksimal seperti itu, Socrates menyampaikan pledoinya yang diberi judul Apologia. Pembelaan itu ditulis dan disebarkan oleh seorang muridnya, Plato.
Tak berbeda dengan itu, aktivis mahasiswa 77/78 yang diadili juga menuliskan pledoinya. Sukmadji Indro Tjahjono menulis Indonesia Di Bawah Sepatu Lars, sementara Heri Akhmadi menulis Mendobrak... Belenggu Penindasan Rakyat Indonesia.
Saya pertamakali mendapatkan dua buku tersebut ketika bertugas meliput peringatan Hari Lahir Pancasila di Gedung Merdeka Bandung pada 1 Juni 2002. Tak jauh dari tempat acara , saya mampir terlebih dulu ke lapak buku yang ada di pelataran kompleks PLN. Ada sekitar 10 sampai 15 pelapak yang berjualan di sana, umumnya berjualan majalah-majalah bekas. Hanya beberapa pedagang menjual buku, salah satunya Pak Makmur.
Dengan seksama saya memeriksa tumpukan buku yang dipajang. Setiap buku tak luput dari penglihatan, dengan judul-judulnya yang jelas terbaca. Pada tumpukan kedua dari ujung, saya melihat judul buku tertulis “ Indonesia” dengan warna merah, “Di Bawah Sepatu Lars” dengan huruf lebih kecil berwarna hitam. Saya kemudian mengambil satu lagi buku: Medobrak... Belenggu Penindasan Rakyat Indonesia. Hari itu hanya dua buku yang dibeli dari lapak pak Makmur. Tentu dengan harga langganan karena memang hampir sepekan sekali saya mampir ke lapak buku PLN.
Dua buku yang baru saya dapatkan itu merupakan buku pledoi atau pembelaan aktivis mahasiswa pada era 1977 /1978, yang dibacakan di Pengadilan Mahasiswa Bandung. Ditulis oleh Sukmadji Indro Tjahjono sebagai Care Taker Presidium DM-ITB dan Heri Akhmadi sebagai Ketua Umum DM-ITB yang terpilih secara demokratis dalam proses pemilu yang diselenggarakan oleh Keluarga Mahasiswa ITB pada bulan November 1977. Serangkaian tuduhan yang dialamatkan kepadanya berupa pasal-pasal penghinaan kepala negara dan penghinaan terhadap lembaga-lembaga negara lainnya. Untuk semua tuntutan itu, Heri Akhmadi diancam hukuman 9 tahun penjara.
Mengkritik Pemerintah dan Militer
Nota pembelaan Heri Akhmadi dibacakan pada tanggal 7-9 Juni 1979 , lalu diedarkan dalam bentuk buku dengan ketebalan 200 halaman dan dihiasi berbagai sketsa serta gambar-gambar karikatur yang kritis. Buku berjilid sampul hitam putih bergambar karikatur Jenderal Soeharto yang sedang memegang senjata dan mahkota ini diterbitkan oleh Komite Pembela Mahasiswa. Sedangkan kata pengantar ditulis oleh Adnan Buyung Nasution sebagai advokat mahasiswa. Halaman awal buku dibuka dengan kutipan yang tertulis sebagai berikut:
“Tangan digerakan mengolah Kenyataan, Tangan digerakan mengejar Impian
Tangan dikepalkan Menjaga Kehidupan, Tangan dikepalkan Melawan Penindasan”.
Baca Juga: MEMOAR BUKU #2: Membeli Buku Pertama, Bendera Sudah Saya Kibarkan
MEMOAR BUKU #3: Pengalaman Menemukan Buku yang Dilarang di Masa Orde Baru
MEMOAR BUKU #4: Menimbang Buku Pergolakan Pemikiran Islam, Sebuah Catatan Harian
Masalah utama yang dibeberkan dalam buku Mendobrak... Belenggu Penindasan Rakyat adalah terjadinya pemusatan kekuasaan yang berlebihan di tangan Soeharto. Pola kepemimpinan nasional yang memusatkan seluruh kekuasaan di tangannya telah melumpuhkan kekuatan-kekuatan politik lainnya yang konstitusional. Yang juga dikritik adalah strategi pembangunan yang mengejar pertumbuhan ekonomi tetapi menjadi lupa segala-galanya di luar hal tersebut. Lupa prinsip keadilan sosial, lupa prinsip ketertiban nasional, harga diri , budaya nasional, dan sebagainya (Hal. 48). Kegelisahan itulah yang mendorong DM ITB mengeluarkan pernyataan sikap pada tanggal 14 Januari 1978 yang isinya: “Tidak Mempercayai dan Tidak Menginginkan Soeharto, Kembali Sebagai Presiden Presiden republik Indonesia”.
Sementara itu, buku Indonesia Di Bawah Sepatu Lars lebih banyak menyoroti peran dan fungsi militer dalam sejarah perjalanan Indonesia sebagai suatu bangsa. Pledoi ini dibacakan dalam rangkaian sidang pengadilan mahasiswa di bulan bulan Agustus-September 1979, setelah penulisnya dituntut 6 tahun penjara. Buku dengan tebal 260 halaman ini mengkritik multiperan yang dimainkan oleh militer di Indonesia. Dari mulai sejarah kelahiran hingga sepak terjangnya yang tidak hanya di bidang pertahanan dan ketahanan, tetapi juga merambah wilayah bisnis, sosial dan politik.
Buku dengan sampul gambar darah dan jejak sepatu lars ini juga mencatat berbagai tindak kekerasan yang dilakukan oleh militer Indonesia. Ironis karena tindak kekerasan dan intimidasi itu dilakukan kepada rakyat atau kelompok-kelompok yang kritis terhadap pemerintah termasuk kepada mahasiswa, sebagaimana tertulis: “21 Januari 1978 penangkapan-penangkapan mahasiswa secara besar-besaran dimulai . DM/SM se-Indonesia dibekukan kegiatannya, pers diberangus dan tuduhan dilontarkan terhadap kegiatan mahasiswa. Pada hari itu, kampus ITB dimasuki pasukan yang mengatakan akan menangkap ketua DM ITB dan menyegel radio pemancar milik ITB, 8 EH”(Hal. 25). Beberapa hari setelah itu, tentara mulai masuk dan menduduki kampus ITB.
Membaca kedua buku tersebut membuat pikiran dan hati saya semakin terkondisikan untuk selalu bersikap kritis dalam menghadapi setiap persoalan. Bahasanya yang lugas dan apa adanya mendorong saya tenggelam membacanya dari halaman satu ke halaman berikutnya. Dibumbui dengan narasi-narasi percakapan yang “menegangkan”, buku pledoi ini membuat kita seolah larut dalam suasana dan persidangan mahasiswa di penghujung tahun 1970-an itu.
Selain kedua buku di atas, saya juga mulai mengumpulkan dan menyimpan buku-buku pembelaan mahasiswa lainnya seperti: Kudengar Indonesia Memanggil, pledoi Lukman Hakim ketua Dewan Mahasiwa UI 1977/78, Potret Orde Baru karya Hudari Hamid ketua DM IKIP Jakarta, Indonesia Masa Depan, Perjuangan Hari Ini oleh AA Tarsono , ketua DM Uninus Bandung, Di Bawah Bendera Oposisi karya Al Hilal Hamd, Presidium DM ITB 77, dan beberapa judul lain.
Sejarah perjuangan mahasiswa dari tahun ke tahun memberikan kita pelajaran sebagai bangsa dalam melangkah ke depan. Gerakan mahasiswa di era 1977/1978 dalam melawan rezim pemerintah Orde Baru yang tersimpan dalam berbagai dokumen buku, foto, atau famplet-famplet lainnya telah banyak memberikan pencerahan terhadap generasi muda setelahnya, dan saya banyak belajar dari sejarah itu.
*Kawan-kawan dapat membaca tulisan-tulisan Indra Prayana, dan artikel-artikel lain tentang Buku