MEMOAR BUKU #4: Menimbang Buku Pergolakan Pemikiran Islam, Sebuah Catatan Harian
Buah pikiran pada buku “Catatan Harian Ahmad Wahib Pergolakan Pemikiran Islam” berisi tentang pergulatan berpikir yang terus menerus dalam pencarian jati diri.
Indra Prayana
Pegiat buku dan surat kabar
26 Agustus 2024
BandungBergerak.id – Sudah menjadi kebiasaan saya dari dulu yaitu mendatangi lapak atau kios-kios buku di seputaran Bandung Raya. Satu di antaranya adalah Kios Buku Cihapit yang sudah ada sejak dekade 1980-an. Kios buku ini sering juga didatangi oleh para kolektor buku “senior” seperti Pak Sudarsono Katam, Pak Jimi, Pak Rio Purbaya, dll. Bahkan para pemburu buku dari luar kota Bandung juga tak pelak mendatangi Kios Buku Cihapit. Saya pertama kali mendapatkan buku Catatan Harian Ahmad Wahib Pergolakan Pemikiran Islam (selanjutnya disebut PPI) di kios buku berukuran 2X4 meter ini, yang waktu masih dikelola oleh Pak Udin. Di sepanjang Jalan Cihapit hanya lapak kios Pak Udin yang menjual buku-buku dan majalah bekas, sedangkan lainnya banyak yang berjualan kaset pita.
Di sekitar tahun 2001 saya mendapatkan buku PPI dengan beberapa buku lain seperti “Sekolah itu Candu” tulisan Roem Topatimasang, “Sistem Sosial Indonesia” tulisan Dr. Nasikun, dan “Perspektif Studi Sosial”. Ketertarikan dan rasa penasaran pada buku dengan cover kepalan tangan dengan latar warna hijau ini karena, pertama, PPI merupakan buku catatan harian yang ditulis oleh seseorang yang sering disebut sebagai salah satu pembaharu Islam pada dekade tahun 1970-an. Namanya sering disandingkan dengan Nurcholish Madjid, Abdurrahman Wahid, Dawam Rahardjo dan sejumlah tokoh lain yang membawa pemikiran-pemikiran Islam progresif dan modern. Kedua, karena ditulis oleh seorang anak muda yang menuangkan tulisan-tulisannya dengan lugas dan berani. Lalu, ketiga, karena penulisnya meninggal dunia di usia yang sangat muda juga dan ini mengingatkan saya dengan sosok Soe Hok Gie penulis buku “Catatan Seorang Demonstran” yang sebelumnya buku tersebut sudah saya miliki.
Sesampainya di rumah saya mulai membuka-buka dan membaca buku kecil berukuran 10,5 X 17,5 cm dengan ketebalan 351 halaman. Buku yang pertama kali diterbitkan pada Juli 1981 oleh penerbit LP3ES ini terbagi dalam 4 bagian. Bagian ke 1 tentang Ikhtiar Menjawab Masalah Keagamaan, Bagian ke 2 Meneropong Politik dan Budaya Tanah Air, Bagian ke 3 Dari Dunia kemahasiswaan dan Keilmuan, dan Bagian ke 4 Mengupas Pribadi yang Selalu Gelisah. Tetapi setiap membaca buku saya selalu memulainya dari Kata Pengantar, karena itu bisa menggambarkan isi buku meskipun masih dalam skala makro. Buku PPI diberi kata pengantar oleh H. A. Mukti Ali dengan judul “Ahmad Wahib: Anak Muda yang Bergulat dalam Pencarian”, yang menggambarkan Ahmad Wahib sebagai sosok yang sering mengungkapkan berbagai pendapat berbeda dengan kebanyakan orang terutama dalam masala-masalah keagamaan. Wahib seperti sedang menghadapi pergulatan pemikiran yang keras dalam proses pencariannya. Sehingga tidak heran jika ia banyak merenung dalam masalah-masalah agama dan kemasyarakatan.
Kondisi psikologis seperti itu banyak terungkap dalam catatan hariannya. Misalnya di tanggal 18 Mei 1969 Wahib menulis, “Tuhan, aku menghadapmu bukan hanya disaat-saat aku cinta padamu, tapi juga disaat aku tidak cinta dan tidak mengerti tentang dirimu, di saat-saat aku seolah-olah mau memberontak terhadap kekuasaanmu. Aku tidak bisa menunggu cinta untuk sebuah sholat.” Atau di tanggal 9 Juni 1969 Wahib juga menulis, “ Tuhan, bisakah aku menerima hukum-hukumMu tanpa meragukannya terlebih dahulu? karena itu Tuhan, maklumilah lebih dulu bila aku masih ragu akan kebenaran hukum-hukumMu. Aku ingin berbicara dengan Engkau dalam suasana bebas, aku percaya bahwa Engkau tidak hanya benci pada ucapan-ucapan munafik tetapi juga pada pikiran-pikiran munafik, yaitu pikiran yang tidak berani memikirkan yang timbul dalam pikirannya. ”Dan banyak lagi ungkapan senada yang dituliskan Wahib dalam catatan hariannya.
Membaca pemikiran wahib dalam bukunya PPI , saya mempunyai hipotesis bahwa pergulatan pemikiran yang berkecamuk itu tidak terlepas dari berbagai aspek yang mempengaruhinya, seperti buku-buku apa yang menjadi bahan bacaannya , lingkungan sosial seperti apa yang dihadapinya, seberapa luas lingkaran pertemanannya, dst. Dasar itu saya kemukakan karena persoalan itu juga yang dulu pernah saya alami meskipun dalam teks dan konteks berbeda. Berbagai macam pemikiran dari yang berkarakter lunak, keras, hingga liar yang terkait dengan kehidupan sosial, politik dan keagamaan pernah bersemayam dalam kepala saya. Bermacam tanya, renungan, ataupun luapan amarah dalam menyikapi kenyataan hidup saya tuangkan juga dalam bentuk catatan harian yang diberi nama “Pikiran Hari Ini”. Sebagai refleksi keseharian, karena saya menuliskannya ketika sesuatu itu sedang terpikirkan.
Baca Juga: MEMOAR BUKU #1: Mendapatkan Buku Kaum Tani Mengganjang Setan-setan Desa
MEMOAR BUKU #2: Membeli Buku Pertama, Bendera Sudah Saya Kibarkan
MEMOAR BUKU #3: Pengalaman Menemukan Buku yang Dilarang di Masa Orde Baru
Renungan
Sebagaimana Wahib, saya juga pernah berada pada fase bertanya dan merenung terhadap sesuatu yang transendental. Tanggal 25 Desember 2001 saya menulis tentang Dialog Imajinasi dengan Tuhan yang isinya sebagai berikut :
Dialog Imajinasi dengan Tuhan
Dengan segala kerendahan hati dan raga yang terasing dalam hiruk pikuknya kehidupan , hampa menerjang nurani yang sakit, aku mencoba berdialog dengan Tuhan dalam imajinasiku:
- Pertanyaanku kepada Tuhan , mengapa Engkau menciptakan dan menyuruhku untuk hidup ?
+ Aku selalu bersikap adil , aku kasih kesempatan engkau untuk menikmati kehidupan di dunia beserta merasakan seluruh isinya.
- Tuhan apakah Engkau bersikap bijaksana dengan memberikan sikap dan watak yang kurang baik ?
+ Aku mengetahui semua yang ada dalam benak pemikiran hamba-hambaKu dan aku selalu memberi kebebasan pada hambaKU untuk mau bersikap baik atau buruk terserah kepada mereka.
- Tuhan , dalam hatiku yang selalu ragu dapatkah Engkau memberi kepastian ?
+ kalau engkau selalu diliputi keraguan dan kemunafikan, apapun yang ada didunia ini akan meragukanmu walaupun itu adalah kepastian-kepastian yang telah Aku berikan.
- Tuhan, apakah aku salah tatkala aku mempertanyakan keberadaanMu ?
+ Sesungguhnya Aku telah bersikap “demokratis” kepada seluruh ummat manusia dengan memberi kebebasan kepada mereka untuk mempercayai ataupun tidak tentang EksistensiKu, karena legitimasiKu tidak dapat dikurangi.
- Tuhan apakah Engkau maha kuasa , dapatkah Engkau membuktikan, tatkala banyak kusaksikan kekerasan atas nama agama dan Tuhannya sulit sekali untuk didamaikan ?
+ Manusia Aku ciptakan untuk saling menghargai perbedaannya . kalaupun terjadi kekerasan , pembunuhan, penindasan dsb dengan mengatasnamakan Tuhan dan agamanya itu tidaklah terlepas dari pemahamannya yang sangat sempit sehingga agama diposisikan dalam sudut pandangnya tidak ditempatkan dalam pandanganKu.
- Tuhan mengapa Engkau merahasiakan tentang jodoh, rezeki dan kematian manusia ? bukankah kalau itu diketahui oleh manusia , setiap orang akan mendapatkan kepastian dalam perjalanan hidupnya atau mungkin Engkau menciptakan manusia untuk ketidakpastian-ketidakpastian.
+ Kalau Engkau suka membaca bukuKu ( Al-Quran) disitu telah Ku tulis dengan pasti bahwa manusia diciptakan hanyalah untuk taat dan menyembah kepadaKu “Wama khalaqtul Jinna wal insa Illa Liya’budun” dan Aku juga telah menyediakan dunia sebagai tempat ujiannya, sehingga kalau manusia sudah mengetahui tentang jodoh, rezeki dan kematiannya sesungguhnya itu bukanlah ujian dalam menilai ketaatannya kepadaKu.
- Tuhan apakah Engkau Maha Adil, kalau benar kenapa Engkau selalu memberikan penderitaan dan kesusahan kepada orang-orang kecil dengan ditimpa segala musibah seperti bencana alam, kelaparan, banjir, kebakaran, dll. yang semuanya itu adalah kehendakMu.
+ memang benar semua yang terjadi di dunia ini adalah kehendak-Ku , tetapi harus diingat yang melatarbelakanginya sifat-sifat manusia yang serakah, licik , koruptif, sehingga muncul banyak musibah yang merugikan semua orang. Termasuk orang yang kau anggap besar, mereka juga mengalami kesusahan dan penderitaan apabila mereka tidak dekat dengan Aku .
- Kalau dasarnya hanya pada sifat manusia yang licik, serakah dan korup bukankah Kau mempunyai hak untuk mencabutnya ?
+ Manusia diciptakan mempunyai dua sifat dasar yang menyatu dalam dirinya yaitu jahat dan baik, berbeda dengan malaikat yang hanya mempunyai sifat baik, begitu pula dengan setan yang membangkang perintahKu sebagai cermin sifat buruk. Tinggal bagaimana manusia mengelola kedua sifatnya dengan baik, karena bagi-Ku tidak ada kerugian sedikitpun apabila semua mahluk tidak taat kepada-Ku, sebab semuanya itu untuk kepentingannya sendiri ( manusia).
+ Aku ingatkan kamu hamba-Ku . kuncinya adalah keyakinan yang harus kau tanamkan dalam hatimu mengenai keberadaan dan ketuhanan-Ku.
Mungkin tidak semua orang pernah mengalami kegelisahan yang sama sebagaimana Wahib dan saya rasakan. Pergulatan berpikir yang terus menerus berproses dalam pencarian jati diri . Meskipun buku Pergolakan Pemikiran Islam dianggap “berbahaya” karena mengusung liberalisasi pemikiran, tetapi diakhir-akhir catatan hariannya Wahib menginginkan Al-Qur’an sebagai fondasinya. Sebagaimana tertulis di tanggal 11 Maret 1969:
“Aku ingin Al-Qur’an membentuk pola berpikirku. Aku tak tahu apakah selama ini aku sudah Islam atau belum. Tapi bagaimana mengintegrasikan Al-Qur’an itu dalam kepribadianku? Bagaimana? Tuhan, aku rindu kebenaranMu”.
Catatan harian Ahmad Wahib terhenti ditanggal 26 Februari 1973 dengan tulisan terakhir “Sembahyang Buat Ayah Yang Sakit” dan sebulan kemudian tepatnya tanggal 30 Maret 1973 semua sahabatnya mungkin menulis “Sembahyang Buat Ahmad Wahib Yang Meninggal Dunia” , karena ditanggal itu kecelakaan sepeda motor telah merenggut jiwa dan pemikirannya.
*Kawan-kawan dapat membaca tulisan-tulisan Indra Prayana, dan artikel-artikel lain tentang Buku