MEMOAR BUKU #6: Membaca Sarekat Islam, Di Bawah Lentera Merah Karya Soe Hok Gie
Di lapak buku trotoar jalan di dekat Toko Buku Dahlan saya mendapatkan buku Di Bawah Lentera Merah karya Soe Hok Gie, sosok yang lekat dengan aktivis dan idealisme.
Indra Prayana
Pegiat buku dan surat kabar
9 September 2024
BandungBergerak.id – Kalau kita melewati Jalan Oto Iskandar Dinata yang menuju arah lapangan Tegallega dapat dijumpai Toko Buku Dahlan, sebagai salah satu toko buku di Bandung yang masih bertahan keberadaannya sampai sekarang. Toko ini banyak menjual kitab-kitab dan buku-buku yang bertemakan agama, meskipun banyak juga ditemukan buku dengan tema lain seperti: sastra, politik, sejarah, humaniora, dsb. Saya termasuk yang mencari buku dengan tema lain kalau datang ke Toko Buku Dahlan dan sekitarnya, karena ada juga dua atau tiga lapak buku kecil yang berada di luar pelataran toko.
Sekitar dekade tahun 2000-an ketika buku-buku indie terbitan Yogjakarta membanjiri pasar buku Bandung , hampir semua lapak dan toko buku pernah saya datangi termasuk Toko Buku Dahlan. Di toko itu saya pernah membeli buku Bumi Berantakan tulisan Franz Fanon yang diterbitkan Bentang Budaya, dan buku Biografi Malcom X yang diterbitkan Risalah Gusti. Sedangkan di lapak buku trotoar jalan saya mendapatkan buku Penuntun Kaum Buruh tulisan Semaoen terbitan Jendela, dan buku Di Bawah Lentera Merah terbitan Bentang Budaya, semua buku itu diterbitkan di Yogjakarta.
Buku-buku seperti itu memang terbit pasca euforia reformasi, karena pada era sebelum tahun 1998 jangan harap bisa menemukannya. Dari ke empat buku yang pernah dimiliki itu, saya sangat antusias dengan buku Di Bawah Lentera Merah dan buku ini juga yang lebih dulu dibaca. Tentu karena penulisnya, sosok yang selalu dilekatkan dengan aktivis dan idealisme. Di Bawah Lentera Merah merupakan buku yang ditransfer dari skripsinya Soe Hok Gie di jurusan Sejarah Universitas Indonesia sebagai salah satu syarat untuk menyandang gelar sarjana muda pada tahun 1964.
Ketertarikan Gie pada tema yang dijadikan karya ilmiahnya itu bermula dari membaca laporan-laporan koran lawas yang mewartakan pengadilan terhadap orang-orang yang terlibat dalam pemberontakan 1926-1927. Pemberontakan itu diyakini sebagai pemberontakan rakyat pertama dalam melawan penindasan kolonial, meskipun dilakukan kaum komunis tetapi motifnya tidak hanya sebatas ideologi. Perasaan senasib sepenanggungan dalam kemiskinan jauh lebih substantif yang mendorong rakyat turut dalam gerakan pemberontakan. Selain itu Gie juga tertarik pada kehidupan tokoh-tokoh komunis, semisal Mas Marco, Boedisoetjitro, Winanta atau Najoan yang sangat keras wataknya terhadap para pembesar kolonial. Dua dasar pemikiran itu pula yang menjadi pijakan Gie dalam melakukan penelitian, sehingga memunculkan sebuah hipotesa bahwa semuanya bermula dari Sarekat Islam Semarang.
Ketika saya mulai membuka bukunya , dilembar ketiga setelah kata pengantar tertulis kutipan pembuka:
“Selamanja saja hidoep, selamanja saja akan berikchtiar menjerahkan djiwa saja goena keperloean ra’jat. Boeat orang jang merasa perboetannja baik goena sesama manoesia , boeat orang seperti itoe, tiada ada maksoed takloek dan teroes tetap menerangkan ichtiarnja mentjapai maksoednja jaitoe
HINDIA MERDIKA DAN SLAMAT
SAMA RATA SAMA KAJA
SEMOEA RA’JAT HINDIA
(Semaoen , 24 Djoeli 1919)”
Sangat tepat bila diawali dengan nukilan perkataan Semaoen karena isi bukunya juga akan terkait dengan Semaoen dan organisasi yang dipimpinnya yaitu Sarekat Islam Semarang. Pada tanggal 6 Mei 1917, Semaoen didapuk menjadi presiden Sarekat Islam Semarang menggantikan Mohammad Joesoef pemimpin sebelumnya. Di usia belia 19 tahun, Semaoen mampu merubah wajah Sarekat Islam (SI) menjadi lebih dinamis dengan susunan pengurus kebanyakan dari kaum muda yang progresif. Selain itu dukungan yang kuat dari kalangan buruh dan rakyat kecil menjadikan SI Semarang semakin revolusioner. Pada periode ini patut dicatat sejarah sebagai kelahiran gerakan Kaum Marxis pertama di Indonesia.
Meskipun secara struktur dan gerakan SI Semarang sudah pada jalur yang benar dalam pandangan Semaoen, tetapi yang paling strategis tak kala surat kabar harian Sinar Hindia atau Sinar Djawa yang menjadi corong propaganda organisasi berhasil dikuasainya. Dengan begitu ide dan gagasan sangat mudah untuk disampaikan, sehingga rakyat bisa membedakan mana yang bersama mereka dan mana yang tidak. Sebagaimana ditulis pada pengantar Sinar Djawa edisi 19 November 1917, bahwa: “ Sinar Djawa akan lebih radikal dan terhadap pemerintah mereka akan menilainya secara jujur, sedangkan terhadap kaum kapitalis dan kaum priyayi yang memeras mereka akan musuhi” ( Hal : 25)
Buku dengan latar cover lukisan Tisna Sanjaya ini mempunyai ketebalan 108 halaman. Adapun pembahasannya terdiri dari 5 Bagian. Pada Bab I Pendahulan, Bab II Latar belakang Sosial , Bab III Dari Kongres Nasional Central Sarikat Islam ke-2 sampai ke-3, Bab IV Dari kongres Nasional CSI 3 sampai PKI , dan Bab V Sekedar Catatan. Titik tekan buku ini terletak pada lahirnya Sarekat Islam Semarang dari tahun 1917-1920. Di mana pada tahun-tahun tersebut mulai teridentifikasi tendensi politik yang menjadi landasan setiap organisasi pergerakan dan banyaknya anak-anak muda yang tergabung dalam berbagai organ gerakan. Begitu pun dengan tokoh-tokoh SI Semarang yang berasal dari berbagai kalangan dengan berbeda-beda jalan kehidupannya , latar belakang sosial, pendidikan, daerah, dan akhirnya bersatu di dalam gerakan marxisme. Mereka adalah pemuda yang baru menginjak usia dua puluhan. Semaoen dan Darsono berumur 22 tahun pada saat tahun 1920. Tetapi mereka adalah orang-orang yang menentang struktur sosial zamannya yang penuh kemiskinan serta kebodohan, dan mereka percaya di Hindia akan lahir juga suatu keselamatan yang sejati bagi segenap penduduknya.
Baca Juga: MEMOAR BUKU #3: Pengalaman Menemukan Buku yang Dilarang di Masa Orde Baru
MEMOAR BUKU #4: Menimbang Buku Pergolakan Pemikiran Islam, Sebuah Catatan Harian
MEMOAR BUKU #5: Membaca Dua Buku Pledoi Mahasiswa di Masa Orde Baru
Sedikit Tentang Soe Hok Gie
Soe Hok Gie merupakan intelektual muda yang selalu gelisah dengan kondisi zaman, ia lahir pada 17 Desember 1947 . Ayahnya Soe Lie Pit merupakan sastrawan produktif yang banyak menulis roman, sedangkan kakaknya Soe Hok Djin atau Arief Budiman juga dikenal sebagai seorang intelektual kritis. Adapun saya mulai tertarik dengan Soe Hok Gie ketika membaca buku Catatan Seorang Demonstran, terutama pada catatan di tanggal 10 Desember 1959, ia menulis: “ Siapa yang harus bertanggung jawab atas hal ini? Mereka generasi tua: Sukarno, Ali Iskak, Lie Kiat teng, Ong Eng Die, semua pemimpin-pemimpin yang harus ditembak di Lapangan Banteng. Cuma pada kebenaran masih kita harapkan”. Artinya catatan itu ditulis saat usianya baru 13 Tahun, bagaimana mungkin dalam usia tersebut tapi sudah menulis suatu yang sangat “ mengerikan”. Dari situlah saya mulai membaca dan mengumpulkan buku-buku yang terkait Soe Hok Gie lainnya. Dalam rak perpustakaan pribadi saya selain buku Di Bawah Lentera Merah, ada juga buku Catatan Seorang Demonstran, Orang-orang Di Persimpangan Kiri Jalan, serta Zaman Peralihan; semua karya Soe Hok gie. Ada juga disertasi tentang Soe Hok Gie yang ditulis John Maxwell, Pergulatan Intelektual Muda Melawan Tirani.
Selain dikenal sebagai aktivis , ia juga mempunyai hobi naik gunung. Kebiasaan naik gunung itu juga yang menempatkan takdir hidupnya harus berhenti. Soe Hok Gie dinyatakan meninggal dunia karena menghirup gas beracun di puncak Gunung Semeru pada tanggal 16 Desember 1969 . Dari tulisan-tulisan anak muda inilah, saya banyak menemukan inspirasi.
*Kawan-kawan dapat membaca tulisan-tulisan Indra Prayana, dan artikel-artikel lain tentang Buku