Mengenal Pendidikan Pesantren Ala K.H. Hasyim Asy’ari
K.H. Hasyim Asy’ari mendirikan Pesantren Tebuireng untuk mendidik "ulama intelektual" dan "intelektual ulama" yang dapat menjawab kebutuhan dan harapan masyarakat.
Irfan Limbong
Bisa diajak ngobrol tentang puisi esai sambil ngopi, walau tidak merokok. Sedang menyantri di Ndalem Wongsorogo.
18 September 2024
BandungBergerak.id – K.H. Hasyim Asy’ari adalah seorang ulama terkemuka yang sangat berpengaruh dan dianggap sebagai seorang wali (Fox, 1991). Beliau memiliki peran penting dalam dunia pendidikan di Indonesia, khususnya dalam pendidikan Islam (Harahap, 2006; Lbs, 2020). Salah satu kontribusi beliau terhadap pendidikan di Indonesia adalah pendirian Pesantren Tebuireng. Sebagai tokoh dalam pendidikan Islam di Indonesia, K.H. Hasyim Asy’ari memiliki ciri khas tersendiri dalam mengelola pesantren tradisional.
Pesantren Tebuireng didirikan sebagai respons terhadap dampak negatif dari Pabrik Gula Cakir yang didirikan pada tahun 1853, yang menyebabkan degradasi moral masyarakat di sekitar wilayah tersebut, yang terkenal dengan kebiasaan mabuk-mabukan dan perjudian. Seorang ustaz melihat bahwa pabrik gula ini merupakan bagian dari rencana kolonial untuk merusak budaya asli masyarakat. Menyadari kondisi tersebut, Hasyim Asy’ari mendirikan pesantren di dekat pabrik gula tersebut sebagai tempat untuk mengajarkan Islam kepada masyarakat dan mempersiapkan mereka untuk berhaji (Bintoro, 2022). Dengan demikian, pesantren tradisional berperan dalam menjaga moral masyarakat dari pengaruh budaya Barat yang dapat merusak. Pesantren Tebuireng menjadi salah satu pesantren tradisional paling berpengaruh di Jawa pada abad ke-20. Keberhasilan pesantren ini tidak lepas dari kontribusi besar K.H. Hasyim Asy’ari.
K.H. Hasyim Asy’ari lahir pada 14 Februari 1871 di Pesantren Gedang, Desa Tambakrejo, yang terletak sekitar dua kilometer di utara Kota Jombang, Jawa Timur. Ayahnya, Asy’ari, adalah pendiri Pesantren Keras di Jombang, sementara kakeknya, Kiai Usman, adalah seorang ulama terkenal dan pendiri Pesantren Gedang pada akhir abad ke-19. Selain itu, moyangnya, Kiai Sihah, mendirikan Pesantren Tambak Beras di Jombang. Lingkungan keluarganya yang kental dengan tradisi pesantren sangat berpengaruh dalam pembentukan keilmuan dan pengetahuan agama Islam K.H. Hasyim Asy’ari (Chanifudin & Zuhri, 2023).
K.H. Hasyim Asy’ari dikenal sebagai seorang pendidik sejati yang hampir seluruh hidupnya didedikasikan untuk lembaga pendidikan, terutama di Pesantren Tebuireng, Jombang. Selain menguasai ilmu agama, Kiai Hasyim juga ahli dalam merancang kurikulum pesantren dan menyusun strategi pengajaran. Dalam dunia pendidikan, ia merupakan seorang pendidik yang sulit ditemukan tandingannya. Ia menghabiskan waktu dari pagi hingga malam untuk mengajar para santrinya, membimbing mereka melalui kitab-kitab Islam klasik yang masih digunakan dalam pendidikan pesantren, seperti al-Tahir, al-Syifa fi Huquq al-Musthafa karya Qadhi ‘Iyadh, al-Muhaddzab karya al-Syairazi, al-Muwatta karya Imam Malik, Fath al-Qarib, Ihya Ulumuddin karya Imam Ghazali, dan Tafsir al-Qur’an al-Azhim karya Ibnu Katsir (Chanifudin & Zuhri, 2023).
Pemikirannya tentang pendidikan pesantren tradisional dituangkan dalam karyanya, kitab Adab al-Alim wa al-Muta’allim fima Yahtaj ila al-Muta’alim di Ahuwal Ta’allum wa ma Yataqaff al-Mu’allim di Maqamat Ta’limi. Kitab ini membahas berbagai aspek pendidikan dengan penekanan khusus pada pendidikan akhlak (etika). K.H. Hasyim Asy’ari menekankan bahwa inti dari pendidikan Islam adalah pendidikan akhlak, yang menjadi tujuan utama dalam pendidikan Islam.
Penulisan kitab tersebut didorong oleh situasi pendidikan yang pada saat itu mengalami perubahan dan perkembangan pesat, dari metode tradisional yang telah mapan menuju bentuk baru yang lebih modern akibat pengaruh sistem pendidikan Barat (imperialis Belanda) yang diterapkan di Indonesia. Perubahan ini berlangsung cepat, dengan meninggalkan cara-cara lama yang telah mengakar dalam tradisi pesantren. Sistem pendidikan Barat lebih menekankan pada pendidikan kognitif daripada pendidikan moral, sehingga anak didik yang dihasilkan jauh dari norma-norma etika dan agama yang bersumber dari Al-Qur’an dan Hadis. Dalam sistem pendidikan Islam, etika merupakan inti dari pendidikan dan salah satu tujuan pokoknya.
Baca Juga: Mengenal Al Ihsan Nambo sebagai Salah Satu Pesantren Tertua di Kabupaten Bandung Barat
Dekadensi Pesantren dalam Menyiasati Tradisi
Pemberdayaan Pesantren untuk Membangun Karakter Kewirausahaan Santri
Tujuan Pendidikan dalam Pandangan K.H. Hasyim Asy’ari
Tujuan adalah langkah awal yang menjadi titik awal dalam menentukan aktivitas selanjutnya. Perumusan tujuan harus merujuk pada tujuan pendidikan nasional dan tujuan pendidikan Islam untuk menyelaraskan tujuan agama, tujuan pendidikan nasional, dan tujuan lembaga. Dengan begitu, akan tercipta lulusan pesantren yang berkualitas dan memiliki daya saing. Berikut adalah tujuan pendidikan Islam dan tujuan lembaga yang dirumuskan oleh K.H. Hasyim Asy’ari:
- Tujuan Pendidikan Islam
Menurut K.H. Hasyim Asy'ari, belajar adalah bentuk ibadah yang bertujuan mencari rida Allah Swt., yang akan membawa manusia menuju kebahagiaan dunia dan akhirat. Oleh karena itu, belajar harus diniatkan untuk mengembangkan dan melestarikan nilai-nilai Islam, bukan hanya untuk menghilangkan kebodohan (Kurniawan & Marhus, 2011). Pendidikan seharusnya mampu membawa umat manusia menuju kemaslahatan dan kebahagiaan dunia dan akhirat. Pendidikan juga harus dapat mengembangkan serta melestarikan nilai-nilai kebajikan dan norma-norma Islam kepada generasi penerus. Umat Islam harus maju dan tidak boleh dibodohi oleh orang lain, serta harus menjalani hidup sesuai dengan nilai dan norma-norma Islam, yang akan membawa seseorang kepada kebahagiaan di dunia dan akhirat. Pemikiran Hadratus Syekh tersebut mengajarkan kepada para pendidik masa kini agar tidak hanya memberikan ilmu pengetahuan, tetapi juga menanamkan nilai-nilai Islam kepada anak didik mereka agar anak didik mampu melindungi diri dari pengaruh negatif perubahan zaman. Dengan pengendalian tersebut, anak didik akan meraih kebahagiaan di dunia dan akhirat.
- Tujuan Institusional
Tujuan institusional adalah tujuan-tujuan yang ingin dicapai oleh lembaga atau jenis/tingkatan sekolah tertentu (Faisal et al., 2021). Setiap lembaga memiliki tujuan institusional yang diambil dari dan menuju tujuan umum pendidikan. Berikut adalah tujuan institusional pada masa kepemimpinan K.H. Hasyim Asy’ari:
a. Tujuan Pesantren Tebuireng.
Dalam tiga puluh tahun pertama, tujuan pendidikan di Tebuireng adalah untuk mendidik calon 'ulama'. K.H. Hasyim Asy’ari kemudian membuka kelas musyawarah dengan sistem penyaringan yang ketat, yang terbukti sangat efektif dalam melahirkan ulama-ulama.
b. Tujuan Madrasah Tebuireng.
Madrasah di Pesantren Tebuireng didirikan dengan tujuan mendidik para santri agar kelak mereka dapat berkembang menjadi "ulama intelektual" (ulama yang menguasai pengetahuan umum) dan "intelektual ulama" (sarjana dalam bidang pengetahuan umum yang juga menguasai pengetahuan Islam). Tujuan ini disusun untuk menyesuaikan dengan kebutuhan dan harapan masyarakat. Tidak semua orang tua yang menyekolahkan anak mereka di Pesantren Tebuireng menginginkan anaknya menjadi ulama. Sebagian orang tua menginginkan anak mereka menjadi pribadi yang cerdas secara intelektual dan spiritual (Bintoro, 2022).
Tenaga Pendidik
Pendidik adalah salah satu komponen yang paling berpengaruh dalam sistem pendidikan Islam. Pendidik memiliki peran dalam membimbing anak didik agar sesuai dengan harapan orang tua. Dalam menjalankan tugas ini, pendidik didukung oleh input instrumental seperti buku, metode, media, sarana, dan kurikulum, serta lingkungan sekolah. Dalam pendidikan Islam, peran pendidik tidak hanya terbatas pada penyampaian ilmu pengetahuan (mengajar) tetapi juga mencakup penyampaian nilai-nilai (mendidik).
Berikut adalah pengelolaan pendidik yang diterapkan pada masa kepemimpinan K.H. Hasyim Asy’ari:
- Persyaratan Menjadi Pendidik
Dalam sistem pendidikan pesantren tradisional, tidak ada persyaratan tertulis untuk menjadi pendidik. Penunjukan dilakukan langsung oleh kiai setelah melalui proses pemantauan, misalnya ketika kiai sedang mengajar. Dalam memilih pendidik, kiai mempertimbangkan dengan cermat pengetahuan yang dimiliki serta kepribadian calon pendidik.
- Tugas dan Tanggung Jawab Pendidik
K.H. Hasyim Asy’ari menekankan beberapa etika yang harus dimiliki oleh seorang guru, di antaranya: 1) Selalu mendekatkan diri kepada Allah; 2) Senantiasa takut kepada Allah; 3) Bersikap tenang dan berhati-hati; 4) Bersikap tawadhu’, khusyuk, dan mengadukan permasalahan kepada Allah; 5) Tidak menggunakan ilmu untuk meraih tujuan duniawi semata; 6) Tidak selalu memanjakan anak didik; 7) Menjalani kehidupan yang sederhana (zuhud); 8) Menghindari hal-hal yang rendah; 9) Menjauhi tempat-tempat yang kotor dan maksiat; 10) Mengamalkan sunnah Nabi; 11) Menjaga konsistensi dalam membaca al-Qur’an; 12) Bersikap ramah, ceria, dan gemar menyebarkan salam; 13) Membersihkan diri dari perbuatan yang tidak disukai Allah; 14) Meningkatkan semangat untuk terus menambah ilmu; 15) Tidak menyalahgunakan ilmu dengan menyombongkannya; dan 16) Membiasakan diri untuk menulis, mengarang, dan meringkas(Faisal et al., 2021).
Menanggapi konsep yang ditawarkan oleh K.H. Hasyim Asy’ari, terdapat beberapa aspek penting yang dapat diperhatikan. Pertama, konsep tersebut menunjukkan nuansa tasawuf, seperti taqarrub, khauf, wara’, tawadhu’, dan zuhud, yang mencerminkan kedekatan beliau dengan ajaran sufi. Meskipun demikian, beliau tidak terasing dari kehidupan duniawi; sebaliknya, beliau aktif berinteraksi dengan masyarakat dan menyelesaikan berbagai masalah sosial. Kedua, beliau menekankan pentingnya menulis, mengarang, dan meringkas sebagai bagian dari tradisi ilmiah, yang menurutnya tidak hanya untuk pelestarian ilmu tetapi juga sebagai ladang pahala. Hal ini tercermin dalam karya-karya beliau, seperti Kitab Adab Al-Alim wal Muta’allim.
K.H. Hasyim Asy’ari juga mengajukan beberapa etika yang harus dipatuhi oleh guru dalam proses pengajaran, yaitu: 1) Mensucikan diri dari hadas dan kotoran; 2) Berpakaian sopan dan rapi serta berusaha berbau wangi; 3) Niatkan mengajar sebagai ibadah; 4) Sampaikan ajaran karena Allah; 5) Membiasakan diri membaca untuk menambah ilmu; 6) Memberikan salam saat memasuki kelas; 7) Berdoa untuk para ahli ilmu yang telah meninggal sebelum mengajar; 8) Menjaga penampilan kalem dan menghindari hal-hal yang tidak pantas; 9) Menghindari bergurau dan tertawa berlebihan; 10) Tidak mengajar dalam kondisi lapar, marah, atau mengantuk; 11) Memilih tempat duduk yang strategis saat mengajar; 12) Bersikap ramah, lemah lembut, jelas, tegas, dan tidak sombong; 13) Mengutamakan materi penting dan sesuai profesi; 14) Menghindari pengajaran hal-hal yang subhat; 15) Memperhatikan kemampuan murid dan tidak membuat suasana kelas terlalu lama atau tegang; 16) Memberi nasehat dengan baik; 17) Terbuka terhadap berbagai masalah; 18) Memberi kesempatan bagi murid untuk bertanya setelah pelajaran selesai (Faisal et al., 2021).
K.H. Hasyim Asy’ari juga memperkenalkan konsep tawassul dalam pendidikan pesantren, yaitu mengirim doa atau Al-Fatihah kepada ahli ilmu yang telah meninggal untuk mengharapkan keberkahan dari Allah melalui perantara ilmu mereka. Etika yang ditawarkan sangat komprehensif, meliputi berbagai aspek dari persiapan guru hingga interaksi dengan murid. Pendekatan ini menunjukkan perhatian beliau terhadap semua aspek kecil dalam proses pendidikan, termasuk cara menegur murid yang terlambat, yang sering kali diabaikan dalam diskursus pendidikan modern.
Lebih jauh, K.H. Hasyim Asy’ari juga menggarisbawahi empat belas etika dalam hubungan guru dan murid, seperti: 1) Niat mendidik dan menyebarkan ilmu dengan ikhlas; 2) Menghindari motivasi duniawi; 3) Selalu introspeksi diri; 4) Menggunakan metode yang mudah dipahami; 5) Memotivasi murid; 6) Memberikan latihan yang membantu; 7) Memperhatikan kemampuan murid; 8) Tidak memihak; 9) Mengarahkan minat murid; 10) Bersikap terbuka dan lapang dada; 11) Membantu memecahkan masalah murid; 12) Mencari informasi jika murid berhalangan; 13) Menunjukkan sikap arif dan penyayang; 14) Tawadhu’. Dalam konteks pendidikan pesantren, guru diharapkan tidak hanya mematuhi etika kepada murid tetapi juga memotivasi, memilih metode yang baik, serta mengarahkan minat murid dengan sikap arif dan penuh kasih sayang.
Peserta Didik
Santri dalam pendidikan pesantren tradisional dibagi menjadi dua jenis utama: santri mukim dan santri kalong. Santri mukim adalah mereka yang berasal dari daerah jauh dan menetap di pesantren selama bertahun-tahun, sering kali hingga mereka menjadi santri senior. Mereka tinggal di pesantren untuk mengajar santri yang lebih muda atau untuk melanjutkan tugas orang tua mereka sebagai pengelola pesantren. Sebaliknya, santri kalong adalah mereka yang tinggal di sekitar pesantren dan datang hanya untuk mengikuti pelajaran tanpa menetap di pesantren. Keberadaan santri kalong sering kali disebabkan oleh alasan ekonomi dan kedekatan lokasi yang memudahkan mereka untuk belajar tanpa harus tinggal jauh dari rumah (Faisal et al., 2021).
Dalam hal tugas dan tanggung jawab peserta didik, K.H. Hasyim Asy’ari memberikan sepuluh etika yang harus diikuti, meliputi membersihkan hati dari gangguan, menjaga niat, dan tidak menunda-nunda kesempatan belajar. Beliau juga menekankan pentingnya kesabaran, pengaturan waktu yang baik, dan menjaga kualitas makanan dan minuman untuk mendukung proses belajar. K.H. Hasyim Asy’ari menganggap bahwa makanan dan minuman mempengaruhi kemampuan santri dalam belajar, dan oleh karena itu harus diperhatikan dengan baik.
Beliau juga menawarkan dua belas etika peserta didik terhadap guru, termasuk mendengarkan dengan seksama, memilih guru yang profesional, dan memuliakan guru. K.H. Hasyim Asy’ari menggarisbawahi pentingnya etika dan hubungan hormat antara santri dan guru, yang merupakan bagian dari tradisi pesantren yang mengutamakan adab dan moral dalam pendidikan.
Konsep pendidikan pesantren menurut K.H. Hasyim Asy’ari menunjukkan bahwa meskipun pendidikan pesantren sering dianggap kuno dan tertutup, sebenarnya etika dalam pendidikan pesantren berfokus pada pengembangan karakter dan pemahaman yang mendalam. Di Pesantren Tebuireng, yang dipimpin oleh K.H. Hasyim Asy’ari, terdapat kelas musyawarah untuk mendukung diskusi dan pemikiran terbuka, serta budaya menulis dan mencatat yang diperkenalkan untuk memfasilitasi pembelajaran yang lebih progresif dan inovatif. Dengan demikian, pandangan bahwa pendidikan pesantren kolot adalah tidak tepat, karena K.H. Hasyim Asy’ari memajukan sistem pendidikan pesantren menjadi lebih terbuka dan modern Santri dalam pendidikan pesantren tradisional dibagi menjadi dua jenis utama: santri mukim dan santri kalong. Santri mukim adalah mereka yang berasal dari daerah jauh dan menetap di pesantren selama bertahun-tahun, sering kali hingga mereka menjadi santri senior. Mereka tinggal di pesantren untuk mengajar santri yang lebih muda atau untuk melanjutkan tugas orang tua mereka sebagai pengelola pesantren. Sebaliknya, santri kalong adalah mereka yang tinggal di sekitar pesantren dan datang hanya untuk mengikuti pelajaran tanpa menetap di pesantren. Keberadaan santri kalong sering kali disebabkan oleh alasan ekonomi dan kedekatan lokasi yang memudahkan mereka untuk belajar tanpa harus tinggal jauh dari rumah.
Metode Pendidikan menurut KH Hasyim Asy’ari
Pada awal perkembangan Pesantren Tebuireng, sistem dan metode belajar yang diterapkan mengadopsi pendidikan Islam klasik sebelum adanya Madrasah Nizhamiyah di Baghdad. Metode yang digunakan termasuk sistem belajar individual atau halaqah, dengan metode wetonan, sorogan, hafalan, muhawarat, dan mudhaharat yang berakar dari tradisi Islam klasik. Keberhasilan pendidikan ini sangat bergantung pada peran tenaga pengajar. Berikut adalah beberapa metode yang digunakan di Pesantren Tebuireng di bawah kepemimpinan K.H. Hasyim Asy'ari:
- Metode Wetonan atau Bandongan
Ini adalah metode utama di pesantren, di mana sekelompok santri duduk membentuk halaqah sementara guru membaca, menerjemahkan, dan menjelaskan kitab kuning. Santri mendengarkan sambil mencatat hal-hal penting. K.H. Hasyim Asy'ari menerapkan metode ini dengan membaca kitab seperti Fath al-Qorib kepada santri, menerangkan isi dan tata bahasa, sementara santri mendengarkan dan mencatat. Metode ini efektif jika santri sudah melalui sistem sorogan dan biasanya diikuti oleh 50 hingga 500 santri.
- Metode Sorogan
Sorogan adalah metode belajar individual di mana guru membacakan dan menerjemahkan kitab berbahasa Arab, kemudian santri mengulangi dan menerjemahkan kata demi kata. Metode ini menguji kesabaran, disiplin, dan ketaatan santri, dan sangat efektif untuk membentuk santri yang bercita-cita menjadi alim.
- Metode Hapalan
Metode ini digunakan untuk menghafal kitab-kitab tertentu seperti Alfiyah Ibnu Malik atau Al-Qur'an. Santri diminta untuk menghafal dan menyetorkannya kepada kiai atau ustaz dalam waktu tertentu. Metode ini menekankan kemampuan santri dalam melafalkan materi tanpa melihat teks. Santri yang lulus dari pesantren ini sering kali mampu menghafal dan memahami kitab-kitab klasik.
- Metode Hiwar atau Musyawarah
Metode ini mirip dengan diskusi, namun difokuskan pada pendalaman materi. Dalam forum ini, santri dan guru terlibat dalam debat untuk memecahkan masalah dari kitab yang dipelajari. Metode ini digunakan oleh K.H. Hasyim Asy'ari untuk santri senior yang terpilih, dengan tujuan menghasilkan ulama yang kuat dalam keilmuan agama (Faisal et al., 2021).
Berdasarkan pemaparan di atas, dapat disimpulkan bahwa K.H. Hasyim Asy’ari memandang pendidikan sebagai sarana untuk mencapai kebahagiaan di dunia dan akhirat, dengan tujuan utama mencari rida Allah SWT. Belajar dalam pandangan beliau bukan hanya untuk menghilangkan kebodohan, tetapi juga untuk melestarikan dan mengembangkan nilai-nilai Islam. Pendidikan Islam menurut beliau seharusnya tidak hanya menghasilkan individu yang cerdas secara intelektual, tetapi juga yang kuat dalam nilai-nilai spiritual dan moral. Oleh karena itu, lembaga pendidikan, seperti pesantren, diharapkan tidak hanya fokus pada pengajaran ilmu pengetahuan, tetapi juga penanaman nilai-nilai Islam. Pesantren Tebuireng yang dipimpin oleh K.H. Hasyim Asy’ari, pada awalnya bertujuan mendidik calon ulama, tetapi seiring waktu juga mengembangkan tujuan untuk mencetak "ulama intelektual" dan "intelektual ulama" yang dapat menjawab kebutuhan dan harapan masyarakat. Pemikiran beliau juga menekankan pentingnya peran pendidik yang bukan hanya sebagai pengajar, tetapi juga sebagai pendidik yang menanamkan nilai-nilai luhur.
Dalam memilih pendidik, K.H. Hasyim Asy’ari sangat mempertimbangkan aspek pengetahuan dan kepribadian, serta menekankan bahwa guru harus menjalankan tugasnya dengan ikhlas, menjauhkan diri dari tujuan duniawi, dan senantiasa meningkatkan ilmu pengetahuan mereka. Selain itu, K.H. Hasyim Asy’ari juga mengajarkan etika-etika khusus yang harus dimiliki oleh guru dan santri dalam proses pendidikan, dengan tujuan menciptakan lingkungan belajar yang kondusif dan berorientasi pada akhlak mulia. Pandangan beliau menunjukkan bahwa meskipun pesantren dianggap tradisional, sebenarnya pesantren memiliki sistem pendidikan yang fokus pada pengembangan karakter dan inovasi dalam metode pembelajaran, termasuk melalui musyawarah dan budaya menulis yang beliau dorong di Pesantren Tebuireng.
*Kawan-kawan bisa membaca artikel-artikel lain tentang pesantren