Nonton Wayang Kulit Animasi di Kampung Pulosari, Festival di Tengah Menyempitnya Ruang Kota
Kampung Pulosari di Tamansari, Kota Bandung punya hajatan. Ketika ruang kampung kota menyempit, mereka menghelat pertunjukan wayang kulit.
Penulis Yopi Muharam19 September 2024
BandungBergerak.id - Gemericik aliran sungai anak Cikapundung nyaring terdengar di taman Escade, Kampung Pulosari, Tamansari, Kota Bandung. Tepat di bawah jembatan layang Pasupati, pertunjukan wayang kulit dan animasi berlangsung di Panggung Cahaya, bagian dari Ruang Waktu Datar (RWD) Festival yang di gagas Rakarsa Foundation, Sabtu, 14 September 2024 digelar.
Warga dan mahasiswa dari jurusan Film dan Televisi Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) memadati ampliteater Escade. Mereka antusias menonton animasi wayang kulit dengan karakter hewan yang menggemaskan. Di atas panggung tersedia kelir untuk menampilkan animasi wayang dan wayang kulit.
Animasi wayang atau ani wayang diklaim sebagai animasi wayang perdana di Indonesia. Tiga dari 48 episede ani wayang ditonton secara cuma-cuma. Daud Nugraha (41 tahun) adalah penggagas di balik ani wayang ini. Ketertarikan lulusan Desain Komunikasi Visual (DKV) ITB ini dalam menciptakan ani wayang sudah muncul sedari kecil.
Daud lahir di Yogyakarta. Ia mengenal wayang kulit dari orang tuanya. Kultur warisan keluarga ini membawanya untuk mengasimilasi wayang kulit menjadi animasi wayang. Bedanya, ani wayang menampilkan karakter yang unik seperti hewan kancil.
Cerita yang dibawakan pun merupakan adaptasi dari kisah-kisah masa kecil seperti kancil yang suka mencuri timun. Akan tetapi, sebagai antitesa, dia ingin merubah stigma bahwa kancil merupakan hewan yang baik. Cerita kancil yang dicap sebagai pencuri atau hewan yang licik menurutnya kurang baik.
“(Dalam karakternya) jadi si kancil tuh enggak cuma belajar di kuliah aja, tetapi (si kancil) kembali ke desa dan membangun desanya. Bukannya mencuri timun (seperti dongeng waktu kecil). Tapi si kancil ini bercocok tanam dan membangun desa dan akhirnya menikah,” ujar Daud yang pernah memenangkan lomba cover gambar majalah pada tahun 2007.
Kini, ani wayang sudah menginjak tahun ke-3. Sudah melanglang buana ke berbagai perhelatan festival dan memenangkan berbagai nominasi. Salah satunya adalah mendapat nominasi Los Angeles International Children's Film Festival di Amerika Serikat.
Alasan Daud membuat ani wayang karena ingin membangun jembatan bagi anak-anak untuk mengenal budaya Indonesia, salah satunya wayang kulit. Menurutnya tontonan anak-anak sudah terdoktrin budaya luar melalui media sosial seperti Tiktok. Hal tersebut membuat anak-anak jadi jauh dengan budaya sendiri.
Siti Komalasari (27 tahun) yang asyik menonton bersama anak-anak kecil, sepakat dengan Daud. Menurutnya, anak-anak sekarang sudah termoderenisasi sehingga jauh dari kebudayaan Indonesia. Bukan hanya itu, dihelatnya pagelaran ini dapat mempererat tali silaturahmi juga sesama warga lintas generasi.
“Anak-anak kecil pasti senang, kan, ya, ada acara kayak gini. Jadi kalau ada acara kayak gini rutin sih bagus, sambil memperkenalkan budaya pewayangan juga,” ujarnya, setelah dia menonton ani wayang berjudul Desa Timun.
Baca Juga: Pergolakan Seni dan Perubahan Sosial: Seni Rakyat dan Identitas Melawan Dominasi
Peta Sunyi Seni Pantomim Bandung
Galeri Grey dan Bangunan Cagar Budaya Pelantang Seni
Perhelatan di Balik Menyempitnya Ruang di Kampung Kota
Seorang pemuda tengah sibuk mondar-mandir saat perhelatan acara. Memakai baju over size berwarna hitam dan bandana yang diikat di lehernya, dia adalah Arsya Herdiansyah (24 tahun). Arsya merupakan penanggung jawab Festival Panggung Cahaya.
Dia bercerita alasan di balik dihelatnya Festival Panggung Cahaya di kampung kota ini. Dia ingin sekali membawa seni berbasis tradisi ke kampung-kampung. Ditambah acaranya pun gratis. Jadi semua warga di Pulosari dapat menyaksikan secara langsung pagelaran animasi wayang dan wayang kulit secara cuma-cuma.
Arysa mengeluhkan, tepat sebelum taman Escade terdapat taman film. Di sana terdapat layar raksasa yang menjuntai ke atas. Namun sangat disayangkan, menurutnya layar itu tidak bisa dipakai. Entah apa alasannya.
Menurutnya di tengah menyempitnya kampung kota, setidaknya ada ruang yang dapat menggelar sebuah acara. Menurutnya taman film adalah salah satu contohnya. Akan tetapi, karena tidak bisa dipakai, taman film menjadi pajangan semata saja.
“Terus pemerintah teh bikin si taman film ini, bikin screen gede ngabisin anggaran berapa ratus miliar. Tapi ga bisa dipakai. Harusnya itu teh bisa mudah diakses. Entah itu sama warga atau masyarakat umum,” keluh lulusan mahasiswa jurusan Film dan Televisi UPI itu.
Namun dia tidak kehabisan akal. Berbekal komunikasi, Arsya dapat menggelar festival di kampung Pulosari. Warga pun dilibatkan memeriahkan acara ini. Sebab dengan mengadakan acara seperti ini, warga dapat berjualan untuk meningkatkan taraf ekonomi.
Terhitung, Rakarsa Foundation sudah menghelat acara di Pulosari ini sejak tahun 2022. Sudah lima kali acara digelar di sini, dan acaranya pun terbilang sukses. Menurutnya Arsya, keterlibatan warga menjadi kunci.
“Ada mirisnyalah taman film ga bisa dipake. Tapi yang kita lakuin ga perlu ngeluh, tapi bagaimana solusinya? Ya, ngobrol sama warga di sini,” tuturnya.
Di sisi lain, Daud juga menyayangkan kondisi kampung kota saat ini. Menurutnya, ruang terbuka itu penting untuk bermain anak-anak. Ditambah pentingnya ruang terbuka adalah untuk menghelat acara seperti ini. Daud berharap ada upaya dari pemerintah untuk menyelesaikan masalah ruang kampung kota ini.
“Tapi harus ada perencanaan yang jelas juga dari pemerintah, supaya enggak desek-desekan juga. Karena orang juga butuh tempat yang seperti ini, karena mereka juga harus berkegiatan atau berbudaya juga,” ujar Daud.
Siti Komalasari pun merasakan dampak dari menyempitnya ruang di kampung kota. Namun ia cukup beruntung karena kampungnya masih mempunyai sepetak lahan untuk mengadakan festival budaya. Kendati demikian, menyempitnya ruang di kampung kota sangat berpengaruh pada warga sekitarnya.
“Apalagi kalau dulu kan masih banyak pohon-pohon sekarang sudah makin berkurang, oksigennya sudah makin berkurang jadi makin sering banjirnya juga, hujan sedikit sudah mulai banjir,” ujar Siti.
*Kawan-kawan dapat membaca tulisan-tulisan lain Yopi Muharam atau artikel-artikel lain tentang tentang Seni Budaya