• Kolom
  • PEMERINTAHAN PAJAJARAN TENGAH #3: Raja Sunda

PEMERINTAHAN PAJAJARAN TENGAH #3: Raja Sunda

Para ahli sejarah Sunda masih berbeda pendapat mengenai siapa sebenarnya Prabu Siliwangi.

Topik Mulyana

Dosen dan peneliti Lembaga Pengembangan Humaniora, Pusat Studi Nitiganda, Fakultas Filsafat Unpar, Ketua Padepokan Bumi Ageung Saketi

Arca yang ditemukan di daerah Talaga, Majalengka. Penduduk sekitar menyebutnya sebagai Patung Prabu Siliwangi. Difoto oleh Isidore van Kinsbergen dan menjadi koleksi Leiden Universiteit. (Foto: Sumber Collectie Wereldmuseum (v/h Tropenmuseum), part of the National Museum of World Cultures/Wikimedia Commons)

19 September 2024


BandungBergerak.id – Sejarah tatar Sunda, terutama masa pra-Islam, memang sangat enigmatik, penuh teka-teki. Di samping sedikitnya sumber-sumber informasi, juga disebabkan perbedaan karakteristik medium informasinya itu sendiri. Sumber-sumber tertulis kerap mengemukakan informasi yang berbeda dengan sumber-sumber lisan. Di samping berbeda dalam hal isi, juga berbeda dalam hal sasaran penerima informasi sehingga tingkat persebarannya pun berbeda.

Nama Prabu Siliwangi, misalnya, yang begitu populer bagi masyarakat Sunda, bahkan menjadi sentra budaya Sunda (Muhsin, 2011), jika ditelusuri secara historis, tidak diketahui siapa gerangan sosok tersebut. Pasalnya, eksistensi kerajaan Sunda berlangsung sekira sembilan abad, sudah pasti memiliki raja yang banyak, yakni lebih dari 30 orang.

Berdasarkan naskah Carita Parahyangan, sejak berdirinya kerajaan Sunda dan Galuh hingga keruntuhan Pajajaran, tidak disebutkan nama Prabu Siliwangi. Demikian juga dalam naskah-naskah lainnya. Dalam Sanghyang Siksa Kanda ng Karesian, nama Siliwangi hanya disebutkan sepintas sebagai tokoh dalam carita pantun. Demikian juga dalam Bujangga Manik, nama Siliwangi hanya disebutkan untuk membandingkan ketampanan Bujangga Manik dengan Siliwangi. Dalam prasasti, sama sekali tidak ada. Artinya, dalam sumber tertulis, nama Siliwangi sama sekali tidak populer.

Sebaliknya, dalam pelbagai carita pantun, sosok Prabu Siliwangi kerap muncul, baik sebagai tokoh utama (Cariosan Prabu Siliwangi) maupun sebagai tokoh tambahan yang berperan sebagai pemberi misi kepada tokoh utama (pantun Mundinglaya Dikusumah, carita Guru Gantangan). Alhasil, karena carita pantun hidup di tengah masyarakat, maka nama Prabu Siliwangi sangat populer, bahkan menjadi kebanggaan, teladan, sekaligus patron utama masyarakat Sunda (banyak yang mendaku sebagai keturunan atau beroleh wangsit Prabu Siliwangi). Demikian juga dalam lagu-lagu tradisional Sunda, terutama kidung-kidung buhun dan tembang-tembang Cianjuran.

Para ahli sejarah Sunda pun masih berbeda pendapat mengenai siapa sebenarnya Prabu Siliwangi. Saleh Danasasmita, Amir Sutaarga, dan Mumuh Muhsin berpendapat bahwa yang disebut Prabu Siliwangi adalah Raja Pajajaran pertama, yakni Jaya Dewata bergelar Sri Baduga Maharaja. Nama Sri Baduga Maharaja tercantum dalam naskah Carita Parahyangan, naskah Nagara Kreta Bhumi, Prasasti Kebantenan (Bekasi), dan Prasasti Batu Tulis (Bogor). Menurut Saleh, siliwangi berasal dari kata asilih wewangi, yang berarti “yang berganti gelar”, sebagaimana tercantum dalam naskah Nagara Kreta Bhumi. Selain itu, juga mengacu pada prasasti Batu Tulis yang berbunyi “… diwastu dia dingaran Prabu Guru Dewataprana diwastu dia diangaran Sri Baduga Maharaja …” Karena dua kali dilantik (diwastu), maka sang raja dikenal dengan nama Siliwangi.

Namun, ada juga berpendapat bahwa Prabu Siliwangi merupakan gelar untuk raja-raja Sunda yang beroleh kemasyhuran karena menjalankan tugasnya dengan sangat baik. Berarti, yang disebut Prabu Siliwangi itu lebih dari satu orang. Para sejarawan yang berpendapat demikian adalah Ayatrohaedi, Undang A. Darsa, Elis Suryani, dan Agus Aris Munandar.

Lukisan paling ikonik Prabu Siliwangi karya Ridho, pelukis asal Desa Sancang, Garut, yang mengaku bermimpi bertemu Prabu Siliwangi. Kini, lukisan ini menjadi koleksi Keraton Kasepuhan Cirebon. (Foto: Sumber Portrait of Siliwangi/Wikimedia Commons)
Lukisan paling ikonik Prabu Siliwangi karya Ridho, pelukis asal Desa Sancang, Garut, yang mengaku bermimpi bertemu Prabu Siliwangi. Kini, lukisan ini menjadi koleksi Keraton Kasepuhan Cirebon. (Foto: Sumber Portrait of Siliwangi/Wikimedia Commons)

Baca Juga: PEMERINTAHAN PAJAJARAN TENGAH #1: Pemisahan Negara dan Agama, Sekularisme ala Sunda Kuna?
PEMERINTAHAN PAJAJARAN TENGAH #2: Keraton Pakwan-Pajajaran

Siapa Prabu Siliwangi?

Dalam Pantun Bogor episode “Ngahiyangna Pajajaran”, disebutkan pula nama Raja Siliwangi. Episode tersebut mengisahkan pelarian Raja dan rombongannya guna menghindari kejaran Pasukan Banten. Artinya, jika merunut pada kronik Pajajaran, beliau adalah raja terakhir Pajajaran. Maka, sudah tentu bukan Sri Baduga Maharaja, melainkan lima generasi setelahnya. Jika mengacu pada Carita Parahyangan, hal itu lebih membingungkan lagi karena raja terakhir Pajajaran, yang disebut Nusiya Mulya, sama sekali tidak bertakhta di Pakuan. Raja terakhir yang bertakhta di Pakuan dan dikabarkan pergi mengungsi adalah Nilakendra. Jika Siliwangi yang dimaksud dalam Pantun Bogor adalah Nilakendra, maka kebingungan itu kian bertambah karena ada kontradiksi antara apa yang digambarkan dalam carita pantun dan naskah Carita Parahyangan mengenai kepribadian sang raja. Dalam carita pantun, digambarkan bahwa sang raja sakti mandraguna, penuh welas asih, dan berani berkorban untuk rakyatnya, sedangkan dalam Carita Parahyangan, Prabu Nilakendra digambarkan kejam, suka berfoya-foya, dan abai terhadap tugas negara.

Pada bagian awal “Ngahiyangna Pajajaran”, narator memuji sang raja sebagai berikut.

Gagah sakti kaliwat saking,
nya dia anu ngarana Prabu Siliwangi

“Alangkah Gagah sakti,
dialah yang bernama Prabu Siliwangi

Pada bagian lain, sang raja berujar kepada para pengikutnya yang setia.

najan dia kabéhan
ka ngaing pada satiya,
tapi ngaing hanteu meunang
mawa dia kabawa
ngilu hirup jadi balangsak,
ngilu rudin eujeung lapar

“walau kalian semua
bersetia kepadaku,
aku takkan membawa kalian
turut serta ke dalam kesengsaraan,
keputusasaan, dan kelaparan”

Pada bagian ketiga buku Pamaréntahan Nagara Pajajaran Tengah, Ki Komara membahas raja. Secara umum, dia menjelaskan dua hal, yakni yang pertama tentang tabiat Raja Pajajaran. Disebutkan bahwa meski seluruh kekuasaan dan wewenang dipegang oleh raja, pada masa itu Raja Pajajaran tidak sewenang-wenang. Prabu Siliwangi, sang Raja Pajajaran, yang oleh istilah sekarang disebut monarki-feodal, selalu menjauhkan rakyatnya dari kesengsaraan. Seperti sudah dikemukakan sebelumnya, raja terakhir ini digambarkan memiliki tabiat yang baik, raja yang bijaksana. Gambaran tabiat raja tersebut terdapat sepanjang cerita dalam episode “Ngahiyangna Pajajaran”.

Kedua, tentang raja pertama Pajajaran. Berdasarkan Pantun Bogor, nama Raja Pajajaran tidak diketahui. Dalam episode “Ngadegna Pajajaran” atau “Pajajaran Beukah Kembang”, disebutkan

Ceuk Resi Handeula Wangi,
“Geus euweuh anu inget!
Disarebutna mah Purwa Aji.
Tapi saha ngaran Inyana?
Anu tangtu bae,
lain Purwa anu Wetan,
Purwa ogoh …
Purwa mimiti!”

“Kata Resi Handeula Wangi,
‘Sudah tidak ada yang ingat!’
Disebutnya Purwa Aji.
Tapi siapakah nama beliau?
Yang jelas, bukan Purwa yang Timur,
Purwa ogoh …
Purwa yang permulaan!’.”

Jadi, menurut Pantun Bogor, nama raja pertama Pajajaran ini tidak diketahui, selain gelar umum saja, yakni Purwa Aji. Hal ini menarik karena menurut sejarah pada umumnya, raja pertama Pajajaran justru yang tercantum pada sumber utama sejarah, yakni Prasasti Batu Tulis dan naskah Carita Parahyangan, yakni Sri Baduga Maharaja, yang oleh banyak kalangan diyakini sebagai sosok yang dikenal sebagai Prabu Siliwangi. Persoalan pun menjadi lebih menarik ketika dalam episode “Pakujajar Beukah Kembang”, Siliwangi justru merupakan raja terakhir Pajajaran. Pada salah satu bagiannya, Ki Lengser, tokoh mahapatih Pajajaran yang berasal dari kahyangan, berujar kepada Prabu Anom (pangeran).

Déngékeun!
Isukan jagana pagéto dia jadi raja ngagantian rama parabu,
Paké ku dia ieu ngaran, bawa éyang ti kahiyangan!
Nyaéta: Siliwangi!
Lain silih wangi, komo sirih wangi mah!
Lantaran di urang mah, euweuh sirih;
Aya geu ngan seureuh eujeung séréh;
Mantakna dia dibéré ngaran éta, lantaran dia mah
Unggah ti ieu jagat teh hanteu mudu nahap mandala heula.
Tapi engke téh laju bae ka mandala samar!

“Dengarkan!
Besok lusa, engkau jadi raja menggantikan rama prabu
Pakailah olehmu nama, yang dibawa eyang dari kahyangan
Yaitu: Siliwangi!
Bukan silih wangi, apalahi sirih wangi!
Sebab di wilayah kita tidak ada sirih;
Adanya seureuh (serai) dan séréh (sirih)
Sebabnya engkau diberi nama demikian, sebab engkau
Naik dari jagat ini tidak melalui tahap mandala,
Tetapi langsung ke mandala samar!”

Berdasarkan Pantun Bogor, kita mendapati lagi versi lain dari etimologi siliwangi, yakni “yang langsung naik ke mandala samar”, mandala tertinggi yang bisa dicapai oleh ruh manusia –selain dalam Pantun Bogor, urutan hierarkis sembilan mandala terdapat dalam carita pantun Mundinglaya Dikusumah dan Eyang Resi Handeula Wangi (Djunatan, 2013). Hal ini menegaskan bahwa sili berbeda dengan silih, sili bukan silih. Hal ini berimplikasi pada versi lain mengenai etilomogi siliwangi yang dijelaskan dalam naskah Nagara Kreta Bhumi yang menyebut bahwa siliwangi bersal dari frasa asilih wewangi dan juga membantah asumsi Agus Aris Munandar bahwa siliwangi berarti “yang berganti agama”; wangi adalah sebutan lain untuk agama Budha, jadi siliwangi artinya “yang berganti agama”, hal ini mengacu pada tokoh Sanjaya yang beragama Budha beralih ke Hindu; Munandar berpendapat bahwa siliwangi pertama adalah Sanjaya (Munandar, 2018). Ditambah lagi, secara kronologis, Siliwangi adalah raja terakhir Pajajaran, bukan yang pertama. Dengan demikian, Pantun Bogor menambah kadar teka-teki sejarah Tatar Sunda.

Terakhir, Ki Komara menyebutkan bahwa ada sebagian orang yang meyakini bahwa nama raja pertama Pajajaran adalah Purana, mengacu pada baris pertama Prasasti Batu Tulis: ini sakakala prebu ratu purana pun. Keyakinan itu juga berdasarkan kebiasaan memberi nama pada orang-orang dari kalangan ningrat, seperti Purawijaya atau Purawisastra. Namun kemudian, Ki Komara membantahnya bahwa purana dalam prasasti tersebut berarti “yang telah mangkat” alias almarhum. Mengenai soal ini, Saleh Danasasmita menjelaskannya secara panjang lebar dalam bukunya Mencari Gerbang Pakuan (2014) dan Nyukcruk Sajarah Pakuan Pajajaran jeung Prabu Siliwangi (2020). Intinya, prasasti itu dibuat oleh Raja Pajajaran ke-2, yakni Prabu Surawisesa, sebagai sakakala atau medium untuk mengenang (in memoriam) kebesaran ayahandanya, Sri Baduga Maharaja. Bunyi awal prasasti tersebut berarti “inilah peringatan bagi sang raja agung yang telah mangkat”.

*Kawan-kawan bisa membaca tulisan-tulisan lain mengenai sejarah

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//