• Berita
  • Peringatan September Hitam, Catatan Kelam Pelanggaran Hak Asasi Manusia di Republik Ini

Peringatan September Hitam, Catatan Kelam Pelanggaran Hak Asasi Manusia di Republik Ini

Sejumlah persitiwa pelanggaran hak asasi manusia (HAM) di republik ini terjadi di bulan September. Masyarakat sipil menuntut negara bertanggung jawab.

Suciwati, istri almarhum Munir, ketika menjawab pertanyaan diskusi Black September di IFI Bandung, 14 September 2024. (Foto: Audrey Kayla F/BandungBergerak)

Penulis Muhammad Wijaya Nur Shiddiq 20 September 2024


BandungBergerak.idDua puluh tahun telah berlalu sejak Munir Said Thalib tewas diracun dalam penerbangannya menuju Amsterdam, tepatnya pada tanggal 7 September 2004. Di  bulan yang sama, Tragedi Semanggi II, Peristiwa Tanjung Priok, hingga peristiwa penggusuran di Rempang dan berbagai wilayah lainnya telah menambah catatan kelam pelanggaran hak asasi manusia oleh pemerintah republik ini. Ketiadaan titik terang dalam rentetan tragedi tersebut menyisakan sejumlah tanda tanya perihal tanggung jawab negara yang kerap digaungkan oleh keluarga korban dan para aktivis kemanusiaan lainnya.

“September Hitam” adalah label pengingat rekam jejak gelap tersebut. Peringatan ini dihidupkan kembali dalam acara diskusi yang diadakan di Institut Français Indonesie (IFI) Bandung, 14 September 2024. Beragam sesi diskusi ini menghadirkan sejumlah pemantik diskusi yang terdiri atas keluarga korban pelanggaran hak asasi, pegiat seni, serta jurnalis.

Suciwati, istri dari almarhum Munir mengawali pemaparannya dengan menceritakan ‘Cak Munir’ sebagai sosok yang sangat lantang ketika berbicara mengenai kasus-kasus pelanggaran hak asasi berat serta membela masyarakat terpinggirkan. Di saat banyak orang lain tidak berani menunjuk para pemegang kekuasaan, di situ ia berani mengungkapkan kebenaran, menuntut keadilan, serta menunjuk para pelanggar hak asasi.

Munir dikenal sebagai sosok sederhana serta tidak mudah diiming-imingi oleh kekayaan material maupun kekuasaan. Seluruh uang yang diperolehnya dari penghargaan Right Livelihood Award di Swedia disumbangkan kepada organisasi yang didirikannya, yaitu Kontras. Integritas ini, sebagaimana yang diungkapkan Suciwati, justru merupakan hal yang absen di ruang-ruang publik.

“Siapa pun presidennya, dia harus bertanggung jawab atas pembunuhan ini,” kalimat ini diucapkan Suciwati selepas ditanya mengenai upaya-upayanya yang sudah dilakukan dalam mengungkapkan kasus pembunuhan Munir, almarhum suaminya.

Tidak dapat dipungkiri, pemufakatan jahat ini akan sulit sekali diungkap. Ia menyatakan bahwa penelusuran kasus ini telah mengalami banyak tantangan, mulai dari teror oleh aparat, kelambanan respons pemerintah, hingga kejanggalan-kejanggalan dalam pemeriksaan tokoh kunci pembunuhan.

Hal tersebut menunjukkan bagaimana pemerintah republik bekerja. Dua dekade berlalu, dari kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono hingga Joko Widodo, kasus ini tetap mengalami kebuntuan–terlepas adanya pengakuan negara mengenai sejarah kelam tersebut. Suciwati mengungkapkan skeptisismenya terhadap para pemangku kepentingan dalam penelusuran kasus pembunuhan Munir. Dokumen Tim Pencari Fakta kasus Munir bahkan tidak dihiraukan sama sekali dan tidak pernah dipublikasi hingga keberadaannya tidak diketahui.

Lantas, melihat bagaimana absennya peran pemerintah dalam pengungkapan kasus ini, yang aktor intelektualnya pun masih belum terungkap, bagaimana keberanian serta integritas dapat dirawat dan ditularkan? Suciwati menyatakan, apa pun risikonya mesti dihadapi. Sebagai tulang punggung keluarga yang juga perlu mengadvokasi kasus ini, hal tersebut merupakan beban luar biasa. Namun, ia mengungkapkan bahwa tanggung jawab pahit perlu ditunaikan sebab ia tidak ingin anak-anaknya mengalami hal serupa–atau bahkan yang lebih mengerikan.

“Ini serangan yang luar biasa terhadap orang-orang kritis dan harus diselesaikan. Kalau tidak, maka akan ada ‘Munir-Munir’ baru dalam artian buruk,” kata Suciwati.

Menurutnya, spirit perlawanan itu dilandasi oleh kecintaan terhadap republik dan orang-orang terpinggirkan. Baginya, ini bukan perihal balas dendam pula, namun menyangkut tanggung jawab negara yang perlu diberikan kepada rakyatnya. Dengan demikian, merawat ingatan untuk meminta keadilan serta tanggung jawab negara menjadi hal yang perlu dilanggengkan.

“Merawat ingatan” merupakan frasa yang kerap muncul ketika menuntut keadilan bagi para korban pelanggaran hak asasi. Sebagai pegiat sejarah, Zen R.S. menegaskan bahwa ingatan, layaknya keberanian, perlu dilatih. Ia berpendapat bahwa kita belum serius dalam melatih ingatan kita.

Melalui pengarsipan, Zen berujar bahwa kita dapat merumuskan strategi dan mengerti apa yang perlu dilakukan dengan masa lalu. Menurutnya, yang terjadi sekarang adalah kebalikannya: kita dilatih untuk lupa dengan masa lalu melalui pelajaran sejarah di sekolah yang disusun secara serampangan.

“Kita sering kali berpikir bahwa ingatan adalah sesuatu yang terberi (given), no, yang terberi adalah kenangan, bukan ingatan,” tandas Zen.  

Seperti halnya demikian, keberanian pun perlu dilatih, seperti yang ditunjukkan oleh perjuangan para pendiri bangsa. Alih-alih melalui hafalan, upaya melatih ingatan perlu dilakukan melalui aktivitas fisik, seperti berdialog dan menulis.

Upaya merawat ingatan tersebut tampak dari karya-karya Cholil, seorang musisi band Efek Rumah Kaca yang hadir dalam acara diskusi ini. Ia mengungkapkan bahwa lagu-lagunya banyak yang terinspirasi dari cerita-cerita Munir, mulai dari masa kecilnya hingga semangatnya membela masyarakat yang lemah.

Bagaimana karya seni bekerja, menurut Cholil, dapat memantik orang lain untuk mengenal lebih jauh sosok Munir dan terinspirasi darinya. “Kita semua mungkin yang berkecimpung dalam kesenian itu punya kekuatan sekaligus tanggung jawab untuk menyebarkan semangat yang sama dengan Cak Munir–misalnya untuk menegakkan hak asasi manusia,” ujarnya.

Namun, persoalan yang dihadapi bangsa saat ini, ujar Zen, adalah sistem pendidikan kita yang melatih orang untuk menghafal pelajaran sejarah tanpa diikuti dengan konteks. Sejarah tidak hanya berurusan dengan sosok dan peristiwa, namun berkaitan erat dengan konteks, yaitu mengapa seseorang mengambil keputusan tertentu pada waktu tertentu. Melalui pemahaman konteks, seseorang dapat memahami mengapa Munir merupakan sosok yang begitu berharga yang pokok-pokok persoalannya masih relevan hingga saat ini: impunitas dan persoalan hak asasi manusia yang tidak kunjung kuntas.

Berkaitan dengan masa lalu, kegagalan kolektif dalam merawat ingatan sejarah telah menumpulkan daya pikir masyarakat. Tentu, sejarah tidak berulang, namun sebagaimana yang dikatakan oleh Zen, sejarah hanya berima yang membentuk pola-pola tertentu. Pola ini pun kemudian dapat ditelisik kembali; bagaimana jejak kebengisan negara dalam menghilangkan hak asasi manusia tidak berubah selama beberapa dekade terakhir.

Diskusi Black September di IFI Bandung, 14 September 2024. (Foto: Audrey Kayla F/BandungBergerak)
Diskusi Black September di IFI Bandung, 14 September 2024. (Foto: Audrey Kayla F/BandungBergerak)

Tragedi 1965

Penelusuran pola sejarah kelam tersebut dapat ditemui dalam sesi kedua diskusi ini yang menghadirkan Bedjo Untung, yaitu saksi sejarah peristiwa Gerakan 30 September 1965, serta Ruhi selaku keluarga korban peristiwa Tanjung Priok.

Rentetan pelanggaran hak asasi manusia pasca-1965 terbilang sebagai kejahatan kemanusiaan luar biasa. Tidak hanya orang-orang komunis, mereka yang hanya terindikasi sebagai simpatisan pun haknya dirampas, seperti yang disaksikan dan dialami oleh Bedjo Untung.

Bejo Untung menceritakan pengalamannya melarikan diri ke Jakarta agar tidak ditangkap dan diinterogasi. Akan tetapi, ia ditangkap empat tahun setelah peristiwa 1965 melalui operasi intelijen yang mengakibatkannya dipenjara di Salemba dan Tangerang selama 9 tahun tanpa proses hukum.

“Kami ini salahnya apa? Sampai ditangkap dan dibuang ke Pulau Buru tanpa proses hukum,” ujar Bejo Untung.

Surat pembebasan yang diterima Bejo Untung memungkinkan bagi dirinya untuk dipanggil kembali sewaktu-waktu oleh Komando Distrik Militer. Artinya, para korban hingga saat ini masih mendapatkan persekusi dan teror.

Orkestrasi terstruktur dalam penghilangan secara paksa pasca-1965 ini masih melekat dalam ingatan Bedjo Untung. Sebagai salah satu pendiri Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan 1965-1966 (YPKP 65), ia sempat mengadakan penelitian terkait pembunuhan massal dalam peristiwa tersebut. Dia mengungkapkan, terdapat setidaknya 346 titik kuburan massal yang tersebar di seluruh Indonesia.

Tragedi Tanjung Priok

Upaya penutupan bukti sejarah itu juga tercermin jelas setelah Tragedi Tanjung Priok. Kericuhan ini dipicu oleh penindasan anggota Angkatan Darat terkait spanduk yang mengkritik pemerintah. Hal ini kemudian berujung pada penangkapan warga setempat yang disusul oleh protes masyarakat dan dilawan oleh timah panas aparat.

Dalam Tragedi Tanjung Priok, Ruhi mengatakan bahwa klaim pemerintah yang menyatakan 79 korban jauh lebih sedikit ketimbang realitanya. Dalam hal ini terdapat setidaknya 1000 jumlah korban yang juga tidak mendapatkan kompensasi sama sekali.

Ruhi mendapatkan seluruh cerita mengenai tragedi tersebut dari ibu kandungnya. Meskipun demikian, ia mengalami banyak kesulitan dalam keluarganya setelah Tragedi Tanjung Priok. Ruhi menyatakan bahwa ibunya sempat mengalami trauma. Secara ekonomi pun, ia mengungkapkan bahwa keluarganya mengalami tantangan sebab ibunya terpaksa merintis usahanya kembali dari awal.

Apabila mengacu pada Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia, para korban semestinya mendapatkan kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi. Namun, kewajiban tersebut hingga sekarang belum dilaksanakan dan bahkan para aktor kunci dari tragedi tersebut telah dibebaskan.

Baca Juga: Kiri Hijau Kanan Merah, Merawat Ingatan 20 Tahun Pembunuhan Munir
Munir sebagai Pembela Kaum Mustadhafin
Munir, Sosok Insipiratif bagi Pemuda Bandung

Produk pameran Black September di IFI Bandung, 14 September 2024. (Foto: Audrey Kayla F/BandungBergerak)
Produk pameran Black September di IFI Bandung, 14 September 2024. (Foto: Audrey Kayla F/BandungBergerak)

Tragedi Rempang

Hampir enam dekade berlalu sejak Tragedi 1965 dan 40 tahun setelah Tragedi Tanjung Priok, tanggung jawab pemerintah untuk menuntaskan kasus-kasus pelanggaran hak asasi manusia tampaknya terbayangi oleh visi pembangunan administrasi presiden saat ini dan yang akan datang. Atas nama Proyek Strategis Nasional, ruang hidup masyarakat di luar Jawa dirampas. Hilirisasi yang digadang-gadang dapat memberikan pemasukan signifikan bagi negara telah berujung pada polusi udara serta kerusakan masif terhadap lahan.

Berdasarkan kesaksian para warga Rempang dan Maluku Utara dalam acara diskusi ini, mereka semua telah dirugikan oleh proyek-proyek ‘pembangunan’ tersebut. Di Rempang, masyarakat yang terdampak pembebasan lahan dan menolak proyek pembangunan mengalami intimidasi oleh para aparat. Setidaknya 8 orang telah ditangkap setelah protes warga setempat kepada pemerintah daerah terkait penggusuran paksa dan penghancuran sarana kehidupan mereka.

Di Halmahera, eksploitasi tambang pun tampak secara terang-terangan. Narasumber mengungkapkan bahwa persepsi para penjajah dan pemerintah terhadap wilayahnya sejatinya sama, dari dulu hingga saat ini. Dari rempah hingga nikel, pengerukan sumber daya di Maluku Utara semakin menjadi-jadi seiring dampak kerusakan lingkungan hidup semakin parah. Daerah Halmahera timur yang menjadi lumbung ikan kini mengalami kesusahan ikan akibat pembabatan lahan yang berujung pada pengotoran air laut.

“Kehancuran Halmahera adalah kehancuran di Rempang dan kota-kota lain,” salah seorang peserta diskusi. Ia mebambahkan, sikap represif aparat pun tampak kentara tidak hanya di Rempang, namun di Halmahera.

Konflik-konflik dengan para pemangku kepentingan dibuat seolah-olah menjadi konflik horizontal: masyarakat pesisir dan dalam. Sementara konflik dipelihara, kehadiran aparat di wilayah-wilayah pembangunan Maluku Utara semakin kentara. Terlepas dari akses antarkampung yang terbatas oleh hutan, hampir setiap kampung di Halmahera memiliki pos-pos polisi dan tentara.

Hingga saat ini, persoalan hak asasi manusia menjadi isu yang pelik. Dengan rekam jejak presiden terpilih yang lekat dengan catatan kelam pelanggaran hak asasi manusia, kemunculan pola sejarah serupa menimbulkan kekhawatiran tersendiri. Ujung dari permasalahan ini terletak dari kehendak politik (political will) para pemangku kepentingan. Namun, selama celah dalam hukum internasional mengenai hak asasi manusia dapat dilewati, maka pemerintah akan terus bersikap permisif terhadap penghilangan, pembunuhan, dan penggusuran masyarakat.

Kondisi tersebut, meskipun memantik pesimisme, upaya menuntut keadilan dan menyuarakan hak para korban semakin krusial. Sebagaimana yang dikatakan oleh Suciwati dalam pernyataan penutupnya, penting untuk merawat ingatan sejarah ketika negara tidak pernah hadir dalam mempertanggungjawabkan pelanggarannya.

Dengan demikian ruang-ruang alternatif bagi rakyat untuk menyalurkan kebebasan berpendapatnya, seperti forum ini, kemudian menjadi sarana yang layak untuk menghimpun kekuatan serta membentuk gerakan massa terorganisasi.

*Kawan-kawan dapat membaca karya-karya lain dari Muhammad Wijaya Nur Shiddiq atau artikel-artikel lain tentang Hak Asasi Manusia

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//