• Narasi
  • Munir sebagai Pembela Kaum Mustadhafin

Munir sebagai Pembela Kaum Mustadhafin

Sudah 19 tahun pelaku utana kasus pembunuhan Munir belum terungkap. Nama pembela kaum mustadhafin ini terus hidup dan menggugat ketidakadilan.

Muhammad Akmal Firmansyah

Mahasiswa Ilmu Sejarah UIN SGD Bandung dan Jurnalis BandungBergerak.id sejak 12 Juni 2022

Aksi Kamisan Bandung memperingati September Hitam di Taman Cikapayang, Bandung, Kamis (7/9/2023). (Foto: Virliya putricantika/BandungBergerak.id)

8 September 2023


BandungBergerak.idSembilan belas tahun lalu, seorang pejuang hak asasi manusia (HAM) Munir Said Thalib dibunuh di udara. Pembunuhan ini terjadi ketika di tanah air sedang sibuk-sibuknya menghadapi Pemilu 2004 putaran kedua. Pemilu ini sangat bersejarah karena digelar secara langsung untuk pertama kalinya semenjak Indonesia terbebas dari cengkeraman Orde Baru. Waktu itu rakyat dihadapkan antara memilih Susilo Bambang Yudhoyono atau Megawati Soekarnoputri.

Marilah kita menyimak reportase naratif yang ditulis Wendratama di dalam bukunya berjudul “Kasus Munir Pembunuhan yang Sempurna? (2009)”.  Wendratama menceritakan ketika seorang istri akan menabung rindu karena sang suami akan melanjutkan studi di negeri nun jauh di sana, di Belanda. Mereka berpisah di depan pintu keberangkatan di bandara Soekarno-Hatta, Jakarta, 6 September 2004. “Sang suami, Munir Said Thalib akan melanjutkan studi S2 bidang hukum humaniter di Universitas Utrecht, Belanda,” tulis Wendratama.

Waktu menunjukan pukul 21.30 waktu Indonesia bagian barat. Penggeras suara menggema bagi seluruh penumpang pesawat Garuda Indonesia dengan nomor penerbangan GA 974 bertujuan Amsterdam agar segera naik ke pesawat. “Rombongan orang kulit putih bergegas, banyak dari mereka adalah warga negara Belanda. Munir juga akan menggunakan jasa maskapai penerbangan andalan bangsa itu,” ungkap Wendratama.

Pesawat negara, bernomor GA 97A itu memiliki kapasitas penumpang 418 dibagi menjadi tiga kelas ada bisnis, ekonomi, serta premium. Pesawat ini adalah pesawat terbesar yang dioperasikan oleh Garuda Indonesia. Boeing 747-400. Menurut Wendratama, pesawat anggota keluarga besar boeing 747 ini memiliki panjang 70 meter, jangkauan sayap 65 meter, lebar ruang kabin 6 meter, dan tinggi 19 meter, dengan kecepatan maksimal 1.093 km per jam.

Di sini, Cak Munir, sapaan akrab Munir Said Thalib, bertemu dengan Pollycarpus Budihari Priyanto, kru pesawat yang disebut extra crew sekaligus pilot Garuda. Wendratama melaporkan, Munir dan Polly bertemu di dekat pintu masuk kelas bisnis. Sebagai penumpang kelas ekonomi, Munir sebenarnya akan lebih dekat dengan tempat duduknya bila masuk melalui pintu belakang. Setelah bercakap-cakap dengan Polly, Munir pun duduk di bangku kelas bisnis nomor 3K. “Kursi 3K adalah tempat duduk Polly, sementara kursi Munir adalah 40G,” tulis Wendratama.

Lalu bagaimana yang dilakukan oleh Pollycarpus? Wendratama memaparkan, Polly selanjutnya naik ke kokpit di lantai dua untuk bersalaman dan mengobrol dengan awak kokpit yang bertugas. 

Saat pesawat akan mundur dan siap landas ke langit-langit biru, tetiba Polly dipersilahkan oleh purser Brahmanie agar duduk di tempat kelas premium karena masih banyak kursi kosong. Purser adalah orang yang bertanggung jawab atas kenyamanan seluruh penumpang. Brahmanie juga sebagai pimpinan awak kabin yang bertanggung jawab juga mengenai kepindahan tempat duduk. “Polly yang berseragam pilot kameja putih dan celana biru dongker itu duduk di 11B,”papar Wendratama.

Mengapa tempat duduk Munir berpindah? Wendratama merangkum dua pemaparan dari Brahmanie dan Polly. Dalam sidang di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Brahmanie bersaksi bahwa ketika ia di depan toilet bisnis, ia berpapasan dengan Polly. Polly sambil memegang boarding pass warna hijau, bertanya dalam bahasa Jawa.

”Mbak, nomor 40G di mana? Mbak, saya bertukar tempat dengan teman saya,” ucap Polly, tanpa menyebutkan nama temannya itu.

Karena Polly tidak menyebutkan nama temannya, Brahmanie pun menanyakannya. Ia lalu mendatangi nomor 3K, dan ternyata yang duduk di sana adalah Munir. Brahmanie kemudian menyalami Munir. Disebutkan bahwa Polly tidak duduk di 40G, tapi di premium class nomor 11B atas anjuran Brahmanie.

Wendratama juga menceritakan hasil wawancara dengan Polly tentang pertemuannya dengan Munir di pintu pesawat Garuda Indonesia di bandara Jakarta. Saat itu Munir menanyakan posisi tempat duduk yang seharusnya ia duduki.

“Saya (Polly) bilang, ‘Wah, Bapak ini di ekonomi, cuma tempat duduknya yang mana saya tidak hafal. Pesawat itu kira-kira muat 420 orang, apa bukan satu lapangan itu’. Kemudian, itu kan antre, ada banyak penumpang lain mau masuk, saya persilahkan duluan. Saya sebagai kru lebih baik ngalah, toh sama-sama naik pesawat, nggak mungkin ditinggal. Memberi kesempatan kepada penumpang itu servis, sopan santun kru kepada penumpang karena hidup kita dari penumpang, gaji kita dari penumpang, semua dari penumpang. Jadi, bagi kita, penumpang itu nomor satu. Setelah itu, karena saya mau masuk ke ruang bisnis, mau melangkah ke dalam pesawat, saya bilang kepada Munir, ‘Saya duduk di bisnis kalau Bapak mau di sini, ya Bapak Tanya dulu sama pimpinan kabin, kalau diizinkan ya silakan, bila tidak ya mohon maaf’. Bahasa saya seperti itu. Sudah, itu saja,” jelas Polly kepada Wendratama.

Pesawat siap terbang. Di kelas bisnis, seorang pramugari senior meminta para penumpang memilih gelas yang berisikan sampanye, jus jeruk, atau jus apel. Cak Munir memilih jus Jeruk. “Yeti Susmiarti…. Pramugari senior itu membagikan sauna towel (handuk panas) yang biasa digunakan untuk mengelap tangan, lalu memberikan surat kabar kepada penumpang yang ingin membaca. Semua layanan itu dilakukan Yeti sendiri, dengan bantuan Oedi Lanto, pramugara senior, yang menyiapkan segala keperluannya di pantry.”

Waktu menunjukan jam sepuluh lebih lima menit. Yang menjadi pilot pesawat adalah Kapten Pilot Sabur Muhammad Taufik. Lima belas menit setelah perjalan, Yeti kembali menawari setiap penumpang welcome drink. Munir tetap memilih jus jeruk. 

Selama 1 jam 38 menit, pesawat G4 974 terbang di atas pulau Jawa dan Sumatra serta laut di sekitarnya, lalu mendarat block on di Bandara Changi, Singapura. Awak kabin membolehkan penumpang sekitar 45 menit untuk melakukan apa saja.

Munir keluar dari pintu bisnis dan segera mencapai Coffe Bean. Setelah dari kafe itu, ia segera masuk menuju pesawat melalui pintu gerbang D2D. Di sana ia berkenalan dan bertemu dengan dr.Tarmizi dari Rumah Sakit Harapan Kita. “Saya dr.Tarmizi, Pak Munir ngapain ke Belanda?”

Tarmizi menggeluarkan kartu namanya. Dokter ini yang membantu sakit Munir saat pesawat melintas di langit Rumania.

Setelah perkelanan itu, Munir kemudian duduk di pintu bagian belakang di kuris 40G kelas ekonomi, tercantum dalam boarding pass-nya. Sementara Polly hanya sampai Singapura.

Total waktu transit di Changi 1 jam 13 menit, jumlah waktu yang digunakan pesawat untuk pengisian bahan bakar, penggantian seluruh awak kokpit, dan kabin, serta penambahan penumpang dari Singapura. Pesawat tinggal landas dari Changi pukul 01.53 waktu Singapura. Kali ini dengan awak kokpit dan kabin yang seluruhnya berbeda dari penerbangan menuju Changi. Penerbangan menuju Schipol itu dipimpin Kapten Pantun Matondang, dengan purser Madjid Nasution sebagai penanggung jawab pelayanan penumpang.

Pramugari bernama Tia Dewi Ambara sempat diminai obat mag oleh Munir, namun tidak ada obat tersebut. Munir kemudian meminta teh hangat dan diberi 1 sechet gula. Tia juga menawari Munir makan.

Kira-kira 15 menit kemudian, setelah pesawat di ketinggian aman, Tia mulai membagikan selimut dan earphone, dilanjutkan dengan pembagian makanan pengantar tidur. Saat sampai di 40G, Tia melihat lelaki berkaus abu-abu dan bercelana jins hitam itu sedang tidur.

Tia sibuk melayani penumpang lain. Di saat itu, Munir pergi ke toilet. Saat di langit India, Cak Munir semakin sering ke toilet, di jalan gang pesawat, dia bertemu dengan pramugara Bondan Hernawa. “Dia mengeluhkan sakit perut dan muntaber ke Bondan, serta memintanya memanggilkan dr.Tarmizi yang duduk di kelas bisnis. Munir juga memberinya kartu nama dokter itu,” tulis Wendratama.

Singkatnya, Munir sendiri yang akhirnya membangunkan dr.Tarmizi dari tempat duduknya. Di sana ia menuturkan rasa sakitnya dan sudah keluar masuk toilet sebanyak enam kali sejak terbang dari Singapura.

Wendratama kemudian menceritakan pemeriksaan yang dilakukan dr.Tarmizi terhadap Munir. Sang dokter menyuruh pramugari untuk membawakan Doctor’s Emergency Kit. Persediaan kesehatan di pesawat itu sangat minim.

Tarmizi membuka tasnya, memberikan obat dari kantongnya. “Dia memberi Munir obat diaere New Diabats serta obat mual dan perih kembung Zantactcs dan Promag.”

Pramugari diminta oleh Tarmizi untuk menyediakan teh hangat diberi sedikit tambahan garam. Namun, tak lama Cak Munir masuk lagi ke toilet.

Reportase Wendratama ini menceritakan detik-detik bagaimana Munir keracunan hingga akhirnya meregang nyawa di ketinggian 40 ribu kaki di langit Rumania.

Tarmizi merasa heran. “Pak Munir meninggal…kok secepat ini, ya kalau Cuma muntaber, manusia bisa tahan tiga hari,” tutur Tarmizi sebagaimana diceritakan oleh Wendratama.

Merangkum 19 Tahun Menuntut Kebenaran

November 2004, lelaki kelahiran Batu 1965 itu meninggal akibat racun arsinek yang ditemukan di dalam tubuhnya, sebagaimana dibuktikan oleh Insitut Forensik Belanda. Sebelas bulan setelah kematian Munit, pilot senior Pollycarpus Budihari Priyanto ditetapkan sebagai tersangka bersama dua kru pantry dan pramugari. Pollycarpus didakwa melakukan pembunuhan berencana. Majelis hakim pengadilan Negeri Jakarta Pusat menjatuhi Pollycarpus 14 tahun penjara.

Keputusan itu berubah setelah Mahkamah Agung (MA) menggeluarkan putusan kasasi yang menyebut Pollycarpus tak terbukti melakukan pembunuhan berencana kepada Munir. Pollycarpus kemudian hanya dinyatakan terbukti bersalah karena menggelapkan dokumen pada Oktober 2006 dan divonis 2 tahun penjara. Pollycarpus kemudian bebas dari LP Cipinang setelah mendapatkan remisi dua bulan dan bonus remisi khusus satu bulan.

Tahun berganti. 10 April 2007 tersangka baru ditetapkan, yaitu Mantan Direktur Utama (Dirut) PT Garuda Indonesia Indra Setiawan. Dia divonis penjara satu tahun pada Februari 2008.

Waktu terus berjalan. Suara-suara menuntut keadilan bergema tanpa henti. 25 Januari 2008 Mahkamah Agung mengabulkan permohonan Peninjauan Kembali (PK) yang diajukan Kejaksaaan Agung dalam kasus pembunuhan Munir. Mahkamah Agung memutuskan Pollycarpus bersalah dengan hukuman 20 tahun penjara.

Enam bulan setelah PK, tersangka baru ditetapkan, yaitu Depitu V BIN/ Penggalangan (2001-2005) Muchdi Purwoprandjono (Muchdi PR). Dia diduga kuat terlibat dalam perencanaan pembunuhan Munir. Namun, di pengunjung tahun 2008, Majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan memvonis Muchdi PR bebas murni dari segala dakwaan.

Baca Juga: September Hitam di Bandung, Negara masih Mengabaikan Pelanggaran HAM
Surat Terbuka Komite Aksi Solidaritas untuk Kasus Munir kepada Komnas HAM
Komnas HAM RI Didesak Tetapkan Kasus Pembunuhan Munir sebagai Pelanggaran HAM Berat

Mahkamah Agung Menguatkan Vonis Bebas Muchdi PR

Di tahun 2010, Mahkamah Agung menghukum Garuda Indonesia dan mewajibkan ganti rugi lebih dari 3 miliar rupiah terhadap istri Munir, Suciwati. Tiga tahun setelahnya, Oktober 2013, Polly mengajukan PK dan dikabulkan oleh MA. Hukuman sang pilot dikurangi dari 20 tahun menjadi 14 tahun penjara.

Pollycarpus kemudian bebas bersyarat berdasarkan Surat Keputusan (SK) PB yang ditetapkan oleh Menteri Hukum dan HAM RI. Ia hanya menjalani masa penahanan selama 8 tahun lebih.

Tahun 2016, Presiden Joko Widodo meminta Jaksa Agung HM Prasetyo untuk mengusut kembali kasus pembunuhan Munir. Namun, di Februari 2017 Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) membatalkan putusan Komisi Informasi Pusat (KIP) mengenai dokumen Tim Pencari Fakta (TPF) atas kematian Munir.

Suciwati pada September 2017 mengirimkan surat kepada Presiden Jokowi untuk menagih janji penuntasan kasus kematian suaminya.

Pada Agustus 2018, Pollycarpus bebas murni setelah selesai dari masa bimbingan bebas bersyarat. Di bulan September tahun yang sama, aktivis dari Amnesty Internasional mendesak Polri menindaklanjuti hasil penyelidikan serta mendalami fakta-fakta persidangan kasus Munir yang muncul. Selain itu, Polri diminta juga membentuk tim internal di kepolisian serta mendalami penganangan kasus dengan melibatkan pihak-pihak profesional.

Dari September ke September belum juga dalang intelektual pembunuhan Munit terungkap. Di tahun 2019, Koalisi Keadilan untuk Munir mendesak Presiden Jokowi mengumumkan ke publik hasil penyelidikan tim pencari fakta (TPF). Hal tersebut berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 2004 tentang Pembentukan Tim Pencari Kasus Meninggalnya Munir.

Pada September 2010, lembaga swadaya masyarakat Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindakan Kekerasan (KontraS) menuntut kasus Munir dinyatakan sebagai pelanggaran HAM berat. Sepuluh tahun kemudian, Oktober 2020, Pollycarpus tewas karena positif Covid-19.

Pada momen 18 tahun kasus Munir, Komnas HAM resmi membentuk tim ad hoc agar mengusut dugaan pelanggaran HAM berat pada kasus pembunuhan ini.

Hari ini, 7 September 2023, Komite Aksi Solidaritas untuk Munir mendesak Presiden Joko Widodo membuka dokumen laporan TPF kepada publik dan meminta Komnas HAM menetapkan kasus pembunuhan Munir sebagai pelanggaran HAM berat.

“Pertama, Presiden Republik Indonesia untuk segara membuka laporan TPF Munir kepada publik sebagaimana mandat yang tertuang dalam angka kesembilan Kepres 111/2004 tentang Pembentukan TPF Kasus Munir sebagai bentuk akuntabilitas dan transpransi pengungkapan kasus Munir. Kedua, Komnas HAM menetapkan Kasus Pembunuhan Munir sebagai Kasus Pelanggaran berat serta memberikan informasi secara jelas dan terang terhadap proses penanganan kasus pembunuhan Munir terhadap publik,” dikutip dari siaran pers di Instagram @aksikamisan, Kamis (7/9/23).

Pembela Kaum Mustadhafin

“Dan tidak melawan apa-apa itu bukan Islam,” kata Munir Said Thalib, dalam rekaman potongan video yang berasal dari film documenter berjudul “Kisah Munir Bunga Dibakar”.  Video ini beredar di media sosial, antara lain di Instagram akun instagram @Jogja_darurat_agraria.

Akun tersebut menulis keterangan video: “Islam adalah agama pembebasan. Tidak hanya bagi kaum muslim, tapi juga seluruh mahluk hidup di atas bumi. Bukan hanya rahmatan lil muslimin, tetapi juga rahmatan lil’alamin,” demikian diakses Kamis (7/9/2023).

Beredarnya potongan video ini juga menampilkan sosok Munir yang aktivis HAM dan semangat Islam sebagai perlawanan.

Munir dikenal juga sebagai Sekretaris Al-Irsyad al-Islamiyyah Cabang Batu Malang pada 1988. Hal ini diungkapkan oleh Ketua Pusat Dokumentasi Al-Irsyad Abdullah Batarfie. Menurutnya, Munir Said Thalib memiliki ikatan emosional dengan organisasi Islam ini.

“Secara emosional beliau berada dalam lingkungan keluarga Al-Irsyad, lingkungan keluarganya ya adiknya dan kakaknya sampai sekarang masih aktif di Al-Irsyad, namanya Mufid Said Thalib sekarang masih menjabat sebagai ketua cabang Batu,” kata Batarfie saat dihubungi, Kamis (7/9/23).

Husein Ja’far Al-Hadar memiliki pandangan sendiri terhadap sosok Munir yang dia tuliskan dalam artikel di Tempo, 6 September 2016. Husein menyamakan keislaman Munir dengan sosiolog Iran bernama Ali Syariati.

Munir dan Ali Syariati, bagi Husein, memiliki tesis yang sama yakni Islam yang jadi pembela kaum tertindas (mustadhafin). Menurutnya, Munir bahkan menyakini tesis tersebut sebagai misi utama Islam bagi umat manusia. Sebab, penindasan adalah fenomena yang mustahil absen dalam kehidupan dan Islam hadir dengan memberikan energi perlawanan sekaligus landasan bagi upaya itu.

“Karena itu, sebagaimana disampaikan Munir memperjuangkan HAM adalah bagian dari agama atau bahkan sebenar-benarnya jihad dalam arti “perang” yang sesuai dan dibutuhkan zamannya serta zaman kita saat ini: memerangi penindasan, ketidakadilan, dan lain-lain secara konstitusional-hukum,” tulis Husein.

Husein juga menjelaskan bagaimana keadilan Islam menjadi ruh perjuangannya Munir. Islam adalah keadilan. Dalam pandangan sebagian ulama dan mazhab Islam, keadilan diletakkan dalam ushuluddin atau dasar agama.

“Bagi dia (Munir) kemenangan sejati Islam bukanlah saat masjid sesak oleh jemaah salat, tapi saat keadilan tegak di mana Islam ada,” Husein.

Maka, tepat jika Iwan Fals menyelipkan petikan azan: hayya a’la fallah (mari menuju kemenangan) di tengah dan akhir lagu untuk Munir berjudul Pulanglah. “Munir adalah suara keadilan dan itulah sebenar-benarnya azan, suara Islam,”imbuh Husein.  

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//