• Kampus
  • Bioetanol Sorgum, Solusi Ketahanan Energi dan Pangan

Bioetanol Sorgum, Solusi Ketahanan Energi dan Pangan

Sorgum memiliki banyak potensi yang dapat dikembangkan sebagai bahan pangan, pakan ternak, bahan baku industri, dan komoditas energi.

Tanaman sorgum. (Sumber: tanamanpangan.pertanian.go.id)

Penulis Awla Rajul23 September 2024


BandungBergerak.id – Mengolah sumber alam yang berkelanjutan untuk bahan bakar dan sumber energi merupakan langkah yang harus dilakukan. Tanaman yang bisa digunakan untuk sumber pangan, sekaligus untuk sumber energi adalah solusi yang perlu dikembangkan dan dimasifkan, salah satunya sorgum. Tanaman serealia ini bisa mendorong ketahanan pangan dan sekaligus ketahanan energi.

Bambang Irawan dan Nana Sutrisna dalam “Prospek Pengembangan Sorgum di Jawa Barat Mendukung Diversifikasi Pangan” menyebutkan Sorgum bisa dimanfaatkan untuk menjadi substitusi beras dan gandum yang saat ini masih bergantung pada pasokan impor. Bambang dan Nana menegaskan kalau sorgum bisa memenuhi kebutuhan bahan pangan, bahan baku produksi industri, bahan pakan ternak, dan sumber energi. Sebagai sumber energi, sorgum bisa diolah menjadi bioetanol.

“Sorgum merupakan tanaman pangan lokal yang dapat dikembangkan pada lahan kering dan penggunaan tepung sorgum untuk pembuatan berbagai produk makanan olahan (mi, roti, kue, dst.) dapat mensubstitusi 15-50 persen tepung gandum. Berbagai produk industri lainnya dan bioetanol juga dapat dibuat dari sorgum, sementara limbah tanaman sorgum bernilai gizi tinggi untuk bahan pakan ternak,” tulis Bambang dan Nana dalam Forum Penelitian Agro Ekonomi, Volume 29 No. 2, Desember 2011: 99- 113.

Bioetanol merupakan bahan bakar alternatif yang terbuat dari etanol atau senyawa alkohol yang dihasilkan dari proses fermentasi biomassa. Bioetanol ini memiliki kelebihan yang dapat mengurangi ketergantungan pada bahan bakar fosil. Bioetanol juga diklaim lebih ramah lingkungan karena mampu menurunkan emisi CO2 hingga 18 persen.

Bambang dan Nana menuliskan kalau produktivitas rata-rata tanaman sorgum sekitar 30 hingga 50 ton per hektare. Untuk menghasilkan satu liter bioetanol dibutuhkan sekitar 22 hingga 25 kilogram batang sorgum. Keduanya menuliskan beberapa negara yang sudah menggunakan sorgum sebagai tanaman energi yang dinilai sangat potensial, seperti China, Amerika Serikat, India, dan Belgia. Di Wallonia, Belgia, sudah ada studi kelayakan yang melaporkan keberhasilan kemampuan campuran bioetanol dari sorgum.

“Sebanyak 800.000 hl etanol diperlukan untuk mencukupi kebutuhan bahan bakar E5 di Wallonia dan sumbernya berasal dari sorgum manis (70 %) dan gula bit (30 %). Studi kelayakan tersebut dilaporkan telah berhasil membuktikan kemampuan campuran bioetanol sebagai bahan bakar yang efisien, mengurangi jumlah pemakaian bahan bakar fosil dan mencegah pencemaran lingkungan,” tulis Bambang dan Nana.

Sementara itu, Lily Arlianti, mahasiswa Jurusan Teknik Kimia Universitas Islam Syekh Yusuf, dalam “Bioetanol sebagai Sumber Green Energy Alternatif yang Potensial di Indonesia” menyebutkan kalau bioetanol memiliki kelebihan karena aman digunakan sebagai bahan bakar. Titik nyala etanol tiga kali lebih tinggi dibandingkan bensin. Emisi hidrokarbon dari bioetanol dari sumber nabati pun lebih sedikit.

Sayangnya, bioetanol juga memiliki kekurangan. Seperti, pada mesin dingin lebih sulit melakukan starter apabila menggunakan bioetanol. Bioethanol pun bereaksi dengan logam seperti magnesium dan aluminium. Lily juga menuliskan, selain dari sorgum, bioetanol juga bisa diolah dari limbah buah pisang, limbah kulit nanas, limbah cucian beras, limbah susu rusak, limbah batang jagung, nira kelapa, dan limbah stroberi.

“Bioetanol akan menjadi primadona bahan bakar yang ramah lingkungan atau Green Energy di masa yang akan datang dan Indonesia dapat menjadi salah satu produsen bioetanol terbesar di dunia karena luasnya ketersediaan bahan baku. Pemanfaatan limbah sayur, buah, makanan, minuman dan lainnya sebagai bahan baku bioetanol dapat juga menjadi solusi untuk penanggulangan limbah yang akan merusak lingkungan,” tulis Lily, dalam Jurnal Keilmuan dan Aplikasi Teknik.UNISTEK, 2018, Edisi 5, Nomor 1.

Baca Juga: Warisan Buruk Jokowi untuk Transisi Energi
Menguji Klaim Kahatex Majalaya Soal Penggunaan Energi Ramah Lingkungan
Satu Dekade Basa-basi Rezim Jokowi pada Keadilan Iklim dan Transisi Energi Berkeadilan

Potensi Pengembangan Bioetanol oleh UMKM

Sorgum memiliki banyak potensi yang dapat dikembangkan sebagai bahan pangan, pakan ternak, bahan baku industri, dan komoditas energi. Sorgum pun cocok dibudidayakan di tanah yang kurang subur, tidak membutuhkan banyak perhatian, dan tahan terhadap kekeringan. Sorgum juga bisa dipanen relatif singkat, yaitu antara tiga hingga empat bulan per tahun.

“Mengingat potensi ini, tanaman sorgum dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku alternatif bioetanol yang layak secara ekonomi dengan mengintegrasikan usaha lain berbasis sorgum,” tulis Soni Solistia Wirawan dan kawan-kawan, dalam Laporan Teknologi Bioresources Jilid 25, Februari 2024, 101706 dengan judul “Menggali Potensi Sorgum Manis Indonesia: Analisis tekno-ekonomi industri bioetanol berbasis sorgum skala kecil yang terintegrasi”.

Bioetanol adalah etanol yang diekstraksi dari tumbuhan. Namun begitu, jika bahan baku bioetanol bersumber dari bahan pangan akan berdampak pada persaingan kebutuhan pangan dengan kebutuhan energi. Itulah mengapa alternatif bahan baku yang potensial untuk dikembangkan sebagai bahan baku bioetanol jatuh kepada sorgum.

Soni Solistia dkk. melakukan penelitian dengan studi kasus industri bioetanol terpadu skala kecil berbahan baku sorgum di Jombang, Jawa Timur. Dari hasil penelitian yang dilakukan, produksi bioetanol per tahun diperkirakan sebesar 960 ton dan produksi sampingannya, yaitu pelet sebanyak 16.875 ton, beras 267 ton, tepung 228 ton, dan dedak 90 ton.

“Hasil perhitungan menunjukkan bahwa pemanfaatan sorgum manis untuk bioetanol dan sampingan layak untuk dikembangkan dengan NPV sebesar Rp47,5 miliar, IRR 28,0%, dan payback period selama 4,10 tahun. Sementara itu, penurunan harga produk memiliki dampak terbesar pada ekonomi pengembangan ini. Penurunan harga produk yang melebihi 10% mengakibatkan pengembangan pabrik tidak layak,” tulis Soni Solistia dkk.

Karna Wijaya, Manager Biofuel dan Energi Hidrogen, Pusat Studi Energi UGM juga menuliskan kalau bioetanol tergolong paling mudah produksinya, murah, namun memiliki potensi keuntungan dari bisnis biofuel yang cukup besar. Bioetanol juga tergolong teknologi rendah. Sebab, masyarakat Indonesia sudah mengenal teknik pembuatan bioetanol, khususnya untuk minuman keras lokal khas, seperti ciu dan arak.

“Jadi secara teknologi kita tidak punya masalah atau sudah menguasai teknik pembuatan bioetanol sehingga seharusnya kita dapat pula mengembangkan industri bioetanol berskala besar maupun kelas UMKM atau home industry,” tulis Karna Wijaya di laman resmi Pusat Studi Energi UGM dengan judul “Bioetanol Skala UMKM dan Home Industry” yang diakses BandungBergerak, Jumat, 20 September 2024.

Bioetanol diolah dengan proses fermentasi biomassa dengan bantuan mikroorganisme. Bioetanol dengan kadar 90-94 persen merupakan tingkat industri, 94-99,5 persen tingkat netral yang biasa digunakan untuk campuran minuman keras. Sedangkan di atasnya merupakan bioetanol tingkat bahan bakar, minimal 99,5 persen.

Untuk mengonversi biomassa menjadi bioetanol diperlukan langkah-langkah sebagai berikut, proses hidrolisis pati menjadi glukosa, proses fermentasi atau konversi gula menjadi etanol dan CO2, proses distilasi untuk memisahkan bioetanol dari air, dan proses dehidrasi untuk mengeringkan atau menghilangkan sisa air di dalam bioetanol.

“Bioetanol merupakan bahan kimia yang ramah lingkungan (green chemicals, biodegradable, emisi ramah lingkungan) karena dibuat dari bahan-bahan alam yang edible maupun non edible. Hasil pembakaran bioetanol menghasilkan CO2 yang dapat dimanfaatkan oleh tanaman sehingga bioetanol sangat menjanjikan sebagai bahan bakar masa depan,” tulis Karna Wijaya.

Pengembangan Bioetanol Sorgum di Bandung

Pemerintah Kota Bandung juga mengambil momen untuk mengembangkan sumber energi baru terbarukan yang diolah dari bahan dasar Sorgum menjadi bioetanol. Pengembangan tersebut merupakan kerja sama Pemkot Bandung, melalui DKPP Kota Bandung bersama Universitas Pasundan, BRIN, Bank BRI, dan sejumlah pihak lainnya.

Kepala Dinas Ketahanan Pangan dan Pertanian (DKPP) Kota Bandung, Gin Gin Ginanjar mengatakan, Pemkot Bandung terus mengembangkan Sorgum sebagai salah satu upaya ketahanan pangan dan energi di Kota Bandung. Sebab, hampir seluruh pangan di Kota Bandung didatangkan dari luar Bandung.

“Kota Bandung ini hampir 97% pangan yang hadir di kota Bandung itu didatangkan dari luar kota Bandung. Salah satu upaya adalah dengan mengembangkan kemandirian atau ketahanan pangan dengan lahan terbatas salah satunya dengan pemanfaatan pangan lokal seperti Sorgum,” katanya pada acara Cagar Pertanian Perkebunan Perkotaan Sebagai Bentuk Ketahanan Pangan dan Energi di Seinfarm, Rabu, 18 September 2024,  dikutip dari siaran pers.

Pemanfaatan sorgum menjadi Bioetanol, menurutnya, menjadi salah satu solusi ketahanan energi Kota Bandung. Selain itu, sorgum juga telah diolah menjadi berbagai bahan pangan mulai dari beras sorgum, tepung, gula, hingga briket sebagai pengganti batu bara.

Selanjutnya bahan baku sorgum tersebut diolah menjadi produk-produk pangan yang dibuat oleh UMKM. Saat ini, kebun sorgum di kawasan Seinfarm telah mencapai 1,5 hektar. Gin Gin berharap hadirnya dukungan dari berbagai pihak mulai dari Pemerintah Pusat, Provinsi, kalangan usaha hingga akademisi agar pengembangan konsep ketahanan pangan dan energi Kota Bandung akan semakin baik.

"Hari ini kita mencanangkan bagaimana Seinfarm bisa menjadi pusat sorgum dan pusat pengembangan ketahanan pangan sekaligus mandiri di bidang pangan. Termasuk punya kemandirian atau inovasi terkait dengan energi," ungkapnya.

Sementara itu, Ketua Sorgum Center Seinfarm, Wisnu Cahyadi mengatakan, Bioetanol diolah menggunakan tape sorgum. Saat ini, produksi bioetanol tersebut masih dalam tahap kecil sebesar 100 kg per hari. Targetnya bisa mencapai 1.000 kg per hari. Ia berharap Sorgum dapat menjadi bahan pokok andalan Kota Bandung.

"Ke depan kita akan kembangkan sampai 10 hektar kurang lebih dan itu dibantu oleh Pemerintah Provinsi Jawa Barat melalui Dinas Tanaman Pangan dan Hortikultura," ujarnya.

*Kawan-kawan dapat membaca artikel-artikel lain Awla Rajul, atau tulisan-tulisan lain tentang energi

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//