• Berita
  • Menguji Klaim Kahatex Majalaya Soal Penggunaan Energi Ramah Lingkungan

Menguji Klaim Kahatex Majalaya Soal Penggunaan Energi Ramah Lingkungan

Kahatex Majalaya sudah tidak menggunakan batu bara sebagai penggerak mesin-mesin pabrik tekstilnya. Ada catatan soal rantai pasok sumber bahan bakar.

Biomassa cangkang kelapa sawit di ruangan mesin boiler PT. Kahatex Majalaya, Kabupaten Bandung, Kamis, 25 Januati 2024. (Foto: Awla Rajul/BandungBergerak.id)

Penulis Awla Rajul7 Februari 2024


BandungBergerak.id - Kahatex Majalaya merupakan perusahaan tekstil di Jawa Barat yang mengklaim telah melakukan dekarbonisasi dan diversifikasi bahan bakar. Klaim ini perlu dibuktikan dengan memastikan rantai pasok bahan bakar sejak dari hulu. Apakah betul bahan bakar yang dipakai PT. Kahatex Majalaya tidak tersangkut konflik lahan, konflik dengan masyarakat adat, atau pembukaan lahan?

Diketahui, sektor industri memiliki kebutuhan energi sangat tinggi. Sektor ini perlu melakukan upaya dekarbonisasi dengan melakukan transisi energi dan beralih ke sumber bahan bakar ramah lingkungan. Upaya ini dinilai mampu menciptakan “lapangan kerja hijau” dan meningkatkan kesadaran masyarakat dalam penggunaan energi baru terbarukan (EBT).

Kahatex Majalaya mengklaim telah menggunakan 100 persen biomassa dari cangkang kelapa sawit untuk bahan bakar boiler sebagai pengganti batu bara, menggunakan 15 persen listrik dari pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) Atap dari total penggunaannya, dan memiliki Renewable Energy Certificate (REC) dari PLN sejumlah 50 persen dari total penggunaan listrik.

Menurut Mekanik Boiler PT. Kahatex Majalaya Dodi Iskandar, pihaknya merasakan perbedaan yang signifikan antara menggunakan batu bara dan biomassa cangkang kelapa sawit sebagai bahan bakar. Batu bara lebih banyak menghasilkan limbah bottom ash atau debu beracun, sehingga cukup mengganggu saat pengoperasian mesin boiler pabrik.

“Dulu pas pakai batu bara itu abunya terlalu banyak, bottom ash. Semenjak pakai ini (biomassa) sedikit. Kadang-kadang sehari satu roda juga gak penuh, ini kapasitasnya 50 kiloan. Dari segi polusi juga lebih baik ini (biomassa) daripada batu bara, asap yang keluar ini putih,” terang Dodi kepada BandungBergerak.id yang ditemui di ruang boiler, Kamis, 25 Januari 2024.

Ia mengatakan, menggunakan biomassa membuat ruang boiler itu lebih bersih. Saat masih menggunakan batu bara, tumpukan debu membuat lantai berwarna gelap dan kerap membuatnya batuk.

“Kadang-kadang batuk juga ada. Sekarang lebih bersih karena udah ganti sama ini,” sambil menunjuk biomassa yang ada di depannya. “Pakai batu bara, aduh, ini (lantai) hitam. Debunya banyak, apalagi yang kering,” ungkap pria 37 tahun tersebut.

Pengawas Mekanik Boiler, Yoyo menyebut, sebelum menggunakan cangkang kelapa sawit pihaknya pernah mencoba menggunakan pelet kayu dan batok kelapa. Batok kelapa terkendala dengan ukurannya yang besar, sehingga untuk memperkecil ukurannya dibutuhkan waktu dan tenaga. Sedangkan pelet kayu terkendala biaya yang lebih mahal.

Jadi, pilihan jatuh pada cangkang kelapa sawit yang nilai kalorinya juga tinggi sekitar 4.700 hingga 5.000. “Iya, yang paling ideal ini (biomassa cangkang kelapa sawit). Mungkin dari segi harga juga beda, kalau wood pelet lebih mahal,” terang Yoyo.

Dalam 24 jam pabrik tekstil di Bandung selatan ini membutuhkan sembilan ton cangkang kelapa sawit sebagai bahan bakar pemanas boiler. Dalam sebulan dibutuhkan bahan bakar sebanyak 250 ton. Adapun panas yang dibutuhkan di ruang bakar sekitar 500 hingga 750 derajat celcius.

Mengenai limbah bottom ash yang dihasilkan dari pembakaran, Yoyo menyatakan ada pihak ketiga yang mengatasinya. Limbah tersebut dipakai bahan pembuatan batako.

“Ada pihak ketiga yang mengambil, kadang dua bulan kadang tiga bulan. Karena kan peraturannya juga 90 hari. Kapasitasnya kita buang biasa sembilan ton. Diambil pihak ketiga biasanya dibawa ke Cililin, buat dibikin batako, kalau gak salah dibikin batako,” terang Yoyo.

Untuk Target Nasional dan Pasar Internasional

Sustainibility Compliance PT. Kahatex Majalaya Dedi Supriadi menjelaskan perusahaan melakukan inisiatif dekarbonisasi untuk menunjukkan komitmen dalam target Emisi Nol pada sektor industri yang hendak dicapai pada 2050. Di samping itu sebagai komitmen kepada brand-brand yang membeli produk bahan jadi dari perusahaan.

“Sebagai bukti komitmen kita untuk brands yang membeli produk bahan jadi kita (Eksport) ke negara-negara Eropa, Asia hingga Amerika. Secara lokal kita punya target, dan secara internasional juga kita ada target untuk tren positif yang berkelanjutan,” terang Dedi, melalui pesan WhatsApp kepada BandungBergerak.id, Rabu, 31 Januari 2024.

Dedi menerangkan, inisiatif dekarbonisasi PT Kahatex dimulai pada 2021. Waktu itu dipasang PLTS Atap dengan kapasitas solar panel 81.8 kWp dengan inverter berkapasitas 66 kVa. Kemudian pada tahun 2023, dipasang lagi PLTS Atap dengan kapasitas solar panel 409.84 kWp dan kapasitas inverter 320 kVa yang bekerja sama dengan pihak ketiga dengan sistem penyewaan. Menurutnya, penggunaan PLTS Atap dapat menghemat biaya energi per tahun sebanyak 8-14 persen.

PLTS Atap tersebut dipasang di salah satu bagian bangunan. Terdapat 752 modul solar panel, yang berbaris sepanjang 29 string di atas atap. Dedi membeberkan, pihaknya memutuskan untuk bekerja sama dengan pihak ketiga karena pertimbangan investasi yang besar. Dengan skema kerja sama ini, Kahatex Majalaya hanya perlu membayar bulanan. Pihak ketiga sepenuhnya yang mengelola, melakukan pemeliharaan dan pemantauan.

Adapun inisiatif penggunaan biomassa sebagai pengganti batu bara dimulai pada tahun 2021, sebuah inisiatif yang bermula dari kebutuhan brand. Pada April 2022 hingga Juli 2023, perusahaan tekstil dan garmen ini menggunakan skema oplos bahan bakar (co-firing) biomassa sebanyak 30 hingga 50 persen.

“Di awal 2023 baru 50 persen. Barulah pada Agustus 100 persen menghilangkan barubara. Untuk net zero target di 2025, jadi kita akan terus konsisten pakai biomassa,” jelas Dedi saat memberikan paparan di ruang meeting PT. Kahatex Majalaya pada kunjungan Jelajah Energi Jabar yang digagas  Institure Essential Services Reform (IESR), Kamis, 25 Jamuari 2024.

Ia juga mengklaim, manfaat positif yang didapatkan dari dekarbonisasi adalah pengurangan emisi dan polusi dari pembakaran bahan bakar di boiler pabrik. Sebab jarak boiler ke pemukiman warga relatif dekat. Pembakaran dengan biomassa dinilai memberikan “keamanan” kepada warga dalam jangka waktu yang panjang.

Di samping itu, PT. Kahatex Majalaya juga membeli REC kepada PLN sebanyak 50 persen dari total keseluruhan listrik yang dipakai. Renewable Energy Certificate adalah salah satu produk layanan PLN bagi konsumen yang membutuhkan bukti penggunaan renewable energi yang diakui secara internasional.

Kepemilikan REC juga diklaim menjadi bagian komitmen turut serta menjaga kelestarian lingkungan hidup. Sederhananya, PLN akan “mengalirkan listrik” ke perusahaan maupun perorangan yang memiliki REC dari pembangkit energi terbarukan, seperti PLTA, PLTS, maupun PLTP.

Dedi membeberkan, REC yang dimiliki oleh Kahatex Majalaya bersumber dari Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) Ulubelu atau geothermal. Ia membeberkan, perusahaan memang harus merogoh tambahan kas perusahaan senilai 135 juta rupiah per tahun untuk membeli sertifikat ini.

Produk “hijau” atau ramah lingkungan memang tengah menjadi primadona, baik lokal maupun skala global yang ditandai dengan berbagai sertifikasi atau label. Dedi menyebut, pihaknya telah memiliki berbagai sertifikasi dan label produk ramah lingkungan untuk kebutuhan brand.

Upaya dekarbonisasi yang dilakukan oleh perusahaan yang telah berdiri sejak 1979 ini, selain untuk target nasional dan internasional, juga memberi keuntungan untuk perusahaan, yaitu “mendapat partnership dari brand”. Bahan jadi yang diproduksi oleh Kahatex diekspor ke pasar internasional. Pasar global mensyaratkan produk yang dihasilkan dan dipasarkan “ramah lingkungan”, ditandai dengan sertifikasi dan label.

“Jadi kita mengikat komitmen mereka itu lebih keras dan mereka juga untuk menghadapi persoalan climate ini di internasional. Karena kita ekspornya harus mengikuti standar secara global. Makanya kita secara cost memang besar, tapi secara jangka panjangnya dapat kepercayaan dari brand dan secara emisi kita tetap rendah,” ungkap Dedi.

Koordinator Proyek Dekarbonisasi Industri IESR Faricha Hidayati menyebutkan, transisi penggunaan bahan bakar biomassa merupakan upaya untuk mengurangi ketergantungan penggunaan bahan bakar fosil. Transisi energi yang dilakukan oleh industri tekstil dapat menurunkan emisi di dua cakupan.

“Dengan melakukan transisi energi, industri tekstil berpotensi menurunkan emisi cakupan 1 (kegiatan dari produksi dan penggunaan energi langsung) dan cakupan 2 (pemakaian listrik) hingga 47 persen. Agar potensi ini dapat tercapai, dibutuhkan dorongan pemerintah untuk mempercepat transisi energi dari sisi penyedia energi, namun juga dari sisi pengguna energi, termasuk di antaranya sektor industri,” ungkap Faricha Hidayati.

PLTS Atap di salah satu bagian gedung pabrik industri PT. Kahatex Majalaya, Kabupaten Bandung, Kamis, 25 Januati 2024. (Foto: Awla Rajul/BandungBergerak.id)
PLTS Atap di salah satu bagian gedung pabrik industri PT. Kahatex Majalaya, Kabupaten Bandung, Kamis, 25 Januati 2024. (Foto: Awla Rajul/BandungBergerak.id)

Rantai Pasok Biomassa dan Komitmen Pemerintah

Cangkang kelapa sawit yang digunakan untuk bahan bakar boiler pabrik tekstil Kahatex diklaim berasal dari kelapa sawit yang telah tersertifikasi RSPO (Roundtabel on Sustainable Palm Oil). Menurut Sustainibility Compliance PT. Kahatex Majalaya Dedi Supriadi, pasokan cangkang kelapa sawit didapatkan dari Jakarta.

Manajer Pendidikan dan Kaderisasi Walhi Jawa Barat Klistjart Tharissa Bawar mengapresiasi langkah dekarbonisasi yang dilakukan oleh PT. Kahatex Majalaya, yang dimulai dari penggunaan energi dan biomassa. Meski demikian, ia memberikan catatan, penting juga untuk memastikan rantai pasok biomassa sejak dari hulu rendah karbon. Selain itu melakukan langkah dekarbornisasi lainnya yang terstruktur.

Caca, demikian ia kerap disapa, sertfikasi RSPO merupakan salah satu cara untuk memasarkan kelapa sawit hingga ke pasar internasional. Namun begitu, berdasarkan pemantauan yang dilakukan pihaknya, aspek pengawasannya masih lemah. Seperti masih adanya data-data terkait pelaporan konflik lahan, konflik dengan masyarakat adat, hingga pembukaan lahan.

“Jadi maksudnya dengan aspek-aspek keadilan sosialnya juga berarti dipinggirkan dong. Prinsip-prinsip dekarbonisasi itu kan ada rantai yang harus dihitung juga kan, apalagi ini industri besar. Jadi aku liatnya kayak, oke di hilirnya di PT ini ngeklaim ini udah mengurangi karbon. Tapi kalau di rantai pasok hulunya juga itu masih menghasilkan karbon yang besar kan jadi masih sama saja,” terang Caca saat dihubungi BandungBergerak, Sabtu, 3 Februari 2024.

Di samping itu, Caca juga memberikan catatan kepada pemerintah mengenai revisi peraturan penggunaan PLTS Atap maksimal 15 persen dari total penggunaan listrik. Menurutnya, pembatasan ini memperlambat proses untuk mencapai target bauran EBT. Ibaratnya, pemerintah memasang target yang ambisius tapi menaruh batas insiatif dekarbonisasi yang dilakukan oleh masyarakat dan industri.

“Padahal kan target bauran transisi energi cukup ambisius. Tapi dengan adanya peraturan ini, mungkin ini juga jadi kontradiksi. Kayak ada peraturan yang ambisius tapi ada peraturan yang malah membatasi mereka gitu kan untuk bertransisi menggunakan PLTS Atap,” ungkap Caca.

Caca juga memberikan catatan, agenda transisi energi ini jangan dipandang sebatas “bisnis” semata yang bisa mendulang keuntungan besar. Isu transisi energi harus dilihat secara komprehensif dan progresif untuk perlindungan terhadap lingkungan, iklim, isu keberlanjutan, keadilan dan pelibatan masyarakat.

Baca Juga: Menikmati Listrik dari Matahari Cirata, PLTS Berpotensial Dibangun di Laut
Peran PLTA Cirata Amat Tergantung pada Upaya Menjaga Kelestarian Lingkungan
Energi Listrik Rasa Kopi Gununghalu, Mengolah Alam Tanpa Harus Merusak Lingkungan

Keniscayaan Dekarbonisasi Industri dan Masyarakat

Sektor industri memang memegang posisi tiga besar yang menghasilkan emisi paling besar, di samping sektor transportasi dan pembangkit listrik. Dosen Teknik Kimia Swiss German University Bidang Energi dan Lingkungan, Irvan Kartawiria menegaskan sektor ini memang penting untuk melakukan upaya pengurangan emisi karbon. Sebab, upaya dekarbonisasi tak bisa dilakukan hanya satu sektor saja.

Irvan menjabarkan, sektor industri sedikitnya dapat melakukan tiga upaya dekarbonisasi, mengurangi pemakaian energi, menggunakan listrik bersumber dari energi baru terbarukan (EBT), dan memodifikasi proses industri yang rendah emisi.

Di samping itu, memang banyak sertifikasi maupun label “hijau” dan “ramah lingkungan” untuk berbagai produk, mulai produk konsumsi, pakaian, dan lainnya. Irvan berpendapat, sertifikasi maupun labeling ini merupakan dorongan kepada industri untuk melihat isu lingkungan berbasis kacamata bisnis.

Irvan juga menyebut, sertifikasi dan labeling ini juga dipandang sebagai insentif dari masyarakat, jika suatu produk sudah “hijau” maka ia memiliki pasar dan insentif dari pemodal bahwa ia bisa mendapatkan investasi yang lebih besar. Singkatnya, sertifikasi dan labeling “hijau” ini merupakan cara membahasakan persoalan lingkungan menggunakan perspektif bisnis. Upaya ini juga dinilai sebagai cara menciptakan ekosistem hijau yang mendorong transisi energi dan terciptanya lapangan kerja hijau (green jobs).

“Bisa dianggap itu sebagai insentif besar untuk industri sehingga mereka akhirnya melihat ini dari kacamata bisnis, bahwa membuat produk hijau atau melakukan upaya dekarbonisasi itu adalah langkah yang reasonable secara bisnis. Dan sebenarnya ini yang jadi bagian dari green job itu yang jumlah pekerjaan baru yang terbentuk karena transisi energi,” ungkap Irvan kepada BandungBergerak.id melalui sambungan telepon, Kamis, 1 Februari 2024.

Selain itu, Pakar Kebijakan Fiskal bidang Energi Universitas Indonesia (UI), Lili Sofitri memaparkan bahwa pemerintah tengah berupaya agar tidak hanya industri, tetapi masyarakat pun bisa bertransisi energi. Meski yang masih menjadi kendala utama adalah pembiayaan, di samping masih minimnya edukasi, dan pengetahuan soal pemeliharaan.

Lili menerangkan, ada beberapa “solusi” skema bisnis yang muncul karena persoalan pembiayaan ini. Solusi pertama adalah investasi dengan skema beli putus. Skema ini biasanya berlaku bagi industri maupun individu yang telah cakap dan mampu melakukan pemeliharaan.

Namun, bagi yang masih memiliki keraguan, terdapat solusi investasi yang fleksibel. Artinya, antara penyedia barang dan jasa dengan pembeli bisa menyepakati persoalan pemeliharaan, operasional, dan lainnya.

“Nah tapi ada skema yang lain lagi misal itu berat, yaitu sewa menyewa. Artinya gak harus invest, jadi sewaktu-waktu misalnya aku gak mau pakai lagi, bisa ditarik. Nah yang sewa menyewa ini yang menjadi favorit sekarang. Karena pertama kan gak ada resiko investasi baik dari perusahaan atau individu,” terang Lili melalui sambungan telepon, Kamis, 1 Februari 2024.

Lili menyebut tidak menutup kemungkinan saat edukasi dan pengetahuan telah merata mengenai transisi energi, tidak hanya industri, masyarakat juga bisa beralih. Salah satu kunci utamanya adalah membangun ekosistem.

“Jadi saya membayangkan transformasi transisi energi itu berhasil jika makin banyak produsen dan makin banyak tumbuh pasarnya. Dan makin banyak juga industri atau masyarakat justru yang mencoba, yang beli. Dan masyarakat akan berpikir juga kalau dihitung lebih hemat ternyata pakai rooftop (PLTS Atap). Umumnya konsumen itu akan beralih kalau, apalagi emak-emak ya, bayar listriknya murah dan mudah,” ungkap Lili.

*Kawan-kawan yang baik bisa membaca tulisan-tulisan lain dari Awla Rajul atau artikel lain tentang Energi dan Proyek Strategis Nasional

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//