• Berita
  • Duo Muller Menghadirkan Saksi yang Menyatakan Bahwa Mereka Keturunan Sah Muller

Duo Muller Menghadirkan Saksi yang Menyatakan Bahwa Mereka Keturunan Sah Muller

Keterangan saksi dianggap palsu oleh warga Dago Elos. Saksi juga tidak pernah melihat dokumen resmi terdakwa menyandang nama Muller.

Sidang perkara penipuan dokumen tanah Dago Elos menghadirkan saksi-saksi dari pihak keluarga Muller, di Pengadilan Negeri Bandung, Kamis, 26 September 2024. (Foto: Awla Rajul/BandungBergerak)

Penulis Awla Rajul28 September 2024


BandungBergerak.id - Persidangan pidana yang menyeret duo Muller atas perkara pemalsuan dokumen tanah di Dago Elos berlanjut pada agenda menghadirkan sejumlah saksi dari pihak kedua terdakwa. Duo Muller dan penasihat hukum membawa tiga orang saksi fakta di persidangan, ketiganya memberikan keterangan dan kesaksian bahwa Dodi Rustendi dan Heri Hermawan adalah keturunan Edi Eduard Muller dan cucu dari George Hendik Muller.

Saksi-saksi yang dihadirkan oleh terdakwa dan penasihat hukum adalah Andi Arfan, Utang Rahmat, dan Rasdi, pada persidangan yang digelar di Pengadilan Negeri Bandung, Kamis, 26 September 2024.

Andi Arfan mengaku mengenal Edi Eduard Muller dari kakaknya yang menjalani bisnis padi. Ia mengetahui Edi Eduard Muller menikah dengan Sarah Sopiah, warga Rancaekek Wetan yang kemudian dikaruniai tiga orang anak, yaitu Dodi Rusteni, Heri Hermawan, dan Pipin Sandepi. Ia menyebut Edi dan Sarah, orang tua kedua terdakwa bercerai di tahun 1975.

“Tahun 2006 (Edi Eduard meninggal), sakit. Justru waktu itu saya tidak datang ada kegiatan. Kakak saya yang datang,” ungkap Andi yang menyebut Edi Eduard Muller meninggal di Rancaekek di rumah Heri Hermawan.

Namun begitu, Andi menyebut kakaknya baru mulai berbisnis padi dengan Edi tahun 1987. Ia juga mengenal Edi, ayah kedua terdakwa sebagai pemain sepak bola kampung dan pernah menjadi pelatih bola remaja. Andi juga menyebut ia memanggil Edi Eduard Muller sebagai Edi atau Edice. Ia pun mengaku pernah melihat KTP dan mengaku menyimpan fotokopiannya.

“Kakeknya Hendrikus Wilhelmus Muller, anaknya George Hendrik Muller, ayahnya Edi. Tapi saya gak pernah liat langsung, itu dari peninggalan (berkas) kakak saya,” jawab Andi terkait pengetahuan silsilah keluarga Muller. “Keluarga pak Edi ada komitmen (bisnis padi) dengan kakak saya. Mungkin karena ada ikatan, urusan, jadi langsung aja terus (berhubungan). Kalau saya hanya tau aja.”

Sepengetahuannya pula, nama anak-anaknya Edi dulu tidak menggunakan nama belakang Muller. “Ada nama Muller sekarang-sekarang ini, dulu enggak pake,” katanya. Ia juga meyakini para terdakwa adalah benar keturunan sah dari Edi Eduard Muller lantaran dulu ia sering bertemu dengan Edi bersama kakaknya.

Ia juga yakin dengan keterangannya. Ia turut hadir saat persidangan penetapan ahli waris (PAW) di Pengadilan Agama Cimahi. Kakaknya yang meninggal di tahun 2016 itu pun disumpah menjadi saksi di persidangan. Ia mengaku tidak tahu terkait adanya dua akta kelahiran dari Edi Eduard Muller. Tetapi ia mengaku pernah melihat akta kelahiran Edi dari berkas-berkas kakaknya. Akta itu berbahasa Belanda dengan nama yang tertulis adalah Edi Eduard Muller.

“Kalau itu bukan ranah saya atau kakak saya (soal tanah Dago Elos). Saya gak ada ikatan dengan itu,” ketika ditanya pernah tahu atau tidak soal kepemilikan lahan Muller di Dago Elos.

Heri Hermawan mengaku keberatan terkait keterangan Andi soal akta ayahnya. Heri menyebut akta yang pernah dilihat oleh Andi semestinya yang bertuliskan Muller, sama seperti dokumen yang ia bawa.

Sementara Utang Rahmat, saksi lainnya yang dihadirkan, mengaku memiliki hubungan saudara dengan terdakwa. Nenek dari kedua terdakwa, yang dipanggil sebagai Irus, nama aslinya Rusmah, adalah uwanya. Ia menyebut, Rusmah menikah dengan Muller, ia tidak mengetahui nama lengkap sosok Belanda yang bernama George Hendrik Muller itu.

Di samping itu, menurut Utang Rusmah dan Muller dikaruniai beberapa orang anak, di antaranya adalah Edi Eduard dan Dora Muller. Ia pun mengaku mengenal dengan Edi dan tahu Edi memiliki tiga orang keturunan, yaitu Heri, Dodi, dan Pipin.

“Iya, anak dari Edi Eduard, ibunya itu Sarah,” Utang mengamini bahwa kedua terdakwa adalah keturunan sah dari Muller.

Utang juga menyebutkan, Edi semasa hidupnya tidak bekerja. Ia hanya mengetahui Edi memiliki keahlian angkat besi, binaragawan, kiper sepak bola, dan wasit di Rancaekek. Utang tahu Edi dan Sarah bercerai di tahun 1975. Tetapi ia tidak tahu kapan keduanya melangsungkan pernikahan.

Sebagai kerabat, ia menyebut Sarah, ibu dari terdakwa masih hidup. Tetapi ia tidak tahu kapan Edi meninggal. Ia juga menyebut kalau salah satu saudara Edi masih ada di Belanda, tetapi putus hubungan. Namun begitu, ia tidak tahu perkara pemalsuan dokumen atau akta untuk mengklaim tanah di Dago Elos.

“Kalau informasi masih ada di Belanda (Dora). Cuma putus hubungan,” katanya.

Punya Banyak Lahan Eigendom

Rasdi, seorang warga Cileunyi, saksi yang dihadirkan lainnya mengaku dirinya mengenal dengan Edi Eduard Muller dan memiliki hubungan bisnis untuk mengurus tanah Eigendom Verponding. Menurut Rasdi, Edi memiliki banyak Eigendom Verponding atas nama George Hendrik Muller yang tersebar di daerah Cicalengka, Nagreg, Garut, Jalan Sumatera, Bandung, dan Jalan Riau, Bandung.

Rasdi juga menyebut, sosok ayah kedua terdakwa itu dikenal sebagai Edi Muller, Muller Edi, dan Eduard Muller. “Itu orang yang samalah,” kata Rasdi.

Ia pertama kali mengenal Edi Muller ketika dipertemukan oleh Endang Sarbini, di Rancaekek. Endang Sarbini merupakan sahabat Edi. Dalam pertemuan di tahun 1995 itu, Edi menawarkan sebuah lahan di Desa Dampit, Cicalengka, atas nama George Hendrik Muller dengan dokumen Eigendom Verponding.

Rasdi mengaku, lahan Eigendom di Dampit berhasil diurus menjadi sertifikat seluas 10 hektare. Ketika mengurus itu, Edi Muller disebut masih hidup. Semasa hidupnya, kata Rasdi, Edi pernah bercerita kalau anaknya ada tiga orang dan Edi memiliki adik bernama Dora di Belanda.

“(Kenal) dari dulu saya dekat sama bapaknya (terdakwa) 1995-1996,” ungkap Rasdi.

Rasdi menyebut, Edi memang memiliki tanah di Dago Elos. Kerabat Rasdi yang dikenal sebagai Didi Gondrong juga tinggal di sana. Ia pun mengaku pernah datang ke Dago Elos tahun 2000an bersama Edi untuk melihat lahan yang telah menjadi permukiman warga.

“Memang punya di situ (Dago Elos). Tapi muncul sertifikat bodong. Saya yang Dago gak urus pak. Saya (mengurus) yang Dampit sama Limbangan aja pak, di daerah,” katanya.

Rasdi juga menerangkan, beberapa sosok yang sangat paham terkait objek kepemilikan lahan Eigendom Verponding atas nama George Hendrik Muller sudah meninggal, salah satunya bernama Oceng. Meski begitu, Rasdi mengakui tidak tahu apa perbedaan rekh eigendom verponding dengan eigendom verponding. JPU lantas menegaskan bahwa rekh eigendom adalah bukti kepemilikan lahan, sementara eigendom verponding adalah bukti pembayaran pajak.

Namun, ia mengaku memang pernah lihat eigendom verponding atas nama George Hendrik Muller yang berbahasa Belanda. Ia juga mengaku pernah melihat akta kelahiran dari Edi Muller. “Awal pertama kali itu yang saya lihat,” ungkapnya.

Di persidangan, Rasdi bersaksi bahwa Didi Gondrong merupakan kerabatnya yang meninggal sekitar tahun 2000an. Sementara itu, usai persidangan, Yani Uthun, warga Dago Elos menyebut bahwa keterangan yang disampaikan oleh saksi Rasdi kemungkinan palsu. Ia menyatakan demikian sebab Yani adalah anak kandung Didi Gondrong.

“Bapak saya itu memang banyak kenalannya, tapi kalau kerabat yang dari Cileunyi emang gak ada. Yang beliau (Rasdi) bilang meninggal itu tahun 2000 meninggal, bapak saya itu meninggal tahun 1998. Palsu, itu sudah pasti palsu. Saya juga kalau boleh dipertemukan sama saksi saya pengin ngobrol, saya mau tanya ke keluarga besar,” ungkapnya, setelah persidangan.

Yani menyebut kalau orang tuanya dulu memang memiliki banyak teman yang sudah seperti saudara sendiri. Tetapi, orang tuanya pasti mengenalkan ke keluarga, mau dari Indramayu, Cirebon, maupun daerah lainnya. Ia mengaku tidak pernah tahu kalau ayahnya punya kerabat dekat bernama Rasdi, orang Cileunyi.

“Yang saya tau kerabat bapak yang sampai jadi kayak saudara itu Tanjungsari, Cirebon, Indramayu. Kalau dari Bandung paling juga dari Cicaheum,” ungkapnya.

Pada persidangan pembuktian dan kesaksian terakhir dari pihak terdakwa yang akan diselenggarakan pada Senin, 30 September 2024 mendatang, penasihat hukum mengaku akan menghadirkan secara bersamaan saksi fakta lainnya dan beberapa saksi ahli.

Baca Juga: Sewindu Sudah Warga Dago Elos Turun ke Jalan, dari Festival Kampung Kota ke Pengadilan
Sidang Pemalsuan Dokumen Tanah Dago Elos, Jaksa Berharap Majelis Hakim Menolak Nota Keberatan Terdakwa Duo Muller
Warga Mengawal Sidang Pemalsuan Tanah Dago Elos, Kuasa Hukum Keluarga Muller Meminta Jangan Sebut Mereka Mafia Tanah

Mendesak Pengembangan Kasus

Pascapersidangan, Angga, Ketua Forum Dago Melawan mengumumkan pihaknya melayangkan surat ke Kejaksaan Tinggi (Kejati) Jawa Barat untuk melakukan pengembangan kasus. Menurutnya, kasus sengketa tanah di Dago Elos bukanlah tindak pidana biasa, melainkan erat kaitannya dengan modus praktik mafia tanah.

Ia menegaskan, seharusnya yang ikut terseret pada kasus tindak pidan bukan hanya Muller bersaudara, tetapi seluruh pihak-pihak yang terlibat, di antaranya pemilik PT. Dago Inti Graha, Jo Budi Hartanto, dan Direkturnya Orie Agus Chandra.

“Kami mendorong pelaporan untuk Jo Budi Hartanto dan Orie Chandra dan kroni-kroninya bersamaan dengan sidang Muller berjalan, akan kita segerakan. Jika bisa terseret, maka akan semakin dekat kemenangan kita melawan mafia tanah,” ungkap Angga, di atas mobil komando usai persidangan.

Dalam siaran persnya, Forum Dago Melawan menilai keterangan yang disampaikan Jo Budi Hartanto dan Orie Agus Chandra di persidangan bertentangan. Keduanya dinilai hendak “cuci tangan” agar keluar dari jerat hukum. Forum Dago Melawan juga meyakini, pernyataan Jo Budi Hartanto, Orie Agus Chandra, dan Tri Nurseptari di persidangan adalah kebenaran nyata bahwa mereka terlibat dan bertanggung jawab dalam setiap perencanaan untuk merampas tanah di Dago Elos.

“Satu hal yang harus kita ingat, bahwa mereka melakukannya dengan sengaja dan sadar, bersiasat bersama tersistematis, tanpa pernah mempertimbangkan sedikit pun hak hidup ribuan jiwa yang menguasai tanah Dago Elos, demi kepentingan dan keuntungan bisnis mereka,” dikutip dari siaran pers Forum Dago Melawan.

Forum Dago Melawan pun menuntut agar Kejati Jawa Barat mengeluarkan rekomendasi tegas terarah kepada JPU dalam penanganan kasus untuk juga menguak dan mengusut tuntas seluruh pihak yang terlibat. Kejati juga dapat berkoordinasi secara terbuka dengan para korban, yaitu warga Dago Elos yang diwakili Forum Dago Melawan.

Di samping itu, Forum Dago Melawan juga mendorong agar Kementerian ATR/BPN melalui Satgas Antimafia Tanah untuk melakukan Gelar Perkara atas kasus Dago Elos. Upaya ini merupakan bentuk keseriusan negara untuk memberantas Sindikat Mafia Tanah.

*Kawan-kawan yang baik bisa membaca tulisan-tulisan lain dari Awla Rajul atau artikel-artikel lain tentang Dago Elos

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//