• Berita
  • Kebijakan Penetapan Uang Kuliah Tunggal UPI Meresahkan Mahasiswa

Kebijakan Penetapan Uang Kuliah Tunggal UPI Meresahkan Mahasiswa

Tim advokasi mahasiswa UPI mencatat sedikitnya ada 8 calon mahasiswa, dua di antaranya dari jalur SNBP (prestasi) yang mengundurkan diri terkait UKT.

Kegiatan mahasiswa di Sekretariat Keluarga Mahasiswa FIP UPI Bandung, 6 September 2024. (Foto: Ivan Yeremia/BandungBergerak)

Penulis Ivan Yeremia2 Oktober 2024


BandungBergerak.idSejumlah mahasiswa Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) resah menghadapi kebijakan Uang Kuliah Tunggal (UKT) yang membingkungkan. Keresahan ini muncul setelah keluarnya peraturan Permendikbudristek No. 2 tahun 2024 di mana kampus diberikan otonomi lebih untuk menentukan besaran UKT pada mahasiswanya dengan skema konsultasi antara direktorat jenderal akademik dan kementrian.

UPI kemudian menambah jumlah golongan UKT yang semula 8 golongan menjadi 11 golongan. Kebijakan ini menimbulkan gelombang pertentangan dari berbagai pihak termasuk juga mahasiswa UPI. Hasilnya, Kemendikbud mengirimkan surat Nomor 0511/E/PR.07.04/2024 kepada Rektor PTN dan PTN-BH terkait pembatalan kenaikan UKT. Maka, UPI kembali lagi pada pembagian UKT menjadi 8 golongan.

Meskipun demikian, sudah ada mahasiswa baru jalur SNBP  (jalur prestasi rapot) yang mendapatkan UKT golongan 9-11 dan sudah membayarkannya pada pihak kampus. Pertanyaan yang muncul, apakah mahasiswa yang mendapatkan golongan tersebut harus tetap membayar dengan nominal yang sama atau ada pengembalian dan penyesuaian ulang dari pihak kampus.

Salma Fahira (20 tahun) dan Tiara Putri (21 tahun), tim advokasi untuk mahasiswa Fakultas Ilmu Pendidikan UPI mengatakan, saat ini pihaknya masih menunggu keputusan dari Rektorat UPI mengenai mahasiswa yang sudah membayarkan UKT dengan golongan 9-11.

Advokat lain dari Himpunan Mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Davina (19 tahun) juga resah akan hal tersebut. Ia meminta pihak kampus memberikan edaran yang jelas agar para mahasiswa bisa berkuliah dengan tenang.

"Aku sempat nanya Pak Dion (salah satu staf direktorat keuangan UPI), katanya mah nanti akan ada cashback untuk mahasiswa golongan 9-11. Semua jadinya akan dipukul rata di golongan paling tinggi (golongan 8)," ungkap Davina, kepada BandungBergerak.

Mahasiswa angkatan 2022 ini merasa masih kebingungan dengan perkataan pihak kampus. Apakah semua mahasiswa harus meminta cashback secara mandiri atau akan ada pengembalian secara kolektif.

Davina menyebutkan, UPI harus segera mengeluarkan pernyataan resmi nasib dari mahasiswanya tentang biaya kuliah yang harus mereka bayar. Apalagi di UPI tidak bisa melakukan penurunan biaya UKT. Menurutnya, mahasiswa yang sudah mendapatkan golongan 8 seharusnya sampai lulus pun tetap membayarkan jumlah yang sama tiap semesternya.

Ditemui Tim Bandung Bergerak, Kepala Humas UPI Suhendra mengungkapkan, mahasiswa harus bersabar menunggu edaran resmi dari UPI.

"Kalau hanya perkataan saja saya rasa belum bisa dipegang. Memang harus menunggu kepastian dari direktorat keuangan langsung. Apalagi saya baru dengar tuh ada istilah cashback" ujar dosen yang telah mulai mengajar dari tahun 1991 tersebut, saat ditemui di kantornya, 6 September 2024.

Baca Juga:UKT Batal Naik, Sekadar Omon-Omon Belaka?
Menaikkan Uang Kuliah Tunggal, Melupakan Amanat Undang-undang
Cerita Barista Paruh Waktu Mahasiswa Bandung, Mandi Keringat Demi Tambahan Uang Kuliah

Kantor Unit Layanan Terpadu UPI Bandung,  6 September 2024. (Foto: Ivan Yeremia/BandungBergerak)
Kantor Unit Layanan Terpadu UPI Bandung, 6 September 2024. (Foto: Ivan Yeremia/BandungBergerak)

Momok UKT

Masalah UKT nampaknya tidak akan pernah selesai dibahas. Selalu saja akan ada permasalahan-permasalahan baru. Suhendra yang telah 5 tahun menjadi staf ahli rektor UPI merasa bahwa penghitungan pembagian golongan sudah dibuat dengan adil dan bijaksana. Tetapi data di lapangan tidak menunjukkan hal demikian.

Dari data yang dihimpun oleh advokat Fakultas Ilmu Pendidikan (FIP) sebanyak 41 persen atau 276 mahasiswa baru merasa keberatan dengan nominal UKT UPI. Banyak dari mahasiswa tersebut merasa besaran UKT memberatkan keluarga mereka. Ada mahasiswa yang orang tuanya menjadi pedagang dan hanya berpenghasilan 1 juta rupiah tetapi mendapatkan UKT 3 juta rupiah. Ada juga mahasiswa yang orang tuanya sudah pensiun tetapi mendapatkan UKT 5,7 juta rupiah.

Imbasnya adalah beberapa mahasiswa mengundurkan diri karena tidak sanggup membayar UKT. Ada 8 calon mahasiswa dari Fakultas Ilmu Pendidikan yang mengundurkan diri, dan 2 di antaranya adalah mahasiswa yang diterima melalui jalur SNBP.

Padahal jelas bahwa peraturan yang dikeluarkan oleh Kemendikbud menyatakan, apabila siswa lolos jalur SNBP maka siswa tersebut tidak lagi dapat mendaftarkan diri menjadi mahasiwa di PTN mana pun melalui jalur apa pun.

Mengenai hal tersebut, Suhendra menganggap bahwa setiap mahasiswa yang mengundurkan diri sebenarnya bisa mendapatkan penyelesaian masalah dari kampus melalui berbagai tahapan atau prosedur.

“Ada tahapan yang harus diikuti. Bisa coba hubungi wali kelasnya dulu, lalu hubungi kaprodinya, lalu hubungi dekan fakultasnya. Pastilah semua masalah ada jalan keluarnya. Asal ikuti tahapannya dengan benar,” kata Suhendra.

Cicilan Bukan Bantuan

Salma dan Tiara yang telah dua tahun mendampingi masalah UKT merasa bahwa apa yang dilakukan oleh pihak kampus selama ini bukanlah bantuan.

“Ya harapannya si kampus dapat memberikan solusi yang solutif, jangan hanya penangguhan atau pencicilan. Diadakanlah pengurangan golongan untuk mahasiswa yang memang benar-benar terverifikasi tidak mampu,” ungkap Tiara, yang resah terhadap bantuan yang selama ini diberikan UPI.

UPI sebagai PTN BH tidak pernah melakukan verifikasi ulang keadaan ekonomi untuk mahasiswanya. Golongan UKT yang didapatkan di semester awal harus terus dibayarkan sampai akhir masa kuliahnya.

Jalan keluar yang selalu diberikan kampus adalah bantuan berupa cicilan dengan jumlah besaran UKT yang sama tetapi dibayar dua kali. Padahal keadaan ekonomi setiap orang dapat berubah. Musibah bisa saja terjadi di pertengahan jalan, seperti orang tua meninggal atau PHK atau kebangkrutan atau masalah lainnya yang dapat muncul.

Menjawab hal tersebut, Suhendra menganggap tidak mungkin untuk dapat memverifikasi seluruh mahasiswa yang ada di UPI yang jumlahnya bisa mencapai 5.000 mahasiswa. Ia lebih menekankan agar mahasiswa yang mengalami perubahan keadaan ekonomi itu bercerita dengan dosen walinya.

“Karena kan ga harus langsung direct ke direktorat keuangan. Bisa jadi fakultas punya dana yang bisa dipakai, atau bahkan dosen-dosen tergerak hati nuraninya membayar UKT mahasiswanya,” kata Suhendra.

Profesor yang pernah mengampu pendidikan di University of Houston Texas ini merasa tidak perlu ada regulasi formal untuk menyelesaikan masalah UKT mahasiswa. Banyak cara lain yang dapat dilakukan baik oleh uang pribadi para dosen, dana dari pihak fakultas, atau bahkan bantuan dari alumni.

Dari 3 PTN yang ada di sekitar Bandung Raya hanya UPI yang tidak memiliki regulasi formal untuk mahasiswa melakukan banding UKT. Mahasiswa ITB dan Unpad dapat meminta penurunan UKT karena disediakan sarana untuk melakukan hal tersebut.

Bantuan dari pihak dosen dan alumni adalah langkah yang baik. Tetapi jika membuat regulasi yang jelas maka dampaknya akan menyentuh lebih banyak mahasiswa yang juga kesulitan membayar UKT.

Pendidikan yang seharusnya menjadi hak semua warga negara kini hanya bisa diakses oleh beberapa pihak. Biaya UKT yang mahal akan menyebabkan semakin banyak pemuda Indonesia menguburkan mimpinya. Bagaimana mungkin kampus yang menyandang nama pendidikan tidak dapat menyediakan pendidikan bagi semua kalangan masyarakat?

*Kawan-kawan yang baik, silakan menengok tulisan-tulisan lain dari Ivan Yeremia, atau artikel-artikel lain tentang Uang Kuliah Tunggal 

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//