• Berita
  • Mengingat Spirit Bandung Melalui Festival Literasi Asia-Afrika

Mengingat Spirit Bandung Melalui Festival Literasi Asia-Afrika

Kehadiran Festival Literasi Asia Afrika berperan penting di saat segalanya serba digital. Mempertahankan tradisi keberaksaraan yang terancam tergerus.

Salah satu rangkaian Festival Literasi Asia Afrika (FLAA) di Museum Konferensi Asia Afrika, Bandung, 27-29 September 2024. (Foto: Rinal Fauzan)

Penulis Salma Nur Fauziyah4 Oktober 2024


BandungBergerak.idAda yang nampak berbeda di selasar Museum Konferensi Asia Afrika pada Jumat, 27 September 2024 siang. Sejumlah stand berjajar rapi di sepanjang selasar. Masing-masing stand menyuguhkan beberapa macam buku mulai dari buku lama dan baru. Mayoritas tema-tema buku berkaitan erat dengan Konferensi Asia Afrika (KAA) ataupun hal-hal berbau politik luar negeri Indonesia.

Bazar buku di selasar museum itu hanya salah satu dari agenda acara harian Festival Literasi Asia Afrika (FLAA) yang diadakan tiga hari berturut-turut, 27-29 September 2024. Tidak hanya bazar yang terdiri dari beberapa toko buku dan penerbit, tetapi juga ada pameran yang dapat ditemui di Ruang Galeri dan Perpustakaan Museum Konferensi Asia Afrika.

Desita Dwi Utami (22 tahun) yang kebetulan berkunjung di hari terakhir, antusias menyambut Festival Literasi Asia Afrika. Tahun lalu ia juga berkunjung ke festival yang masih bernama Bulan Literasi Asia-Afrika (BLAA).

Menurutnya, festival tahun ini lebih interaktif. Meskipun penyelenggaraannya yang singkat (hanya tiga hari saja), tapi Desita merasa lebih banyak booth yang dipamerkan dan interaksi dua arah dari acara yang diselenggarakan lebih terasa.

Kehadiran booth dari Korean Cultural Center (KCC) ataupun Perpusnas, misalnya, menjadi salah satu hal menarik bagi Desita. Di sana ia bisa banyak berinteraksi dengan banyak orang dan menambah banyak pengetahuan baru.

“Kemarin aku belajar bikin bookmarks pakai bunga asli yang dikeringkan di booth KCC, ikutan kuis berhadiah, terus dapat buku-buku gratis juga,” tulis perempuan yang baru saja lulus dari Sastra Indonesia, Universitas Padjadjaran, kepada BandungBergerak.id lewat pesan WhatsApp.

Lain Desita, Kartika Dyah Andini (23 tahun) memiliki pengalaman berbeda. Mahasiswi program studi Perpustakaan dan Sains Informasi Universitas Widyatama ini baru mengetahui acara Festival Literasi Asia Afrika semenjak menjadi peserta magang di Perpustakaan MKAA.

Dalam acara FLAA ia mengemban tugas sebagai register atau penjaga pendaftaran pada setiap kegiatan yang diadakan di ruang Audiovisual. Kartika mengaku senang menjadi bagian dari panitia. Selain dapat bebas untuk menikmati dan juga berkeliling pameran, ia bisa bertemu dengan banyak orang, terlebih turis mancanegara.

“Senang bisa bertemu banyak wisatawan asing dan juga beberapa mahasiswa dan narasumber dari kegiatan Sharing Session: Connecting Cultures Through Literacy,” kata Kartika, lewat pesan WhatsApp.

Sharing Session: Connecting Cultures Through Literacy merupakan salah satu agenda dari FLAA yang dilaksanakan di hari terakhir. Acara ini membahas seputar kebudayaan dari masing-masing tempat tinggalnya. Beberapa peserta berasal dari negara Asia dan Afrika, yang juga berkuliah di beberapa universitas di Bandung.

“Peserta lainnya yang dari Afrika maupun Asia turut memberikan informasi seputar culture mereka. Pun ada yang memutarkan lagu yang lagi hits di negaranya, gerakan tarian daerah nya, dan masih banyak lagi,” jelas Kartika.

Di lain pihak, Ummi A. Khoirunnisa (26 tahun), salah satu penanggung jawab acara FLAA, bercerita soal perubahan nama ini berkaitan dengan pergantian konsep acara. Di mana tidak jauh-jauh dari mengotak-atik konsep acara sebelumnya.

“Kenapa? Kalau tahun lalu itu kan acaranya sebulan. Walaupun gak setiap hari, tapi kayak minggu pertama ada kegiatan, minggu kedua ada, tiga, empat gitu selalu ada kegiatan. Nah, di tahun ini, kita mengingat adanya keterbatasan. Kita maksimalkan di tiga hari saja. Namanya kita ganti sebagai Festival Literasi Asia Afrika,” ujar Nisa, panggilan akrab Pamong Budaya Museum KAA tersebut, saat ditanyai BandungBergerak.id di depan perpustakaan susai pembukaan FLAA, 27 September 2024.

Dalam acara tahun ini, pihak panitia mencoba untuk mengajak para partisipan bazar dan pameran dengan cangkupan yang lebih luas. Maka hadirlah booth seperti Korean Cultural Center (KCC), Perpusnas, hingga Pusat Bahasa Mandarin Maranatha. Selain acara sharing session dan bedah buku, ada pula acara lain seperti lokakarya origami yang dikhususkan untuk anak-anak, pemanduan inklusif yang akan dipandu oleh Dilans, hingga diskusi film bersama komunitas LayarKita.

“Mata acaranya pun kita buat yang lebih fun gitu. Kayak tahun lalu gak ada diskusi film, tahun ini kita adain. Karena kayaknya lagi ini ya anak-anak (pada) suka nonton film gitu,” lanjut Nisa.

Konsep acara mungkin berubah, namun tujuan acara ini tetaplah sama. Menyemarakkan hari Literasi Internasional yang jatuh pada tanggal 8 September lalu. Nisa beranggapan meski diadakan usai hari peringatan, namun masih tetap di satu bulan yang sama.

Baca Juga: BANDUNG HARI INI: Suaka Perekam Ingatan Kolektif Konferensi Asia Afrika
Konferensi Asia Afrika 1955, Kisah Genteng Bocor Gedung Merdeka dan Mobil Pinjaman
Bandung Hari Ini: Pidato Tengah Malam Ruslan Abdulgani di Konferensi Wartawan Asia Afrika Salah satu rangkaian Festival Literasi Asia Afrika (FLAA) di Museum Konferensi Asia Afrika, Bandung, 27-29 September 2024. (Foto: Rinal Fauzan)

Salah satu rangkaian Festival Literasi Asia Afrika (FLAA) di Museum Konferensi Asia Afrika, Bandung, 27-29 September 2024. (Foto: Rinal Fauzan)

Ruang Menyemarakkan Literasi di Bandung

Selama tiga hari berturut-turut, Deni Rachman atau dikenal sebagai Deni Lawang, membuka lapak di Festival Literasi Asia Afrika. Saat dijumpai BandungBergerak di hari Senin, 30 September 2024, di tokonya yang berlokasi di Jalan Garut, Deni bercerita pengalamannya selama melapak di sana.

Deni, secara pribadi, melihat FLAA sebagai kegiatan ‘piknik buku’. Karena ia bisa bertemu dan bercengkerama dengan pelapak lain maupun pengunjung dari mancanegara. Ia juga bercerita tentang pengalamannya saat salah satu turis Tiongkok mendatangi lapaknya yang menyediakan arsip dan buku terkait Tiongkok dan saling berbagi informasi.

“Ditambah suasana layout stan-nya sekarang kan lebih terbuka ya. Dulu kan ada sekat-sekat gitu ya, jadi kayak sempit gitu. Nah sekarang alhamdulillah lebih blong, ada tempat duduk di depannya. Lebih cair, lebih santai,” ujar Deni menggambarkan suasana lapakan.

Sebagai salah satu pelapak yang juga ikut memeriahkan acara yang sama tahun lalu, Deni merasa acara tahun ini lebih beragam. Mulai dari pemilihan toko, penerbit, hingga lembaga yang berpartisipasi pada acara ini. Ia salut dengan pemilihan lapak buku yang beragam.

“Pilihan lapaknya juga bagus yang sekarang menurutku ya. Itu satu pujian. Kayaknya dikurasi gitu loh. Untuk lapak pedagang. Kalau untuk dalam gak merhatiin. Ada dari Periplus, Gramedia Kompas, ada narasi dari Jogja ya. Jadi ga terpusat di Jakarta atau Bandung. Ada yang dari IKAPI. Terus temen-temen pelapak toko buku juga ada. Jadi sangat variatif,”

Saat acara pembukaan, Deni mendapatkan kesempatan memberikan sambutan. Dalam sambutannya, ia kembali menarik ke belakang bahwa tradisi acara ini sebenarnya sudah bermula sejak tahun 2009 dengan nama Pekan Literasi Asia-Afrika yang biasanya digelar pada awal September.

“Cuma tradisi bazar, tradisi pameran, tradisi bedah buku dalam bentuk event, ternyata gitu baru ngeh. Malah kita pertama, publik melibatkan diri menjadi relawan di museum KAA, justru dimulai dengan Festival Buku dan itu bulan Agustus. Karena momennya adalah kemerdekaan,” ujar Deni.

Kehadiran acara seperti Festival Literasi Asia Afrika, menurut Deni, sangatlah penting. Di zaman alih wahana ke digital yang makin masif, tradisi keberaksaraan mulai terkikis. Sebuah tantangan besar bagi generasi sekarang bagaimana mempertahankan tradisi itu. Karena sumber primer dan valid dari segala konten dan informasi, menurut Deni, adalah buku. Setidaknya keberadaan FLAA ini dapat menjadi sebuah bentuk perayaan kecil; agar masyarakat bisa terus mengingat.

Deni juga menghubungkan bagaimana acara ini juga sebenarnya adalah salah satu bentuk perwujudan dari Bandung Spirit atau Semangat Bandung di mana perpustakaan museum yang menjadi jangkar dari acara ini.

“Perpus yang jadi pemantik literasi. Kalau Bandung Spirit tadi nilai. Nilai kerjasama, nilai egaliter gitu ya. Terus saling sokong. Museum nyedain fasilitasnya. Kita nyediain konten, nyediain barang, ya kerjasamalah,” papar Deni. 

Deni berharap acara ini akan tetap berjalan setiap tahun di tengah krisis pameran di Kota Bandung. Menjadi sebuah agenda tahunan yang dapat ditunggu-tunggu oleh setiap orang dan juga sebagai wadah merayakan geliat literasi serta ajang membuka wawasan masyarakat.

*Kawan-kawan dapat membaca tulisan-tulisan lain Salma Nur Fauziyah atau artikel-artikel lain tentang Konferensi Asia Afrika

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//