TELUSUR SEJARAH LEMBANG: Kampung Apandi, Candu, dan Prostitusi #1
Kawasan barat Pedatiweg menjelma menjadi kawasan perjudian sabung ayam, peredaran candu ilegal, bahkan pelacuran.
Malia Nur Alifa
Pegiat sejarah, penulis buku, aktif di Telusur Pedestrian
5 Oktober 2024
BandungBergerak.id – Untuk sebagian besar warga Bandung pasti sudah sangat familiar dengan kawasan Braga, kawasan yang sering disebut jantung dari Parij van Java. Namun di balik hingar-bingar kawasan Braga sejak dahulu tersimpan rapat sebuah kisah yang memilukan. Di balik kemewahan dan keanggunan Braga ternyata kawasan tersebut dibentuk oleh hal-hal tabu, namun inilah fakta sejarah.
Saya dilahirkan di sebuah kampung tua yang sekarang dikenal dengan nama Gang Apandi, sebuah perkampungan di sebelah barat Braga yang dahulu dikenal dengan sebutan Kampung Apandi. Kisah ini saya dapatkan dari kakek dan ibu yang juga dibesarkan di rumah tua yang dibangun tahun 1886 di kampung tersebut. Kawasan Kampung Apandi dahulu disebut juga sebagai Babakan Soeniaradja.
Saya akan paparkan satu per satu kisahnya.
Baca Juga: TELUSUR SEJARAH LEMBANG: Kisah Dracula dari Braga
TELUSUR SEJARAH LEMBANG: Misteri Tuan Nipius dan Menghilangnya Dracula dari Braga
TELUSUR SEJARAH LEMBANG: Kisah Wong Kalang yang Dipaksa Hidup Berpindah-pindah
Pedatiweg
Ketika kawasan Balai Kota Bandung dahulu merupakan sebuah rumah dan gudang kopi besar milik seorang preanger planter bernama Andries De Wilde di tahun 1819, kawasan Braga saat itu masih merupakan jalan setapak yang kecil. Jalan tersebut hanya dilalui oleh pedati-pedati yang mengangkut kopi dari perkebunan ke arah gudang, sehingga kawasan Braga terkenal dengan sebutan Pedatiweg.
Pedati yang datang bukan hanya satu atau dua. Setiap harinya ada puluhan pedati yang lalu lalang, dan para kusir, juga para buruh angkut pun bukan hanya belasan, namun puluhan. Seiring berkembangnya perkebunan kopi maka semakin banyak pula pedati yang datang dan pergi. Bahkan banyak dari mereka yang akhirnya membutuhkan tempat menginap juga bengkel untuk perbaikan pedati. Tidak heran karena perjalanan yang dilalui oleh pedati-pedati tersebut kebanyakan melalui jalur pegunungan yang berkelok dan curam.
Maka sejak saat itu kawasan barat dari Pedatiweg menjelma menjadi los-los untuk istirahat para kusir dan buruh angkut. Sudah jadi hukum alam, apabila ada yang tinggal maka dibutuhkanlah sarana dan berbagai bisnis pun akhirnya tumbuh dari itu semua. Yang paling diperlukan tentu saja bahan makanan karena sudah dapat dipastikan para kusir dan buruh angkut bahkan para kuda dan kerbau pun membutuhkan asupan di saat beristirahat.
Kawasan barat dari Pedatiweg tersebut lambat laun menjadi kawasan yang ramai, bukan hanya sebagai sarana untuk melepas lelah setelah perjalanan panjang pengangkutan kopi dari perkebunan ke gudang namun menjelma menjadi kawasan perjudian sabung ayam, peredaran candu ilegal, bahkan pelacuran.
Beberapa narasumber yang saya temui di Gang Apandi, salah satunya kakek dan ibu, masih sangat hafal lokasi los-los tersebut. Lokasi los berada tidak jauh dari Jalan Suniaraja sekarang dan kawasan bengkel tidak jauh dari kawasan Jalan Banceuy dan Cibantar. Bahkan di sana disediakan kandang-kandang kuda dan kerbau penarik pedati.
Semakin ramai kawasan tersebut dengan hadirnya para “montir” pedati, para tukang “ Pijit“ kuda dan kerbau karena tak jarang hewan-hewan tersebut cedera dalam perjalanan. Bahkan kawasan tersebut diwarnai dengan hadirnya para pelacur, mereka kebanyakan datang dari luar daerah Bandung dan mereka akan dipanggil untuk “keperluan“ para kusir bahkan para buruh angkut yang membutuhkan pemuas birahi karena mereka yang harus jauh dari pasangannya. Kebanyakan para kusir dan buruh angkut tersebut datang dari perkebunan-perkebunan kopi di pedalaman dan harus berada di kawasan Pedatiweg selama berhari-hari.
Koloni Soeniaradja
Kondisi dari los-los tersebut sangat kumuh jauh dari kata layak. Apalagi apabila memasuki musim penghujan, jalanan di kawasan los-los tersebut akan dipenuhi lumpur bercampur dengan kotoran kuda dan kerbau. Sungguh sangat memilukan ketika saya diberi tahu para narasumber bahwa bukan hanya pelacuran namun para kusir dan buruh angkut itu pun banyak yang menghabiskan uang mereka dengan membeli candu ilegal dan menghisapnya bersama para pelacur di los-los tersebut.
Los-los tersebut terbuat dari kayu berbentuk memanjang seperti rumah panggung, beratap genting dan disekat- sekat seadanya, bahkan ada beberapa los yang tidak berpintu hanya diberi tirai kain yang sudah koyak. Dapat dibayangkan begitu kumuhnya kawasan barat dari Pedatiweg tersebut.
Namun tahun 1835-an setelah berakhirnya Perang Diponegoro, kawasan selatan kampung kedatangan serombongan warga pendatang asal Cirebon. Mereka datang bertahap dan mulai menempati bagian selatan tersebut dengan rapi dan terkondisikan. Ternyata mereka adalah bekas prajurit Perang Diponegoro yang mulai mengungsi ke Cirebon setelah perang berakhir pada 28 Maret 1830. Dan mereka menamakan diri mereka sebagai koloni Soeniaradja.
Koloni Soeniaradja menempati lahan yang masih kosong dan masih ditumbuhi semak belukar, lambat laun lahirlah sebuah kampung baru dan kebanyakan warga menamai kampung tersebut dengan nama babakan Soeniaradja. Kawasan Babakan Soeniaradja memanjang dari selatan los-los kusir dan buruh angkut hingga ke arah Alun-alun Bandung. Pada perkembangannya para penghuni babakan Soeniaradja harus terusir dan hidup berpencar ke arah utara Bandung –ke kawasan Hegarmanah, Babakan Siliwangi, dan Cipaganti– karena kawasan tempat tinggal mereka akan dibangun penjara yang nantinya terkenal dengan sebutan Penjara Banceuy.
Perkembangan kawasan los-los para kusir dan para buruh angkut juga perkembangan koloni Soeniaradja pada akhirnya menjadi kawasan yang disebut kampung Apandi dan bertransformasi menjadi kawasan Gang Apandi sekarang ini.
Siapakah sosok Apandi ini? Mengapa namanya mampu mengubah dua kawasan tua tersebut? Simak kelanjutan kisahnya pada bagian ke dua, minggu depan.
*Kawan-kawan dapat membaca artikel-artikel lain Malia Nur Alifa, atau tulisan-tulisan lain tentang Sejarah Lembang