• Komunitas
  • PROFIL KOMUNITAS ASAS UPI: Teguh Menjaga Api Kesusastraan

PROFIL KOMUNITAS ASAS UPI: Teguh Menjaga Api Kesusastraan

ASAS dibentuk mahasiswa UPI pada tahun 90-an, dilatarbelakangi keresahan terhadap kurangnya ruang berkesusastraan.

Kegiatan Reboan Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Arena Studi Apresiasi Sastra (ASAS) UPI, di Kampus UPI, Bandung, 11 September 2024. (Foto: Reihan Adilfhi Tafta Aunillah/BandungBergerak)

Penulis Reihan Adilfhi Tafta Aunillah 5 Oktober 2024


BandungBergerak.idRabu sore, 11 September 2024, sekitar 10-15 mahasiswa Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) duduk melingkar di Taman Bareti UPI, Bandung. Beralaskan spanduk sebagai tempat duduk mereka, setiap orang yang ada di dalam lingkaran menggenggam sebuah buku. 

Seakan memecah keheningan, satu per satu dari mereka saling bergantian membaca karya-karya sastra dari buku yang mereka genggam. Ada yang membaca puisi dan ada juga yang menyampaikan pengalaman mereka membaca suatu novel atau cerpen. 

Kegiatan mengapresiasi karya sastra tersebut berasal dari Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Arena Studi Apresiasi Sastra (ASAS). Komunitas ASAS menamai kegiatan itu sebagai Reboan karena dilakukan rutin setiap hari Rabu. Tak hanya mengapresiasi karya sastra melalui membaca, dalam Reboan juga ASAS tak jarang membahas karya sastra melalui esai dan terkadang juga saling mengkritik karya masing-masing. 

Muhammad Rifan Prianto, mahasiswa UPI sekaligus demisioner dan ketua ASAS periode 2023-2024, bercerita bahwa ASAS dibentuk mahasiswa UPI pada tahun 90-an, dilatarbelakangi keresahan terhadap kurangnya ruang berkesustraan.

“Mereka resah gak punya ruang untuk berkesustraan karena saat itu memang sangat kering dunia kesusastraan di kampus,” ujar laki-laki berumur 23 tahun yang akrab disapa Ipang tersebut.

Awalnya, ASAS berada dalam naungan Himpunan Mahasiswa Bahasa dan Sastra Indonesia (Hima Satrasia) FPBS UPI dengan nama ASAS ZENITH. Namun, antusiasme dari mahasiswa UPI yang besar terhadap sastra membuat ASAS memisahkan diri dari Hima Satrasia. Hal tersebut dilakukan agar tak hanya mahasiswa dari jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia saja yang bisa bergiat di ASAS. 

Pada tanggal 12 Desember 1991, ASAS resmi didirikan sebagai UKM oleh beberapa penggagas. Di antara beberapa penggagas tersebut, banyak yang sudah berkontribusi terhadap kesusastraan Indonesia seperti Benny R. Budiman, Doddy Ahmad Fauji, Deden Abdul Aziz, Wan Anwar, Nenden Lilis Aisyah, dan lain-lainnya.

Di tengah hiruk pikuk dunia kampus yang terkadang terlalu fokus pada akademik dan kesibukkan organisasi, ASAS seakan-akan menjaga api kesusastraan di kampus melalui Reboan.

Kegiatan Reboan Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Arena Studi Apresiasi Sastra (ASAS) UPI, di Kampus UPI, Bandung, 11 September 2024. (Foto: Reihan Adilfhi Tafta Aunillah/BandungBergerak)
Kegiatan Reboan Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Arena Studi Apresiasi Sastra (ASAS) UPI, di Kampus UPI, Bandung, 11 September 2024. (Foto: Reihan Adilfhi Tafta Aunillah/BandungBergerak)

Memberi Dampak Melalui Sastra

Ipang mengungkapkan bahwa ASAS sendiri mempunyai peran dalam meningkatkan minat terhadap sastra di kampus. Salah satu caranya yaitu melalui Reboan. 

Pembahasan karya sastra di diskusi Reboan tak terpaku pada satu genre atau satu bentuk saja. Semua genre dan bentuk sastra bisa dibahas di dalam diskusi tergantung pada minat bacaan pemantiknya. 

“Gak membatasi diri dengan satu genre saja. Apa pun genre atau bentuk sastranya bisa dibahas. Asalkan terkait dengan teks kreatif. Bahkan pernah juga beberapa kali ngebahas lirik lagu. Tapi, sastra adiluhung memang paling dominan dibahas,” ujar Ipang.

Ipang sendiri mengatakan bahwa ASAS juga selalu berusaha meningkatkan minat literasi melalui sastra. Mulai dari mengobrol santai sembari menyisipkan hasil bacaan terbaru, wacana-wacana tentang karya sastra sampai diskusi serius tentang karya sastra melalui Reboan.

“Gua ingin mereka yang masuk ASAS merasa dihargai. Gua rasa hal itu penting untuk menghadapi anak-anak Gen Z,” kata Ipang.

Selain Ipang, ada juga Ni’matul Jannah, anggota ASAS yang hadir dalam Reboan sore itu. Perempuan berumur 21 tahun tersebut awalnya memilih masuk ke ASAS karena ingin memperdalam ilmu kepenulisan.

Ni’mah sendiri sedang menempuh pendidikan sarjana jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia. Oleh karena itu, ia masuk ke ASAS sekaligus sebagai penunjang kebutuhan kuliahnya. 

“Aku pengin punya buku, pengin belajar nulis novel awalnya. Tapi, sekarang lagi menggeluti puisi,” ujar Ni’mah.

Ni’mah sudah 3 tahun bergiat di ASAS. Terhitung sejak tahun 2021. Ia juga mengungkapkan bahwa banyak ilmu yang ia dapat dari ASAS daripada di perkuliahan.

“Di kuliah tuh materi-materi dasar aja. Kayak unsur intrinsik aja, kan. Di ASAS aku bisa tahu tentang realisme-magis dan lain sebagainya,” ungkap Ni’mah.

Dalam merespons isu isu sosial yang ada di masyarakat, ASAS menjadikan sastra dan kekaryaan sebagai porosnya. Tak hanya dilakukan melalui medium teks, terkadang juga menampilkan Performance Art dan alih wahana lainnya dari suatu karya sastra.

Baca Juga: PROFIL KOMUNITAS JAKATARUB: Membangun Dialog dengan Umat Berbeda Agama dan Keyakinan
PROFIL BANDUNG BOOK PARTY: Menuju Bandung Lautan Literasi dari Komunitas-komunitas Kecil
PROFIL BANDUNG SYMPHONY ORCHESTRA (BASO): Dari Gereja ke Panggung Orkestra

Kesusastraan Hari Ini dan Beberapa Tahun Mendatang

Salah satu hal yang lumayan diperbincangkan dalam kesusastraan Indonesia hari ini adalah perbandingan sastra adiluhung dan sastra populer. Beberapa orang berpendapat bahwa karya sastra yang bagus adalah yang adiluhung. Tapi, tak sedikit juga yang tak sepakat dengan pernyataan itu. 

Ipang, sebagai anggota ASAS, mempunyai pandangan yang berbeda terkait hal tersebut. Ia mengungkapkan bahwa sastra adiluhung dan sastra populer bukanlah dua hal yang bisa dibandingkan. Persoalan kedua hal tersebut menurutnya harus dikritik lagi.

“ASAS gak menilai karya dari adiluhung atau populernya, tapi dari teksnya, ” tegas Ipang.

Ia juga menambahkan bahwa istilah adiluhung dan populer merupakan dua istilah yang tak berseberangan. Adiluhung sendiri sebetulnya istilah yang merujuk pada suatu karya yang “serius”, dan jika dibandingkan seharusnya sastra serius dan tidak serius atau sastra populer dan tidak populer.

Dengan berkembangnya zaman menjadi serba digital, ASAS tak menutup diri untuk menyesuaikan dengan kondisi yang ada tanpa meninggalkan esensinya. Ipang berpendapat bahwa eksperimen sastra seperti puisi visual atau fiksi mini adalah contoh nyata penyesuaian sastra terhadap zaman.

“Kayak Wattpad, misalnya. Itu memberi tambahan ruang bagi penulis tapi yang harus dikritisi ya teksnya gitu. Untuk melihat karyanya berkualitas atau enggak,” ujar Ipang.

Ni’mah mempunyai pendapat yang cukup sama. Menurutnya, sastrawan perempuan di Indonesia sekarang mempunya banyak medium untuk mempublikasikan tulisannya.

Walaupun begitu, Ni’mah menyayangkan karena belum banyaknya sastrawan perempuan zaman sekarang yang menulis sastra serius. Kebanyakan lebih memilih untuk menulis sastra populer.

“Di aplikasi Wattpad kebanyakan sastra populer. Kalau sastra serius dari perempuan kebanyakan dari orang-orang lama kayak Leila (S. Chudori),” ujar Ni’mah

Di beberapa tahun mendatang, Ipang melihat bahwa kesusastraan di Indonesia akan membuat sastrawan-sastrawannya terlibat dalam ruang yang lebih luas. Hal tersebut dikarenakan tidak adanya lagi istilah “angkatan” seperti Pujangga Lama, Balai Pustaka, Pujangga Baru, dan lainnya.

“Dan gua rasa itu menjadi hal yang positif untuk sekarang dan mungkin akan berlanjut pembahasannya menjadi lebih kontemporer secara isotopi atau medan maknanya,” ujar Ipang.

ASAS merupakan sebuah komunitas sastra yang cukup tua, 32 tahun. Cukup sulit juga untuk menemukan komunitas sastra di sekitar kampus sekarang. Ipang mempunyai suatu harapan sederhana yang semoga terlaksana ke depannya. “Semoga ASAS akan selalu ada”.

*Kawan-kawan dapat membaca tulisan-tulisan lain Reihan Adilfhi Tafta Aunillah, atau artikel-artikel lain tentang Profil Komunitas Bandung

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//