PROFIL KOMUNITAS JAKATARUB: Membangun Dialog dengan Umat Berbeda Agama dan Keyakinan
Jaringan Kerja Antarumat Beragama (Jakatarub) berdiri 24 tahun setelah reformasi. Jembatan dialog lintas agama berbeda dengan dasar kemanusiaan.
Penulis Sifa Aini Alfiyya11 September 2024
BandungBergerak.id - Jaringan Kerja Antarumat Beragama (Jakatarub) berdiri di tengah periode yang penuh gejolak dalam sejarah Indonesia, tepatnya setelah era Reformasi 1998 yang ditandai dengan kerusuhan dan ketegangan agama. Pada saat itu sejumlah pulau di Indonesia mengalami kerusuhan yang banyak dipicu oleh isu yang berkaitan dengan agama.
Jakatarub hadir karena memiliki keresahan bahwa ketegangan antarumat beragama seharusnya diakhiri. Maka dari itu saat itu inisiasi anak-anak muda berkumpul di pesantren Kota Garut untuk membicarakan untuk membicarakan permasalahan antarumat beragama dan solusinya.
Wawan Gunawan, salah satu pendiri Jakatarub mengatakan bahwa pada awal-awal berdiri banyak sekali tantangan yang dihadapi, salah satunya adalah saat berdiskusi mengenai acara yang membahas sosok Bunda Maria dalam perspektif Katolik dan Islam. Ia menceritakan mendapatkan serangan dari kelompok organisasi masyarakat (Ormas) tertentu saat itu. Namun hal itu tidak menghalangi mereka untuk tetap teguh dan berkeyakinan bahwa dialog serta pemahaman merupakan kunci untuk menyelesaikan ketegangan antarumat beragama.
“Pada awalnya, Jakatarub menghadapi tantangan besar karena forum lintas agama yang terbuka dan jujur masih jarang, bahkan hampir tidak ada. Namun, kebutuhan untuk perdamaian dan kerjasama lebih mendesak daripada hambatan yang dihadapi,” ungkap Wawan pada Senin, 29 Juli 2024 di Sekretariat Komunitas Jakatarub di Jalan Dewi Sartika No. 119 Bandung.
Ia mengatakan bahwa agama tidak boleh menjadi alasan untuk menyerang satu sama lain. Kejujuran merupakan poin paling penting dalam keterbukaan untuk saling belajar serta melihat bagaimana suatu agama dapat hadir dan menjadi keyakinan seseorang.
Berdasarkan apa yang diamati oleh Wawan selama ini konflik yang dipicu oleh isu agama dapat terjadi karena adanya masalah ketidakpercayaan satu sama lain. Oleh karena itu Jakatarub hadir untuk membuka ruang belajar agar kepercayaan dapat dibangun di dalam hati masing-masing dan tidak terbawa konflik yang dipicu oleh isu agama untuk tujuan tertentu.
Itulah sebabnya Jakatarub menggunakan pendekatan untuk memahami satu sama lain. Pendekatan yang pertama adalah pendekatan teologi yang didorong dari agama masing-masing terhadap nilai-nilai kemanusiaan.
“Manusia itu tidak ada yang hina jadi boleh dong saya berinteraksi dengan manusia manapun walaupun agamanya beda. Jadi masing-masing dialog agama itu harus didorong dari keyakinan agamanya masing-masing. Bukan hal-hal pragmatis seperti ‘biar saya banyak teman atau biar tempat ibadah saya nggak diganggu’ bukan sekadar seperti itu tetapi keyakinan terhadap nilai-nilai kemanusiaan yang agama kita anut,” ujarnya.
Kemudian yang kedua adalah pendekatan kebudayaan, Wawan mengatakan bahwa seluruh masyarakat di Indonesia memiliki budaya ‘harmonisasi’. Hal ini menjadi salah satu poin untuk mewujudkan harmonisasi antarumat beragama.
Lalu yang ketiga adalah pendekatan kebangsaan yaitu walaupun berbeda dalam keyakinan serta agama namun masyarakat satu bangsa yaitu sebagai bangsa Indonesia. Kemudian yang terakhir adalah literasi kritis untuk mencegah konflik-konflik yang sengaja disebar untuk memecah belah dengan isu agama.
“Jadi jangan sampai kita mudah diadu domba karena kita baca medianya tidak sampai selesai dan kita di sini mencoba untuk memberikan pengetahuan hoax, dan lain-lain dan kini kami dapat menghadirkan 180 kegiatan per tahun lintas umat beragama,” ucap Wawan.
Wawan menjelaskan, untuk mencapai tujuan kedamaian antarumat beragama diperlukan jejaring dan menganggap seluruh orang dan lembaga penting. Pemahaman semua orang mengenai pentingnya toleransi dan perdamaian merupakan hal penting dan tidak saling menutupi satu sama lain.
Ia mengucapkan rasa bersyukur bahwa anak-anak muda zaman sekarang banyak yang memahami bahwa toleransi itu penting ketika di zamannya dialog antarumat beragama sangat asing sekali. Bahkan menurutnya sekitar tahun 2000-an saja masih jarang mengangkat isu-isu seperti toleransi, pluralisme, serta dialog antarumat beragama.
Bahkan sekarang sudah banyak komunitas-komunitas yang bergerak dalam isu perdamaian antarumat beragama dan toleransi. Hal ini merupakan salah satu jalan menuju tujuan yang diharapkannya sejak dahulu yaitu perdamaian antarumat beragama.
“Saya memandang orang yang berbeda agama itu sebagai mitra saya dalam melakukan kebaikan. Jakatarub sudah berdiri selama 24 tahun keinginan kita sejak dahulu tidak berubah menjadi pusat dialog antar agama untuk mewujudkan perdamaian,” kata Wawan.
Ia mengharapkan bahwa komunitas Jakatarub tetap menjadi wadah dialog antarumat beragama untuk menunjukkan keindahan agamanya masing-masing. Wawan juga mengatakan bahwa masyarakat perlu menghormati sesama manusia yang berbeda-beda dan memberikan hak hidup seluas-luasnya.
Maka dari itu ia mengingatkan jika kita ingin diperlakukan dengan baik oleh antarsesama masyarakat bercerminlah bagaimana perlakuan diri sendiri pada mereka. Jadi perlu untuk memahami satu sama lain dengan terus melakukan dialog.
“Sebagaimana kita juga ingin bahagia orang lain pun ingin bahagia, kita ingin memiliki agama secara bebas orang lain pun seperti itu. Jadi bercerminlah kepada diri sendiri dan perlakukan orang lain sebagaimana kita ingin diperlakukan orang lain,” pungkas Wawan.
Baca Juga:PROFIL KOMUNITAS HAREUDANG BANDUNG: Bergerak Menekan Dampak Buruk Sampah Makanan
PROFIL KELUARGA MAHASISWA TEATER ISBI BANDUNG: Masih Pentingkah Ormawa Saat ini?
PROFIL SASIKIRANA: Membangun Ruang Inkubasi Kompetensi bagi Penari-penari Muda
Dari Pengalaman Diskriminasi ke Advokasi
Ketua Koordinator Advokasi Jakatarub Sabah mengatakan, ketertarikan dirinya masuk ke dalam Jakatarub karena dirinya pernah menjadi korban diskriminasi sebagai Ahmadiyah dan ketika sudah memasuki Jakatarub dirinya ingin memperjuangkan hak-hak orang yang memiliki permasalahan yang sama. Ia mengungkapkan bahwa rasa ketakutan dan tidak enak ketika tempat ibadahnya dibakar dengan sengaja, adanya persekusi, dan tidak dapat hak kebebasannya mengungkapkan keyakinannya saat masa sekolah.
Sabah mengalami diskriminasi saat dirinya duduk di bangku sekolah SD-SMP. Selama sembilan tahun itu ia begitu menderita menerima persekusi-persekusi yang dilakukan orang-orang yang menganggap dirinya berbeda.
“Aku baru bisa bernapas lega ketika kuliah karena masyarakatnya heterogen. Selama sembilan tahun itu bukan lumayan lagi menderita karena diskriminasi tapi sangat menderita,” ujar Sabah, Kamis, 13 Juni 2024 di Sekretariat Komunitas Jakatarub.
Sabah bergabung dengan Jakatarub di akhir masa perkuliahannya. Di komunitas ini ia mesti belajar mengenai hukum atau advokasi, padahal ia bukan dari jurusan hukum. Hal itu menjadi sangat berkesan karena ia perlu mengejar teman-temannya yang telah mempelajari hukum dan mereka dengan senang hati membantunya.
Advokasi yang dilakukan oleh Jakatarub bekerja sama dengan LBH Bandung terutama saat Pilkada 2024. Pada masa menjelang Pilkada, kolaborasi antara Jakarub dan LBH Bandung berfokus pada advokasi serta pendidikan politik, khususnya terkait isu kebebasan beragama dan keberagaman.
Kolaborasi ini bertujuan memberikan pemahaman mendalam kepada masyarakat Bandung mengenai pentingnya isu-isu interseksi, seperti pendirian rumah ibadah, perspektif lingkungan dalam agama, dan perlindungan agama lokal.
“Hal ini dilakukan karena isu agama sering digunakan untuk kepentingan politik, upaya ini diharapkan dapat memitigasi dampak negatifnya dengan melibatkan masyarakat untuk memahami dan memperjuangkan kebebasan beragama sebagai isu bersama,” ujarnya.
Sabah meyakini bahwa konflik antarumat beragama berawal dari prasangka dan stigma. Dua hal ini perlu didialogkan dan tidak boleh dipendam. Ia juga mengkritik istilah kerukunan yang kerap dipakai penyelenggara negara untuk menghindari isu-isu perbedaan agama.
Saat ini, rukun lebih menekankan pada pembukaan ruang dialog yang luas dan mendalam, dengan fokus pada keberagaman dan perdamaian, bukan sekadar kerukunan. Pendekatan ini bertujuan untuk menciptakan pemahaman dan interaksi yang lebih baik antarkelompok, sambil mengakui pentingnya keberagaman.
“Sebagai langkah awal, sebaiknya kita memeriksa prasangka yang ada. Contohnya, cek terlebih dahulu apakah benar jika ada pendirian rumah gereja di kampung tersebut akan ada kristenisasi? Lakukan dialog langsung untuk memahami konsep menurut agamanya, pemaknaan, dan aspek-aspek lainnya. Ini penting untuk memastikan informasi yang akurat dan menghindari kesalahpahaman,” ujar Sabah.
*Kawan-kawan dapat menyimak karya-karya lain Sifa Aini Alfiyya, atau artikel-artikel lain tentang Profil Komunitas Bandung