• Kolom
  • MULUNG TANJUNG #6: Ciguriang, Kampung Dobi dalam Ingatan (3)

MULUNG TANJUNG #6: Ciguriang, Kampung Dobi dalam Ingatan (3)

Ciguriang disebut Kampung Dobi karena memiliki mata air melimpah. Kampung ini menjadi tujuan para minatu atau dobi untuk mencuci di malam hari.

Ernawatie Sutarna

Ibu rumah tangga, peminat sejarah, anggota sejumlah komunitas sejarah di Bandung.

Mata air di Kampung Dobi, Ciguriang, Kota Bandung, 2021. (Foto: Ernawatie Sutarna/Penulis)

7 Oktober 2024


BandungBergerak.idDi kawasan Kebon Kawung tepatnya di ujung utara Jalan Haji Mohammad Mesri dan Jalan Mohammad Iskat, pernah ada satu mata air yang bernama Ciguriang. Mata air itu dikenal menghasilkan volume air yang melimpah. Sampai awal tahun 1990-an mata air itu masih digunakan warga masyarakat setempat untuk keperluan mandi dan cuci, walaupun volume air tak sebesar masa sebelumnya. 

Ciguriang di Masa Hindia Belanda

Pada kehidupan di wilayah Priangan, air memiliki peran yang sangat terhormat, apalagi budaya dan kehidupan orang Sunda hampir seluruhnya sangat bergantung pada tanah dan air. Penyatuan tanah dan air pada akhirnya manghasilkan kesuburan yang menumbuhkan tanaman ladang, sawah, dan perkebunan. Air bagi orang Sunda menjadi bagian hidup yang sakral. Dan ketika akan membangun kampung permukiman pun selalu berpatokan pada sumber air yang akan menjadi bagian penting dalam siklus hidup manusia yang bermukim di wilayah tersebut.

Di Bandung pada zaman baheula, banyak ditemukan mata air terbuka dan mata air Ciguriang di daerah Kebon Kawung menjadi salah satunya. Haryoto Kunto pada bukunya Semerbak Bunga di Bandung Raya, cukup jelas berkisah tentang mata air Ciguriang ini. Maklumlah, karena beliau tinggal di jalan Haji Mohammad Mesri yang berlokasi dekat sekali dengan Ciguriang.

Pada masa itu, di awal abad ke-20, Ciguriang memiliki air yang sangat melimpah, curcor tanpa jeda. Pohon kawung yang banyak tumbuh di sana menjadi salah satu sebab melimpahnya air, karena akar pohon kawung atau aren yang berbentuk serabut, mempunyai daya serap air yang tinggi, sehingga mampu mengikat air tanah dan menjaga kelestarian sumber air. Air yang melimpah itu mengundang kedatangan para minatu -- mereka yang bekerja di bidang jasa cuci pakaian – untuk mencuci di sana. Minatu sering disebut juga sebagai dobi, atau wasserij, sekarang lebih dikenal sebagai londri/laundry.

Selain para minatu yang tinggal di kampung Ciguriang, dobi-dobi lainnya turut berdatangan dari berbagai penjuru kota Bandung membawa pekerjaannya masing-masing dan bersama-sama menyelesaikan tugas mereka. Mereka bekerja di malam hari, tumpukan cucian mereka selesaikan berkawan cahaya obor dan tawa canda riang sesama tukang cuci. Keriangan mereka menjadi pemacu semangat dan mengurangi hawa dingin dan rasa lelah.

Dari tempat tinggalnya masing-masing para dobi ini memikul cuciannya dengan alat pikul dari bambu yang disebut sundung, membawa bak penampung air dari kayu yang disebut tahang. Tahang ini juga digunakan untuk merendam cucian. Suara air yang menggelontor dari pancuran bambu, suara percik dari cipratan air, suara cucian yang dibanting di atas batu yang digunakan sebagai alas mencuci, menjadi irama tersendiri yang mewarnai suasana malam di kampung Ciguriang. Dan sering pula terdengar kawih yang mereka senandungkan di sela-sela kegiatan cuci-mencuci yang mereka lakukan. Begitu setiap hari dari awal malam, sampai menjelang subuh. Para dobi itu menghangatkan malam di Ciguriang yang masih sepi dan banyak pepohonan. 

Salah seorang dobi pada masa ini adalah Abah Mulya. Ia seorang pendatang dari Bojong Gedang, Garut. Namun ia lahir dan besar di daerah Kebon Suuk, Cicalengka. Setelah menikah dengan Ma Eni yang berasal dari Garut, maka abah Mulya pun tinggal di Garut. Sayangnya ambu Ucih yang merupakan cucunya kurang mengetahui kapan Abah Mulya mulai hijrah ke Bandung. Di Bandung, Abah Mulya, Ma Eni, dan putra angkatnya Salim tinggal di Jalan Haji Mesri.

Baca Juga: MULUNG TANJUNG #3: Ciguriang, Kampung Dobi dalam Ingatan (1)
MULUNG TANJUNG #4: Ciguriang, Kampung Dobi dalam Ingatan (2)
MULUNG TANJUNG #5: Kebon Kawung dari Masa ke Masa

Ciguriang di Tahun 1950-an

Di era tahun 1950-an masih banyak dobi yang menggunakan mata air Ciguriang sebagai tempat mencuci. Dan warga setempat yang berprofesi dobi pun masih cukup banyak. Pengguna jasa dobi ini tersebar di penjuru kota Bandung. Dan malam-malam di kampung Ciguriang pun masih dihangatkan oleh kegiatan para dobi tersebut. 

Ada kisah menarik yang diungkap penulis Us Tiarsa di dalam buku Basa Bandung Halimunan, tentang prosesi sunat tradisional yang dilakukan urang Sunda. Sunat biasanya dilakukan oleh paraji sunat, profesi ini mempunyai penyebutan khusus dalam bahasa Sunda, yaitu bèngkong. Salah satu tahapan yang dilakukan menjelang sunat adalah berendam; pengantin sunat atau anak yang akan disunat diajak berendam sebatas pusar sampai terasa kebas/baal. Karena Us Tiarsa tinggal di jalan Haji Mesri, maka prosesi berendam sepupunya yang akan disunat itu dilakukan di mata air Ciguriang

“Ti imah ka Ciguriang (sirah cai) téh teu pati jauh, ukur meuntas jalan jajahan, terus mudun mapay jalan satapak. Ngarah rada lila, budak sunat téh dibawa ngalér heula, muter bari diacreug-acreug dina tonggong kapilanceuk téa. Ngalengkahna ogé mincig, da dipirig ku kendang penca tepak palérédan. Bendé ngeungkeung dua bilangan-dua bilangan.

Tepi ka Ciguriang, porosot baju budak téh dilaan, gebrus diancrubkeun kana balong bari dicekelan lebah kélékna. Kakara brus gé geus témbong ngahodhod, beungeut budak téh geunteul, gadona noroktok. Tabuh lima subuh téa, keur titirisna hawa Bandung harita mah,” terang Us Tiarsa.

Setelah baal, barulah proses sunat dilakukan oleh paraji sunat tadi. Fungsi perendaman pengantin sunat tadi adalah cara untuk mengurangi rasa sakit saat disunat karena area kemaluan bocah itu sudah kebas dan mati rasa karena kedinginan. 

Pada waktu itu mata air Ciguriang menjadi sumber kebutuhan air yang utama para warga, baik untuk mandi, cuci, bahkan untuk keperluan dapur. Mata air ini menghasilkan air jernih dan melimpah. Ketika jumlah warga bertambah, maka dibuatlah beberapa sumur gali untuk memenuhi kebutuhan warga akan air bersih.

Kembali ke Ciguriang yang dikenal dengan sebutan Kampung Dobi, pada masa ini masih banyak aktivitas cuci-mencuci yang dilakukan para dobi. Beberapa dobi di antaranya aki Oyo yang merupakan ayah dari penulis dan budayawan Us Tiarsa, Aki Baedi, Bapa Epe, Mang Uju, dan kakek penulis Abah Salim atau Abah Ilim. Ketika yang lain mulai berhenti menjadi dobi di akhir tahun 1970-an, Abah Ilim masih menjadi minatu, karena istilah dobi tak lagi populer sampai akhir tahun 1980-an. Abah Ilim ini adalah anak angkat sekaligus adik Abah Mulya dari lain ibu. 

Abah Ilim mempunyai beberapa pelanggan di antaranya di Cicendo, Gang Kina, Jalan Haji Mesri, Jalan Haji Mohamad Iskat, Jalan Haji Akbar, Pamoyanan, bahkan di Tegallega di dekat pacuan kuda. Cucian-cucian yang sudah bersih biasanya diantarkan Ma Emeh istrinya Abah Ilim, saya menyebutnya Ma Abah, dengan berjalan kaki. Sesekali putra terbesar Abah Ilim, wa Maman yang saat itu masih remaja, juga mengantarkan cucian-cucian yang sudah bersih dan licin rapi dengan mengendarai sepeda.

*Kawan-kawan yang baik, silakan menengok tulisan-tulisan lain Ernawatie Sutarna atau artikel-artikel lain tentang Sejarah Bandung

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//