• Kolom
  • MULUNG TANJUNG #4: Ciguriang, Kampung Dobi dalam Ingatan (2)

MULUNG TANJUNG #4: Ciguriang, Kampung Dobi dalam Ingatan (2)

Ciguriang ada di antara Jalan Haji Mohamad Mesri dan Haji Mohamad Iskat, tepat di belakang GOR Pajajaran bekas permakaman Belanda.

Ernawatie Sutarna

Ibu rumah tangga, peminat sejarah, anggota sejumlah komunitas sejarah di Bandung.

Simpang Ciguriang sekitar Jalan Mesri, Bandung. Di sini terdapat salah satu stilasi Bandung Lautan Api. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)

24 September 2024


BandungBergerak.id - Kampung Dobi yang terletak di Ciguriang meliputi Jalan Haji Mohamad Mesri, Jalan Haji Mohamad Iskat, Kebon Kawung. Jalan untuk mengakses Ciguriang di antaranya Jalan Haji Mohamad Mesri dan Jalan Haji Mohamad Iskat, yang merupakan akses jalan masuk dari Jalan Kebon Kawung, serta jalan Mohamad Yunus yang merupakan jalan masuk dari Jalan Pajajaran. 

Di wilayah Kebon Kawung, Pasirkaliki, Pajajaran, dan Cicendo memang banyak nama jalan yang diambil dari nama-nama orang bergelar haji.  

Jalan Haji Mohamad Mesri membentang dari arah Jalan Kebon Kawung ke arah utara lalu berbelok ke barat dan bertemu Jalan Haji Mohamad Yunus. Jalan ini sering menjadi jalan alternatif dari jalan Kebon Kawung ke Pajajaran ataupun sebaliknya.  

Dahulu, di masa kolonial, Jalan Haji Mohammad Mesri bernama Rozenlaan, beberapa orang tua pernah menyampaikan, dahulu ada kebun mawar (ros) yang cukup luas di kawasan Jalan Haji Mohamad Mesri itu, beberapa narasumber menyebutkan bahwa kebun mawar itu terhampar dari batas simpang empat Mesri – Haji Iskat dan jalan menuju Jalan Haji Akbar, sebelah barat ke arah utara. Saya masih bertanya-tanya, apakah kebun mawar itu berkaitan dengan adanya Kerkhof Kebon Jahe di sebelah utara?  

Menurut buku Basa Bandung Halimunan yang ditulis Us Tiarsa, di tahun 1950-an, masih banyak jalan-jalan di Bandung yang masih berupa jalan tanah; aspal baru menyentuh sebagian kecil jalan. Jalan H. Moh. Mesri termasuk jalan yang sebagian besarnya masih berupa jalan tanah. 

JL. H. Moh. Mesri, nu bareto mah ngaranna téh Roosenland, ngan semet patok, kana 300 meter ti Jl. Kebonkawung, nu diaspal téh. Ti lebah dinya ka sisi kérkop mah taneuh wè. Ari usum hujan, ti imah ka patok téh sasat bebelekukan. Rèk indit-inditan maké karéta mesin téh kapaksa sok nitah batur mangmanggulkeun karéta mesin tepi ka tungtung jalan taneuh. Suku nu belok semet mumuncangan tèh dikeceprekken wè kana cileuncang nu nyangkrung di tegal. Kokosod kana jukut Clak wé kana karéta mesin,” terang Us Tiarsa. 

Baca Juga: MULUNG TANJUNG #1: Senandung Kembang Liar di Bandung Baheula
MULUNG TANJUNG #2: Makna Mendalam dari Sebuah Lagu
MULUNG TANJUNG #3: Ciguriang, Kampung Dobi dalam Ingatan (1)

Pabrik Soun dan Pabrik Kapas 

Awalnya Abah Salim, kakek saya —selanjutnya saya sebut Abah Ilim— tinggal di Jalan Haji Moh. Mesri, berdekatan dengan kediaman Aki Oyo, ayah dari Ua Us Tiarsa. Kemudian di sekitar tahun 1953-an Abah pindah ke sebelah timur, menyeberang Jalan Haji Mohamad Mesri. Tapi di tahun 1965, menurut ibu saya, dipindahkan lagi ke bedeng yang kemudian menjadi tempat tinggal kami sampai awal tahun 2021. Pemindahan itu karena lokasi tempat tinggal sebelumnya akan digunakan sebagai pabrik soun. Jadi awal adanya pabrik soun di Ciguriang itu diperkirakan sekitar tahun 1965. 

Ketika saya kecil, kira-kira usia Sekolah Dasar, saya masih mendengar penyebutan tempat itu sebagai pabrik soun. Bahkan sampai saya kuliah dan menikah pun penyebutan tempat itu masih saja pabrik soun, walaupun pabriknya sudah tidak nampak. Dulu, saya, dan mungkin anak-anak kecil lain yang tinggal di sisi timur Ciguriang, merasa letak pabrik soun itu jauh. Hal itu diperkuat dengan kalimat yang disampaikan Abah Ilim, kalau mendapati kami cucu-cucunya kedapatan main di sekitar pabrik soun itu: 

“Tong sok jarambah, ulin nepi ka pabrik soun!” 

Dan memang kami, cucu-cucu Abah Ilim termasuk anak-anak yang tidak terlalu “diabur” bermain. Kami lebih sering bermain bersama antarsepupu, bermain petak umpet dengan tempat bersembunyi yang banyak, memanjat pohon-pohon yang banyak tumbuh di sekitar tempat tinggal kami, atau bermain bersama ternak-ternak kami, domba, ayam, bebek, dan itik. Kami juga pernah memelihara soang (angsa) yang lumayan galak, serta beberapa anjing. 

Selain pabrik soun, ada satu nama pabrik lagi yang sering disebut di daerah Ciguriang, yaitu pabrik kapas, sepanjang yang saya ingat, saya mengenal tempat yang disebut pabrik kapas itu sebagai sebuah lapangan voli yang sering digunakan sebagai tempat pertandingan saat agustusan. Letak pabrik kapas ini ada tepat di belakang GOR Pajajaran, yang saya ingat lagi, sebelum dibatasi benteng, lokasi GOR Pajajaran masih dibatasi pagar kawat. Di salah satu sudut lapangan pabrik kapas itu ada bagian pagar kawat yang jebol, dan saya beberapa kali diajak tetangga yang lebih besar, atau saudara sepupu, menerobos pagar itu untuk bermain di lapang GOR. Dan tentu saja, jika ketahuan Ambu, pasti dinasihati –bukan diomeli– bahwa bermain di GOR Pajajaran atau kerkop itu terlalu jauh. 

“Ari ameng teu kenging jarambah, bisi aya culik,” begitu kata Ambu. 

Sayangnya saya tidak mendapatkan banyak informasi tentang pabrik kapas ini. 

Ciguriang ada di antara Jalan Haji Mohamad Mesri dan Haji Mohamad Iskat, tepat di belakang GOR Pajajaran. Menjelang tahun 1980-an, bedeng-bedeng di Ciguriang masih banyak yang beralaskan tanah, berdinding bilik (gedek, anyaman bambu). Banyak yang belum menggunakan listrik sebagai penerang, apalagi menggunakan berbagai alat elektronik. 

Rumah-rumah yang ada di perkampungan Dobi ini sebagian beralamat jalan Haji Mohamad Iskat dan sebagian lagi beralamat jalan Mohamad Mesri. Disebut kampung dobi karena dulunya di sana banyak binatu atau tukang jahit.

Dan kami berada di sisi yang termasuk ke alamat Jalan Haji Mohamad Iskat. Lokasi perkampungan Ciguriang sendiri ada di totogan atau ujung Jalan Haji Mohamad Iskat, sering pula disebut Jalan Mohamad Iskat Dalam. 

Jalan Haji Mohamad Iskat pada zaman Belanda bernama jalan Litsonlaan, belakangan saya membaca nama Jan Willem Litson pada kasus kepemilikan tanah Perum DAMRI, apakah ada keterkaitan antara Litson dengan Jan Willem Litson? Dan siapakah sosok Jan Willem Litson itu? Sepertinya akan menarik jika kita bisa menemukan literatur tentang sosok Jan Willem Litson ini dan menelitinya lebih lanjut. 

*Kawan-kawan yang baik, silakan menengok tulisan-tulisan lain Ernawatie Sutarna atau artikel-artikel lain tentang Sejarah Bandung

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//