• Opini
  • Negara, Oligarki, dan Politik Kelas: Akar Krisis Demokrasi Indonesia

Negara, Oligarki, dan Politik Kelas: Akar Krisis Demokrasi Indonesia

Kepentingan oligarki masih mendominasi dan memperdalam kecenderungan iliberal dalam praktik politik Indonesia saat ini.

Zidan Faizi

Sarjana Komputer. Aktif Terlibat dalam Liga Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi (LMID).

Ilustrasi. Pemilu merupakan ajang demokrasi untuk menentukan pemimpin. (ilustrasi: Bawana Helga Firmansyah/BandungBergerak.id)

7 Oktober 2024


BandungBergerak.id – Dalam beberapa waktu terakhir, banyak peneliti menyatakan bahwa demokrasi di Indonesia mengalami kemerosotan. Hal ini ditunjukkan oleh menyempitnya ruang sipil politik dan meningkatnya kesenjangan ekonomi. Dengan disahkannya UU Cipta Kerja, Revisi UU KUHP, Revisi UU ITE dsb., membuat kita harus menilik kembali problem akar dari kemunduran demokrasi.

Demokrasi sering dipahami sebagai kekuasaan rakyat, di mana rakyat memiliki hak untuk memilih pemimpin mereka sendiri. Namun, absennya kebebasan politik yang riil dan ketidaksetaraan dalam ruang sipil politik. Menunjukkan bahwa demokrasi di Indonesia tidak berjalan sesuai dengan idealnya. Ketegangan antara pemahaman ideal tentang demokrasi dan praktik riil menunjukkan bahwa kekuasaan sering kali terpusat pada kalangan elit, sementara kelompok yang terpinggirkan, termasuk perempuan dan masyarakat miskin, tidak memiliki suara yang setara.

Baca Juga: Politik Baperan: Personalisasi Politik dan Warisan Feodalisme
Politik Dagang Sapi, Kompromi Elite Vs. Kepentingan Rakyat
Politik Mbajingisme

Bias Elit dan Ketimpangan dalam Demokrasi

Penting untuk mengakui adanya bias elite dalam sistem demokrasi. Ketika rezim demokratis justru membatasi upaya untuk mencapai kesetaraan, maka pencapaian tersebut bukanlah hasil alami dari demokrasi itu sendiri. Haggard dan Kauffman (2016) mencatat bahwa kesetaraan dalam demokrasi lebih merupakan hasil dari aksi kolektif kelas bawah (biasa disebut perjuangan kelas) yang terorganisir. Namun, kondisi yang memungkinkan aksi kolektif ini tidak selalu ada dalam sistem demokrasi.

Di Indonesia, kekacauan dalam tatanan politik dan hukum telah terinstitusionalisasi sejak era Orde Baru. Meskipun reformasi pasca-1998 terjadi, struktur kekuasaan yang ada masih mereproduksi ketimpangan. Oligarki yang berkuasa terus memanfaatkan lembaga-lembaga demokrasi untuk memperkuat posisi mereka tanpa menghancurkan ketimpangan tersebut.

Meskipun norma hak asasi manusia diakui dalam konstitusi, pelanggaran hak asasi manusia masih terjadi, dan korupsi tetap menjadi masalah serius. Jaringan oligarki tidak hanya bertahan tetapi juga mengkonsolidasikan kekuasaan mereka, terutama di bawah pemerintahan Joko Widodo (2014-sekarang), yang dinilai mengakomodasi tokoh-tokoh militer dan politisi korup.

Lemahnya Gerakan Politik Masyarakat Sipil dan Munculnya Politik Kelas

Kelompok masyarakat sipil di Indonesia dianggap terlalu lemah dalam agenda politiknya untuk menantang kepentingan oligarki secara signifikan. Sebagian besar organisasi non-pemerintah (NGO) berfokus pada advokasi perubahan kelembagaan tanpa mengubah struktur kekuasaan penyebab ketimpangan yang mendasar. Elemen-elemen lain seperti serikat buruh dan gerakan rakyat juga mengalami tantangan dalam membangun gerakan politik alternatif yang efektif. Menariknya, terlepas dari kesimpulan tentang stagnansi demokrasi, ada satu kondisi yang krusial bagi perkembangan terkini demokratisasi kita: bahwasanya aktor-aktor masyarakat sipil yang ada sudah menyadari bahwa negara adalah ruang yang harus direbut. Perebutan atas negara beriringan pula dengan meningkatnya aspirasi publik mengenai isu kesejahteraan sosial.

Perkembangan seperti ini tentu membangkitkan harapan mengenai peran masyarakat sipil dalam proses demokratisasi yang berorientasikan pada agenda kesejahteraan sosial. Tidak heran jika kemudian agenda negara kesejahteraan (welfare state) sudah muncul ke permukaan politik nasional (Almanar and Monimbar, 2016). Tentu kita tidak dapat membantah urgensi dari agenda redistribusi kesejahteraan ini. Namun kita perlu lebih spesifik melampaui tuntutan normatif ini. Dalam arti, apa yang sebenarnya dimaksud dengan orientasi redistribusi yang diusung oleh partai alternatif itu sendiri? Di sini kita memasuki problem yang rumit perihal ideologi partai. Melalui ideologi, masyarakat dapat memiliki “kerangka imajinatif” yang dapat dirujuk ketika gerak dan manuver politik partai dilakukan. Dalam artian, apa yang sebenarnya tujuan akhir dari setiap pilihan politik yang diambil oleh partai.

Politik Kesejahteraan dan Perjuangan Kelas

Sebagaimana terjadi dalam pengalaman sejarah negara-negara kesejahteraan yang ada dimana-mana, basis material bagi suatu agenda kesejahteraan yang konsisten bukanlah keberadaan institusi. Mobilisasi kelas pekerja dengan organisasinya yang militan serta masif justru merupakan prasyarat bagi perjuangan agenda negara kesejahteraan yang konsisten. Agenda kesejahteraan bukanlah melulu monopoli kekuatan progresif/pro-demokrasi. Kekuatan lain dapat pula mengajukan agenda kesejahteraan menurut kepentingannya sendiri. dalam pengalaman Indonesia pasca reformasi, misalnya, kalangan elit lokal predatoris dapat menyediakan pelayanan kesejahateraan kepada publik sejauh itu dapat menyediakan dukungan politik terhadap mereka.

Selain itu, kalangan neoliberal (baca: kapitalis) juga memiliki agenda kesejahteraan yang lain di mana jaminan sosial bisa diselenggarakan sejauh ia berlaku fungsional untuk mendukung aktivitas akumulasi kapital dalam pasar. Keberadaan BPJS adalah bukti dari bagaimana neoliberalisme tidak melulu menegaskan agenda kesejahteraan. Semenjak agenda kesejahteraan selalu mensyaratkan perjuangan kelas, maka problem utama demokrasi berorientasikan kesejahteraan bukan terletak pada representasi namun justru pada presentasi. Secara khusus tentu saja presentasi yang dimaksud adalah presentasi kelas pekerja. Oleh karena itu kita tidak dapat melakukan generalisasi atas kategori masyarakat sipil itu sendiri. Di sini masyarakat sipil harus dilihat sebagai suatu arena pertarungan kelas-kelas sosial yang ada pada masyarakat dalam rangka memperebutkan hegemoni negara.

Membangun Politik Kelas Pekerja untuk Demokrasi yang Sejati

Untuk itu solusi yang perlu ditawarkan justru adalah memperkuat upaya menghadirkan politik kelas pekerja. Dalam hal ini, pembangunan partai politik berbasis kelas (pekerja) adalah jalan satu-satunya yang harus ditempuh. Tantangan dalam membangun partai politik (alternatif) yang efektif disebabkan beberapa produk hukum yang digunakan oleh oligarki demi menjaga kekuasaan agar gerakan rakyat tidak memiliki ruang politik yang efektif dalam arena perebutan kekuasaan secara legal, ini di tengarai oleh produk hukum Paket UU Politik (UU Partai Politik tahun 2011, UU Pemilu tahun 2017, UU Pilkada tahun 2016).

Pertama, syarat yang berat untuk mendirikan partai dan menjadikan partai sebagai badan hukum. Dilihat dari sudut pandang demokrasi dan HAM, beratnya syarat pembentukan partai ini bertentangan dengan hak rakyat untuk berkumpul dan berorganisasi secara politik.

Dilihat dari sudut pandang kepentingan gerakan rakyat, beratnya syarat pembentukan partai juga membuat gerakan rakyat sulit untuk membangun partainya sendiri. Adapun kepentingan di balik UU parpol ini adalah untuk membatasi kompetitor partai-partai oligarki agar mereka lebih mudah mengendalikan atau memonopoli proses politik di Indonesia.

Problem pokok kedua adalah batas maksimal sumbangan perusahaan/badan usaha ke partai, yang dinaikkan menjadi Rp 7,5 milyar per perusahaan. Hal ini memungkinkan pengaruh kapital yang lebih besar atas partai dan negara. Selain itu, semakin besar dana yang bisa diterima dari perusahaan/badan usaha, semakin banyak uang yang bisa dikorupsi. Singkatnya, UU Parpol tahun 2011 menyempitkan demokrasi dan memperbesar pengaruh kapital atas partai dan negara. Celakanya, tidak banyak kalangan gerakan yang menganggap UU Parpol ini sebagai sebuah masalah yang penting untuk disikapi. Mungkin karena sebagian besar kalangan gerakan tidak memiliki agenda perjuangan elektoral dengan partainya sendiri, sehingga adanya rintangan untuk bisa ikut Pemilu tidak dirasakan sebagai sebuah masalah yang penting dan mendesak.

Adanya kelompok gerakan yang hendak maju ke Pemilu 2019 adalah momen bagus untuk mempermasalahkan kembali UU Parpol dan berbagai UU politik lain yang tidak demokratis. Kalaupun partai gerakan yang ada nanti bisa memenuhi berbagai persyaratan administratif untuk ikut Pemilu, perlawanan terhadap berbagai UU politik, termasuk UU Parpol, tetap penting untuk dilancarkan. Pasalnya, berbagai UU politik ini secara prinsip bertentangan dengan demokrasi, dan dianggap sebagai akar permasalahan Demokrasi di Indonesia

Secara keseluruhan, meskipun ada harapan untuk demokrasi Indonesia, kenyataan menunjukkan bahwa kepentingan oligarki masih mendominasi dan memperdalam kecenderungan iliberal dalam praktik politik saat ini.

*Kawan-kawan dapat membaca artikel-artikel lain tentang politik

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//